Walhi NTT membuat sebuah film dokumenter berjudul "Ata Modo". Film yang berdurasi 33 menit tersebut memuat berbagai macam tanggapan dan perspektif para penduduk, hingga pegiat alam terhadap kondisi Taman Nasional Komodo saat ini. Karya yang mulai tayang di Channel Youtube Walhi NTT sejak 11 Agustus 2021 ini wajib ditonton, jika kita ingin membayangkan masa depan satwa purba yang dilindungi tersebut.
Setelah menyaksikannya, dapat disimpulkan bahwa Ata Modo (Suku Modo/orang asli komodo) adalah kunci kemajuan dari pariwisata kawasan Taman Nasional Komodo. Tanpa mereka, komodo sangat terancam. Dua alasan yang ditangkap dari dokumenter Ata Modo ini bisa menjelaskannya pada kita.
Pertama, sejarah antara satwa komodo dan penduduk sekitarnya yang sangat panjang. Di awal film, seorang tua adat Suku Modo menceritakan tentang legenda bahwa komodo dan manusia berasal dari satu rahim.
Dahulu kala, para wanita yang hendak melahirkan tidak menggunakan cara bersalin seperti saat ini. Proses melahirkan selalu dilakukan dengan cara membelah perut sang ibu hamil. Akibatnya, setiap kali ada anak yang lahir, ibunya pun pasti akan langsung meninggal.
Suatu hari, sebuah kelompok hendak melaksanakan proses melahirkan. Perut seorang wanita sudah siap untuk dibelah. Akan tetapi, kelompok yang sedang panik tersebut bertemu orang yang berasal dari Sumba dan diberitahu mengenai proses bersalin tanpa membelah perut. Ibu tersebut lalu melahirkan anak kembar, seorang anak manusia dan seekor komodo.
Kisah ini terus diceritakan secara turun temurun sejak zaman para leluhur hingga sekarang. Terlepas dari percaya atau tidaknya kita terhadap legenda tersebut. Terdapat makna mendalam yang tersirat yang menggambarkan hubungan erat antara penduduk Suku Modo dan Komodo. Prinsip "satu rahim" tersebut adalah kunci utama mengapa sampai saat ini komodo bisa terus hidup dan terus lestari.
Terang saja, selayaknya keluarga, kita sudah pasti akan hidup saling menjaga dan memberikan yang terbaik. Hal ini pun terjadi dengan sangat jelas antara penduduk dan satwa yang dianggap berbahaya oleh orang lain tersebut.
Bahkan, seorang penduduk di dalam film tersebut menceritakan pengalamannya bersama penduduk kampung yang rela bertaruh nyawa naik ke atas bukit di suatu waktu demi memadamkan api. Tujuan mereka melakukannya adalah untuk melindungi Komodo agar tidak terluka. Ini adalah definisi rasa sayang dan keluarga sesungguhnya.
Komodo tidak diperlakukan sebagai komoditi atau sumber keuntungan, tapi sebagai saudara oleh penduduk Suku Modo. Dan sebagai saudara, mereka tidak ingin kehidupan nyaman dari Komodo diganggu.
Kedua, tanpa keterlibatan langsung dari masyarakat asli, pengembangan pariwisata kemungkinan besar akan membawa ancaman kepunahan bagi satwa komodo. Beberapa narasumber dalam dokumenter tersebut berkisah mengenai perubahan hidup Suku Modo sejak dulu hingga sekarang.
Dahulu, mereka hidup dengan bekerja sebagai petani. Mata pencarian ini berganti ketika mereka dipindahkan dari tempat hidup semula ke pemukiman. Lantas, mereka mulai beralih menjadi nelayan dengan belajar menangkap ikan dari orang Bajo dan Bugis. Namun, lama kelamaan, sistem zonasi yang diterapkan, diakui mereka membuat ruang gerak untuk mencari ikan menjadi semakin sempit.
Seorang narasumber menambahkan bahwa sejak tahun 2013, dengan adanya Sail Komodo, masyarakat mulai lebih menyadari peluang mendapatkan uang dari potensi pariwisata. Kendati demikian, meski memanfaatkan potensi yang ada, mereka tetap memegang prinsip bahwa pariwisata sama sekali tidak boleh mengganggu kehidupan komodo.
Suku Modo lebih mengutamakan pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Artinya, keaslian alam, kehidupan komodo, dan kesejahteraan masyarakat perlu dijaga, bukan malah diubah dengan karakteristik dan budaya yang tidak sesuai dengan nilai asli daerah komodo. Justru keaslian itulah yang dianggap membuat membuat Taman Nasional Komodo terlihat "mahal" atau "premium".
Lebih lanjut, kesaksian warga bahwa terdapat wacana merelokasi para penduduk kampung ke daerah lain menuai penolakan besar. Wajar saja, mereka telah mendiami tempat tersebut sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu.
Selain itu, tanpa Suku Modo, kehidupan komodo diperkirakan akan sangat terganggu. Alasannya karena merekalah yang benar-benar telah mengenal, mencintai, dan menjagai komodo sehingga satwa tersebut masih bertahan hingga saat ini. Akan sangat tidak bijak, jika "keluarga" yang hidup saling melindungi tersebut diganggu hubungannya.
Alangkah baiknya, dibandingkan mengutamakan aspek industri oleh pihak swasta, masyarakat aslilah yang harus didengarkan dan dilibatkan dalam pengembangan pariwisata. Suara dan aksi mereka adalah wujud perwakilan langsung dari "saudara kandung" mereka, yakni komodo.
Jadi, masyarakat asli kawasan Taman Nasional Komodo adalah pengembang terbaik dari tanah mereka sendiri. Mereka adalah pelindung terbaik bagi komodo dan hal ini telah terbukti selama berabad-abad. Kedua hal tersebut lebih mahal dari semboyan "super premium" yang bahkan tak mereka pahami apa maknanya. Semoga masyarakat asli dan satwa komodo dapat terus bertahan, sejahtera, dan lestari.
Referensi: Film Dokumenter "Ata Modo" oleh Walhi NTT
Artikel ditulis oleh: Harry Dethan
Tonton Film Dokumenter "Ata Modo" selengkapnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H