Dahulu, mereka hidup dengan bekerja sebagai petani. Mata pencarian ini berganti ketika mereka dipindahkan dari tempat hidup semula ke pemukiman. Lantas, mereka mulai beralih menjadi nelayan dengan belajar menangkap ikan dari orang Bajo dan Bugis. Namun, lama kelamaan, sistem zonasi yang diterapkan, diakui mereka membuat ruang gerak untuk mencari ikan menjadi semakin sempit.
Seorang narasumber menambahkan bahwa sejak tahun 2013, dengan adanya Sail Komodo, masyarakat mulai lebih menyadari peluang mendapatkan uang dari potensi pariwisata. Kendati demikian, meski memanfaatkan potensi yang ada, mereka tetap memegang prinsip bahwa pariwisata sama sekali tidak boleh mengganggu kehidupan komodo.
Suku Modo lebih mengutamakan pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Artinya, keaslian alam, kehidupan komodo, dan kesejahteraan masyarakat perlu dijaga, bukan malah diubah dengan karakteristik dan budaya yang tidak sesuai dengan nilai asli daerah komodo. Justru keaslian itulah yang dianggap membuat membuat Taman Nasional Komodo terlihat "mahal" atau "premium".
Lebih lanjut, kesaksian warga bahwa terdapat wacana merelokasi para penduduk kampung ke daerah lain menuai penolakan besar. Wajar saja, mereka telah mendiami tempat tersebut sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu.
Selain itu, tanpa Suku Modo, kehidupan komodo diperkirakan akan sangat terganggu. Alasannya karena merekalah yang benar-benar telah mengenal, mencintai, dan menjagai komodo sehingga satwa tersebut masih bertahan hingga saat ini. Akan sangat tidak bijak, jika "keluarga" yang hidup saling melindungi tersebut diganggu hubungannya.
Alangkah baiknya, dibandingkan mengutamakan aspek industri oleh pihak swasta, masyarakat aslilah yang harus didengarkan dan dilibatkan dalam pengembangan pariwisata. Suara dan aksi mereka adalah wujud perwakilan langsung dari "saudara kandung" mereka, yakni komodo.
Jadi, masyarakat asli kawasan Taman Nasional Komodo adalah pengembang terbaik dari tanah mereka sendiri. Mereka adalah pelindung terbaik bagi komodo dan hal ini telah terbukti selama berabad-abad. Kedua hal tersebut lebih mahal dari semboyan "super premium" yang bahkan tak mereka pahami apa maknanya. Semoga masyarakat asli dan satwa komodo dapat terus bertahan, sejahtera, dan lestari.
Referensi: Film Dokumenter "Ata Modo" oleh Walhi NTT
Artikel ditulis oleh: Harry Dethan
Tonton Film Dokumenter "Ata Modo" selengkapnya: