Seorang reporter TV perempuan sengaja berkeliling di sebuah kota besar di Eropa yang sepi. Ia merekam wajah kota yang indah di malam itu karena sedang di-lockdown. Sekali-kali ia menyapa beberapa orang yang ditemui, yang antusias melihat suasana kota di malam hari, yang berbeda dengan malam-malam biasanya.
Sejenak ia terkejut melihat seorang perempuan duduk di bangku taman seorang diri. Sekilas wajahnya tampak tidak bahagia.
Reporter tadi menanyakan ada apa dengannya, yang dijawab oleh perempuan tadi bahwa ia enggan berada di apartemennya karena ada suaminya. Mereka sudah lama tidak akur, sering cekcok, bahkan sudah sepakat untuk bercerai. Namun pandemi Covid-19 membuat mereka harus berada bersama di kamar apartemen seluas 20 m2 itu.
Pada hari-hari sebelum lockdown ia bisa pulang ke apartemen sekali dua kali dalam seminggu, agar tidak sering-sering bertemu dengan si bedebah suaminya. Tapi selama lockdown, ia harus berada di apartemen itu berdua, karena suaminya juga tidak ada pilihan lain.
Setiap hari hanya kejenuhan dan kekesalan saja yang ada. Mereka tidak saling menegur lagi, karena tidak ada gunanya. Sudah ambyar, istilah Didi Kempot Almarhum. Daripada perasaannya tertekan, ia memilih duduk saja di bangku taman, di malam itu dan mungkin juga di malam-malam berikutnya.
Perempuan tadi bukan satu-satunya orang yang menderita psikis, yang bertambah berat dengan adanya pandemi.
Di belahan bumi lain, ada dua wanita lanjut usia, Ibu A berusia 75 tahun dan tetangganya Ibu N 60 tahun, yang menjadi korban penipuan dengan modus pendaftaran bantuan Covid-19 di sebuah kota kecil. Mereka kehilangan perhiasan berupa kalung dan cincin bernilai jutaan rupiah. Mungkin itu harta mereka yang terakhir.
Ada lagi wanita lansia, Ibu M (72 tahun) ditemukan tergeletak tak bernyawa di depan pintu kamar mandi, tidak ada yang membantu karena dia hidup seorang diri. Seorang wanita lansia lain, Ibu H (62 tahun), diusir keluarganya tanpa tahu salahnya. Ia duduk menangis di pinggir jalan saat ditemukan oleh seseorang yang lewat.
***
Kejahatan, perundungan, pertengkaran, kelaparan adalah beberapa masalah yang semakin banyak dihadapi kaum perempuan saat pandemi ini.
Di Jakarta, dalam waktu sebulan (16 Maret hingga 19 April 2020), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK Jakarta) menerima 97 pengaduan melalui telepon dan surat elektronik. Jumlah ini lebih banyak dari bulan-bulan sebelum ada pandemi Covid-19.
Dari semua pengaduan itu, ada 33 kasus KDRT, 30 kasus kekerasan jender berbasis online, 8 kasus pelecehan seksual, 7 kasus kekerasan dalam pacaran, 6 kasus pidana umum, 3 kasus pemerkosaan, dan sisanya kasus di luar kekerasan berbasis jender, perdata keluarga, dan lain-lain (Kompas.id, 22/4/2020).
Pandemi dan kebijakan untuk mengatasinya telah menyebabkan berbagai penderitaan bagi perempuan.
Penutupan sekolah memberi beban tambahan bagi para ibu-ibu yang memunyai anak usia sekolah. Mereka harus mendampingi dan membantu anak untuk menjalankan tugas-tugas yang diberikan guru secara online. Tanpa kesiapan yang memadai, mereka bisa pusing tujuh keliling.
Kaum perempuan dari keluarga dengan penghasilan yang rendah harus mengandalkan bantuan sosial pemerintah, yang mungkin harus diperoleh dengan perjuangan fisik yang melelahkan. Ketidakpastian datangnya bantuan berikutnya membuat mereka harus berjibaku mengelola bahan pangan yang ada dengan ekstra cermat.
Ibu-ibu rumah tangga dari keluarga mampu harus menghadapi suami yang bisa jadi sering emosi karena penghasilan menurun, tabungan menyusut dan suasana yang membosankan di rumah.
Para perempuan yang bekerja sebagai dokter atau perawat di rumah sakit khusus penderita infeksi Covid-19 harus membagi waktu dan perhatiannya untuk urusan keluarga dan merawat pasien, yang menuntut kecermatan, kesabaran, dan kehati-hatian luar biasa agar tidak tertular virus.
Kebijakan perusahaan untuk meliburkan pekerja tanpa upah memberi beban tersendiri bagi perempuan pekerja dengan upah harian. Berbeda dengan pekerja pria yang di-PHK, pekerja perempuan lebih sulit mencari pekerjaan dibandingkan pekerja pria.
Penghasilan pekerja perempuan di sektor informal, seperti penjual rokok dan minuman di pinggir jalan, mendadak hilang dengan adanya kebijakan pembatasan sosial skala besar.
Nasib perempuan pekerja rumah tangga sangat tergantung pada majikannya. Sementara harus menjaga diri dari penularan virus, mereka mendapat beban pekerjaan rumah tangga yang bertambah besar dengan adanya anggota keluarga majikan di rumah sepanjang hari.
***
Maka menjadi pertanyaan bagi kita semua, apakah kaum perempuan dari kelompok berpenghasilan rendah, khususnya yang lanjut usia, sudah mendapat perlindungan dari negara dan masyarakat?
Sebagian besar orang memang saat ini sedang mengalami kondisi yang tidak menyenangkan. Banyak kesulitan di sana-sini. Namun jangan sampai ada yang bebannya sedemikian berat tanpa ada pertolongan dari mereka yang masih bisa menolong. Tidak hanya beban fisik dan finansial yang mereka hadapi tetapi juga beban psikis.
Semoga pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat semakin dekat, memberi perhatian dan mengayomi mereka.<>Â
Herry Darwanto, 13/5/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H