Mohon tunggu...
Henli Bestyana
Henli Bestyana Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Mahasiswi salah satu universitas yang katanya "universitas perjuangan". Iya, karena dibutuhkan perjuangan untuk bayar kuliahnya, untuk lulusnya, dan perjuangan untuk berada didalam tantan sosial kampus. Feel free to argue and disagree with my opinions, im a learner too.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita dari Komuter

20 Desember 2017   22:49 Diperbarui: 21 Desember 2017   03:53 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"...Bisa diem gak?! Kalo ga bisa diem gue tonjok lu.." Seru perempuan itu sambil mengepalkan tangannya. Kulitnya yang berwarna coklat sawo matang itu membalut tulang dan sedikit daging yang menempel. Kepalan itu terlihat lemah, keberadaannya hanya main-main. Jelas main-main, karena sasarannya pun hanya seorang anak laki-laki kecil dengan mata basahnya.

Adegan tersebut sebenarnya hanya adegan dimana seorang ibu "menggeretak sambal" anaknya yang tidak bisa duduk manis didalam perjalanan mereka yang entah kemana. Sebagai warga Jakarta biasa yang berpergian menggunakan kendaraan umum, saya selayaknya penumpang lainnya sering kali disugguhkan tontonan yang berbeda-beda disetiap perjalanannya. 

Kebetulan, transportasi umum yang sering saya gunakan adalah kereta komuter. Perjalanannya cukup panjang sehingga memungkinkan saya untuk mendapat satu dua hal yang menarik hati.

Mari saya tarik sedikit ceritanya sehingga kalian dapat lebih memahami gambarannya. Ada satu keluarga, yang (maaf) terlihat kurang mampu masuk ke gerbong kereta arah Jakarta Kota. Keluarga ini terdiri dari seorang bapak, ibu, anak laki-lakinya yang kurang lebih berusia 5/6 tahun dan anak bayinya. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam dan kondisi kereta hanya berisi beberapa penumpang saja termasuk saya. Mereka duduk tepat diseberang tempat duduk saya, sehingga kami duduk berhadapan. 

Ketika kereta mulai berjalan dari satu stasiun ke stasiun lainnya, Ibu mulai kehilangan kontrol kepada anak pertamanya yang terus-terusan berteriak dan bergerak di tempat duduknya. Buah hatinya yang kedua terbaring manis di kursi kereta dengan alas kain gendong miliknya. Merasa kewalahan dengan teriakan si Sulung, Ia berbalik kepada sumber suara dan menggenggam erat bahu anaknya sembari mengepalkan tangannya yang lain kepada si anak.

Sontak saya yang setengah mengantuk tersentak dan memperhatikan lekat-lekat kepalan tanganya. Bagi sebagian orang hal ini dianggap sebagai jurus ibu-ibu mendidik anaknya. Sebagian lainnya mengganggap itu sebagai candaan belaka, sehingga tidak perlu sampai dibahas disini. Tidak bagi saya, kata kata " gue tonjok lu..." terdengar sangat aneh dikuping saya. 

Kepalan tangan itu terlihat mengerikan bagi saya. Padahal, saya acap kali di cap sadis oleh Ibu saya sendiri karena menonton adegan kekerasan yang membuat hatinya ngilu. Padahal, orang-orang disekitar saya sering kali mengucapkan kata-kata kasar.

Kata "tonjok" yang diucapkan perempuan itu membekas dihati saya sampai sekarang. Hal pertama yang saya pikirkan adalah melakukan kilas balik ke memori masa kecil saya, apakah Ibu saya pernah melakukan hal serupa? Apakah hal tersebut wajar? Apakah saya yang "lebay" menanggapinya? Saya yang berusaha menyembunyikan perasaan saya memandang dengan sunyi kepada si Bapak. 

Dengan tenang kepala keluarga itu melihat sekeliling tanpa menggubris ancaman istrinya. Mendidik anak memang sepantasnya disesuaikan dengan kondisi anak dan keluarganya sendiri. 

Sampai saat ini, banyak ditemuan tulisan-tulisan yang membahas tentang cara mendidik anak baik di koran umum, koran ibu dan anak ( ayah dan anak tidak ada ya? Sexist sekali haha ), majalah, buku-buku atau yang modern sekarang adalah tips-tips dari artis kesayangan yang anda "follow"lewat jejaring sosial. Namun tentu saja, mendidik anak tidak punya aturan yang tetap, atau GBHM-nya ( Garis Besar Haluan Mendidik). Semua diserahkan kepada orang tua.

Pertanyaannya adalah, dimana batas-batas kewajaran gaya mendidik seorang anak? Kemudian salah satu dari pembaca mulai menyeletuk dalam hatinya " Ah, biasa aja tuh.. dulu gue sering di pukul pake sapu lidi sama ibu gue". Sebagian berkata " Yaampun anak jaman sekarang manja ya". Pembaca yang budiman, ini bukan sekedar si Ibu "menggeretak sambal" anaknya. 

Ini juga menyangkut bagaimana mental seorang anak dari keluarga tidak mampu itu berkembang dan menerima mana perilaku "baik" dan mana perilaku "buruk". Hal ini nantinya akan menjadi bekal bagi si anak untuk memperlakukan sekelilingnya, bergaul dengan teman sebayanya.

Revolusi Mental bukan hanya untuk jejeran "Pengurus Negara" yang setiap hari memakan uang rakyat, bukan hanya ditujukan bagi orang-orang penting yang memimpin negeri ini. Revolusi Mental juga diperuntukan kepada si Ibu yang mendidik anaknya dengan cerdas. Saya tetap setuju untuk mendidik seorang anak dengan tegas. Saya pun melalui masa-masa kecil saya dengan didikan tegas oleh orang tua maupun guru-guru saya disekolah, dan saya bersyukur untuk didikan mereka. 

Sayangnya, saya melihat perilaku si Ibu adalah dampak dari "Lingkaran Setan" yang mengancam mental dirinya dan keluarganya. Lingkaran ini terus berputar dengan cepat seiring dengan faktor-faktor lain yang menjadi bahan bakarnya. 

Kemiskinan, pendidikan yang rendah, serta layanan kesehatan yang tidak memadai. Tentu saja yang saya sebutkan barusan tidak sesederhana itu memang, tapi biarkan lah saya rangkum hal tersebut menjadi tiga hal besar yang berpengaruh satu sama lain.

Sehingga dalam hemat saya, kata-kata " gue tonjok lu.." yang diiringi dengan kepalan tangan kepada anak hanya menambah satu alasan dari daftar panjang mengapa individu dari lingkaran tersebut akan terus terjebak pada hal yang itu-itu saja. 

Bahkan akan semakin merusak masa depan mereka dengan pembentukan perilaku yang salah sejak usia dini. Saya harap fokus Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dapat dikembangkan sampai pada titik terkecil yang banyak menyumbang mental individu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun