Misalnya kematian rata-rata per bulan di DKI Jakarta tahun 2019 sebanyak 2.000 orang, dan jumlah orang meninggal pada Maret 2020 (saat terjadi wabah) sebanyak 2.100 orang. Maka jumlah orang yang meninggal dunia di DKI Jakarta karena wabah pada bulan itu adalah 100 orang.
Memang perkiraan tadi masih kasar, karena data penduduk yang meninggal dunia tidak tercatat setiap saat di kantor statistik daerah. Untuk itu bisa digunakan data orang yang dimakamkan di semua TPU di daerah itu pada bulan yang dihitung, yang datanya pasti ada.
Juga ada orang-orang yang meninggal di suatu daerah tetapi dimakamkan di luar daerah itu. Maka perlu ada koreksi terhadap data awal.
Koreksi juga perlu dilakukan mengingat jumlah penduduk selalu bertambah karena kelahiran dan migrasi, sehingga jumlah orang yang meninggal juga bertambah setiap tahun.
Menggunakan cara ini, dapat diketahui bahwa angka kematian karena Covid-19 di seluruh daerah lebih besar dari angka kematian yang dilaporkan oleh Jubir Pemerintah setiap hari.
Angka inilah yang diharapkan diumumkan oleh pemerintah, bukan hanya jumlah orang yang dites positif dan meninggal. Inilah yang menjadi dasar dari tuduhan bahwa pemerintah tidak menyampaikan data yang sebenarnya.
***
Apakah pemerintah berbohong? Sebetulnya tidak, karena Juru Bicara pemerintah sendiri berulang kali menyebutkan bahwa hanya mereka yang sudah dites dengan hasil positif dan telah meninggal saja yang dimasukkan dalam data kematian.
Hanya saja tidak ditambahkan penjelasan bahwa di luar data yang disampaikan itu ada kematian karena Covid-19 yang tidak diperhitungkan.
Presiden sendiri telah meminta agar bawahannya menyampaikan data secara apa adanya dan transparan. Namun agaknya hal itu sulit dilakukan.
Hal ini juga dapat dimengerti karena Gugus Tugas Covid -19 harus melaporkan perkembangan korban setiap hari, berdasar data dari pemda seluruh Indonesia, sementara estimasi berdasar metoda perbandingan dengan kematian pada kondisi tidak ada wabah tidak bisa dilakukan setiap hari.