Mohon tunggu...
Heddi Sabara
Heddi Sabara Mohon Tunggu... Bankir - Fraud Examiner | Author | Blogger | Content Crator

Penulis adalah seorang Teliksandi, yang biasa kita kenal dahulu dalam film-film zaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya adalah seorang mata-mata layaknya intelijen di dunia saat ini. Penulis juga seorang fraud examiner pada salah satu Bank BUMN. Penulis juga mendidikasikan pengalaman dan knowledge dalam Buku dan Novel Series. Bersepeda keliling kota, berolahraga, konten kreatif, dan menulis adalah kesibukan yang dilakukan dikala memanfaatkan waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kala "Niat & Khilaf" Mendukung Terjadinya Kecurangan pada Perusahaan

14 Desember 2022   23:22 Diperbarui: 14 Desember 2022   23:37 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu yang dilakukan seorang pelaku fraud adalah berfikir outside the box. Ketika seorang fraudster mempelajari mekanisme kerja, kelemahan SOP dan kontrol sehingga menjadi inovatif dalam menggali celah untuk mendapatkan keuntungan. 

Hal ini akan sulit terdeteksi, bilamana fungsi dalam organisasi tidak aware dalam menjalankan aktivitas operasional. Terkadang justru celah sudah teridentfikasi namun seolah "ABAI" dan menjadi penyakit akut dalam organisasi yang kemudian baru tersadarkan setelah kerugian benar-benar terjadi.

Internal fraud hanya salah satu dari banyak ancaman yang dihadapi perusahaan. pelaku fraud (fraudster) memiliki banyak cara dalam melakukan kecurangan yang disengaja membuat sulit untuk terdeteksi. Selain itu, siapa pun dalam perusahaan juga memiliki potensi melakukan kecurangan terlepas dari jabatan, usia, jenis kelamin, ataupun masa kerja. 

Ancaman kecurangan di internal akan berdampak pada kerugian semakin besar (magnitude), misalnya, ketika seorang karyawan melakukan tindakan kecurangan dengan mencuri dalam jumlah kecil dalam kurun waktu yang lama, maka sudah barang tentu akan mengurangi kemungkinan pelaku terdeteksi dan cenderung akan menimbulkan kerugian yang lebih besar (loss magnitude). Biasanya, pelaku akan terdeteksi dalam waktu cukup lama.   

Banyak fraudster bekerja dalam perusahaan cukup lama. Hal ini memberikan kesempatan pelaku untuk mempelajari segala aktivitas dalam organisasi. Semakin dalam tahu, semakin dapat mengidentifikasi celah kerawanan, dan semakin leluasa mengeksploitasi. 

Di sisi lain, lamanya seorang pelaku dalam posisi tertentu, dapat menjadi sesorang menjadi dipercaya bahkan di andalkan hingga mampu diberikan kewenangan tertentu dalam organisasi. Faktor senioritas pelaku dalam suatu organisasi sangat berkorelasi dengan ukuran kecurangan yang dilakukan.  

Jika menelisik kejadian fraud yang melibatkan orang dalam (insider fraud) umumnya secara teknis tidak terlalu canggih. Namun lebih kepada memanfaatkan kewenangan dan kelengahan atasan atau rekan kerja untuk memuluskan aksinya. 

Kejadian umum yang biasa terjadi terkait dengan pemalsuan tandatangan, dokumen fiktif, dan pemanfaatan atau penyalahgunaan kewenangan credential akses dalam perusahaan.

Untuk mengantisipasi kecurangan, budaya perusahaan menjadi kunci penting, agar dapat memastikan pencegahan berjalan on the track. Dimulai saat perekrutan karyawan, dimana perusahaan harus melakukan screening, background check, bahkan interview secara mendalam untuk memastikan bahwa merekrut seorang calon karyawan yang tidak saja memiliki kualifikasi administratif yang baik, tetapi juga integritas terbaik. 

Namun yang menjadi persoalan adalah apakah integritas setiap karyawan akan sama saat pertama bergabung dengan perusahaan hingga berjalannya waktu? Ini pertanyaan yang harus menjadi konsen, tentu perubahan sifat atau sikap seseorang dapat terjadi seiring berjalannya waktu, sepanjang niat dan kesempatan hadir menyempurnakan tekanan individu yang mendorong pembenaran atas tindakan curang. Karena setiap individu memiliki sifat gelap dalam diri atau dark triad personality.

Sifat Gelap (Dark Triad Personality)

Istilah Dark Triad Personality pertama kali diciptakan oleh Paulhus dan Williams (2002), bahwa setiap individu memiliki bayangan (shadow) yang sering kali tidak disadari dalam tiga tipe kepribadian. Machiavellianism, menggambarkan gaya interpersonal yang dingin dan manipulatif. Orang dengan tipe ini cendurung curang, dan acuh tak acuh.  

Narcissism, menggambarkan sifat-sifat seperti kemegahan, hak, dominasi, dan superioritas dengan kata lain orang tipe ini cenderung mementingkan diri sendiri, arogan bahkan eksibisionis. 

Psycophathy, Psikopati menggambarkan individu yang manipulatif, tidak berperasaan, tidak empatik, impulsif, dan berani mengambil risiko. Penilaian terhadap setiap calon karyawan secara kontinyu menjadi penting melalui pendekatan know your employee

Hal ini menjadi challenge bagi setiap perusahaan, bagaimana menutup celah kerawanan sekaligus melakukan awareness bagi karyawan sehingga integritas dapat terjaga. Karena fraud merupakan kejahatan yang perlu diperangi bersama oleh seluruh karyawan.

Menurut ACFE, bahwa setiap perusahaan di dunia mengalami kerugian akibat fraud sebesar 5 persen dari pendapatannya pertahun. Sehingga dibutuhkan langkah-langkah pencegahan maupun deteksi yang lebih tepat. 

Kecurangan dapat terjadi dalam setiap perusahaan, karena sifat dasar manusia yang serakah (Greed). Sebagaimana teori yang dipopulerkan oleh Donald Cressey yaitu teori segitiga kecurangan (triangle fraud) bahwa ada tiga faktor pendorong seseorang melakukan tindakan fraud yaitu pressure (adanya tekanan), opportunity (adanya kesempatan), rationalization (adanya pembenaran). 

Ketiga kondisi tersebut lahir dalam suatu kondisi yang bersifat akumulatif dan mendukung satu sama lain.  Sehingga diperlukan pendekatan yang tepat dalam mengatasi persoalan yang lahir dari ketiganya.

Setiap organisasi juga dituntut memiliki kemampuan dalam melakukan investigasi kecurangan, melakukan eksuksi terhadap sanksi agar dapat mencegah potensi kecurangan. 

Salah satu elemen kunci dalam memerangi kecurangan adalah memahami tipologi kecurangan dan profil fraudster. Mengetahui apa yang dapat memotivasi seseorang untuk melakukan penipuan, termasuk lingkungan dan pemicunya, dapat membantu perusahaan merancang kontrol pencegahan yang tepat. Tidak ada cara yang homogen untuk mendeskripsikan seorang pelaku. 

Namun, faktor umum adalah motivasi atau faktor pendorong untuk melakukan kecurangan. Apa yang dapat memotivasi sesorang untuk melakukan kecurangan sangat bervariasi, tergantung situasi dan kondisi. Terlepas dari faktor tekanan keuangan (pressure), terkadang perlakuan yang tidak adil dalam organisasi pun dapat memicu terjadinya konflik batin sehingga mengakibatkan kecurangan dapat terjadi. 

Misalnya, adalah ketika seseorang merasa tidak dipromosikan sesuai kinerja, penilaian kinerja yang tidak obyektif, bahkan penghargaan yang semestinya diperoleh tidak didapatkan. Hadirnya tekanan tersebut, bila didukung kesempatan yang terbuka, maka akan dengan mudah individu melakukan kecurangan dengan segala alasan pembenar (rasionalisasi) atas tindakannya.

Menurut penulis, ada dua kriteria fraudster dalam menjalankan aksinya khususnya dalam lingkungan kerja (occupational fraud) yaitu (1) Pelaku-Berniat, yaitu pelaku yang sejak awal masuk dalam perusahaan dengan tujuan akan berbuat kecurangan dengan melakukan kamuflase kepribadian untuk lolos dari proses screening awal. Tipe pelaku ini dapat dikatakan spesialis kutu loncat, mencari tempat kerja yang dapat di ekploitasi untuk keuntungan jangka pendek. 

Contohnya, pelaku melakukan eksploitasi celah atau credential kemudian melakukan pembobolan simpanan nasabah yang telah direncanakan.  Biasanya, setelah mendapatkan keuntungan pelaku akan menghilang tanpa kabar, dan di waktu bersamaan mencari “mangsa” perusahaan baru. (2) Pelaku-Khilaf, yaitu pelaku yang awal masuk dalam perusahaan memiliki kualifikasi baik, menjalankan pekerjaan sesuai aturan namun berjalannya waktu tergelincir dan timbul niat untuk melakukan tindakan kecurangan. 

Pelaku tipe ini lebih berpengalaman, karena telah memahami flow bisnis dan terbiasa dengan aktivitasnya, umumnya skema kecurangan yang dilakukan pun lebih rumit agar tidak terdeteksi. Biasanya, pelaku tipe ini didorong adanya tekanan yang datang baik kebutuhan finansial yang mendesak, kebutuhan keluarga, keinginan pengakuan yang berlebihan hingga pada akhirnya memilih jalan pintas dan menghalalkan segala cara.

Karyawan berbuat curang tentu disesuaikan dengan kondisi jabatan yang dipegang. Seorang karyawan dengan intensitas pada kewenangan monetary, akan lebih rawan dibandingkan karyawan yang memiliki kewenangan non-monetary. Sehingga internal kontrolnya atau treatment seharusnya dapat dibedakan sesuai tingkat risiko.  

Internal kontrol tentu akan berjalan dengan baik bilamana setiap proses bisnis organisasi dapat termitigasi. Tidak saja persoalan SOP atau aturan main, namun juga karyawan yang ditugaskan telah sesuai kompetensi (the right man on the right job). 

Pembangunan sistem deteksi dini dan kontrol prevensi menjadi suatu yang penting untuk dilakukan. Pemanfaatkan teknologi ataupun peningkatan kompetensi karyawan dalam menjalankan bisnis perusahaan akan lambat laun menekan terjadinya kecurangan. Misalnya, menciptakan suatu sistem early warning atas redflag kecurangan, memastikan segregation of duties, serta membangun budaya anti-fraud yang kuat dalam organisasi.

Budaya (culture) acap kali mudah terucap namun sulit dilaksanakan.  Membangun budaya bukan hanya tugas satu bidang dalam organisasi yaitu human capital saja, namun menjadi tugas seluruh karyawan perusahaan. 

Budaya apapun tidak dibentuk, namun dibangun. Sama halnya ketika kita membangun sebuah rumah, maka budaya adalah pondasi kokoh sebelum bangunan mampu berdiri tegak. Sehingga komitmen, tone at the top para Manajemen Perusahaan menentukan berhasilnya suatu organisasi. 

Untuk itu, dalam mendukung hal ini, mulai dari proses rekrutmen yang kuat harus dilakukan, background check menggunakan teknologi terkini yang mampu mengidentifikasi perilaku buruk atau kecenderungan seorang calon karyawan atau karyawan akan melakukan kecurangan dapat teridentifikasi secara dini, sehingga sejak awal calon fraudster akan terseleksi bukan “seleksi alam” berdasarkan masa kerja, namun sejak awal tidak akan lolos verifikasi. 

Ketika proses pencegahan ini dapat dilakukan, untuk memastikan “seleksi alam” dapat dilakukan maka tentu penguatan fungsi deteksi perlu dilakukan. Salah satu yang penting adalah melalui sistem whistleblowing terpercaya dan handal. 

Hal ini didukung hasil riset ACFE tahun 2022, bahwa deteksi paling efektif 41 persen melalui sarana pengaduan (whistleblowing), dengan 55 persen pelaporan bersumber dari karyawan. Atasan langsung memiliki peran sentral dalam upaya pencegahan ataupun deteksi dikarenakan sebanyak 30 persen pelapor melaporkan kejadian kepada mereka. 

Maka dibutuhkan teladan dan komitmen atasan dalam memastikan bahwa setiap karyawan dapat menjadi kontrol sosial bagi seluruh aktivitas penyimpangan dalam organisasi, dengan validasi akhir terhadap kontrol tersebut tentunya akan dilakukan oleh fungsi internal audit sebagai pihak independen dalam perusahaan. Kolaborasi yang baik antara lini bisnis dan internal audit akan menjadi titik penentu sustainability suatu perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun