Mohon tunggu...
Sosbud

"Saya Sedih, Banyak yang Tak Peduli..."

3 Desember 2018   00:39 Diperbarui: 3 Desember 2018   00:54 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: dokumen Eva Devi (Facebook)

Eva Devi, Lolos dari Gempa, Membantu Evakuasi Gama

"Ketika beberapa anak yang berhasil dievakuasi membutuhkan air untuk minum dan membasuh debu di wajah dan badan mereka, pemilik kafe persis di sebelah Gama justru menghalangi saya mengambil air galon miliknya, minta air galonnya dibayar..."

RABU, 30 September 2009, sebuah unggahan status di Facebook tertulis: "Teman-teman Sasing '95, jam 4 sore ini kita ketemu di Soto Karya ya, ditunggu..."

Gadis yang mem-posting itu namanya Eva Devi (32). Dia  adalah alumni Jurusan Sastra Inggris, Universitas Andalas (Sasing Unand) angkatan 1995. Bersama keluarga, dia pulang ke Padang untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga besarnya. Eva adalah anak kedua Makmur Hendrik (anggota KPU Pekanbaru dan pemilik Tabloid Genta), salah seorang pengarang fiksi yang cukup populer di masanya.

Eva tak punya firasat apa-apa ketika memutuskan menunda kepulangannya dua hari saat ayah dan kakak-adiknya kembali ke Pekanbaru pada Selasa (29/30) atau sehari sebelum gempa 7,6 SR menghantam Sumatera Barat (Sumbar). Dia masih rindu dengan teman-teman lamanya, baik dari SMA 2 Padang maupun Sasing Unand, dan masih terus menghubungi teman-temannya untuk bertemu. Salah satunya adalah yang di-posting di situs pertemanan itu.

Dan, ternyata sore itu tak banyak temannya yang bisa bertemu makan soto favorit selama kuliah tersebut. Yang bisa hanya Dewi Sari Wahyuni, teman seangkatannya, yang lainnya masih sibuk dengan keluarga masing-masing. Setelah ngobrol sana-sini dan kemudian akan membayar dua mangkok soto plus dua gelas teh es, dia merasakan tanah yang dipijaknya bergoyang. Jam yang melingkar di lengannya menunjukkan pulul 17.16 WIB. Bersama pengunjung lainnya, dia berlari ke arah jalan. Kuatnya goncangan membuatnya terjatuh, padahal sudah berusaha mengangkangkan kedua kakinya untuk kuda-kuda.

Suara gaduh terdengar di sana-sini. Jerit dan tangis orang-orang yang keluar dari berbagai toko dan gedung terdengar. Dia melihat bagaimana Hotel Ambacang --hotel paling parah yang menjadi korban gempa, dan hanya berjarak sekitar 100 meter dari tempatnya berdiri--- yang bergoyang, dan pelan-pelan runtuh ke bawah. "Saya merasa, mungkin semuanya akan berakhir di situ. Saya langsung teringat ayah, bunda dan seluruh keluarga. Saya menangis..." jelas pengajar di LBA LIA Pekanbaru ini.

Namun, ternyata hidup belum berakhir. Ketika goncangan yang terjadi itu berhenti, Eva yakin, dia masih diizinkan meneruskan hidup. Dia kemudian bangkit, menarik tangan Dewi dan berlari ke arah Jl Imam Bonjol, sekitar 300 meter dari Soto Karya, sambil memberi kabar ke orang tuanya di Pekanbaru. Ketika itu, jaringan telekomunikasi belum putus. Di sana dia melihat banyak gedung yang runtuh dan orang-orang yang menjerit karena panik.

Dia ingin mengantar Dewi naik angkot yang akan membawanya ke Palinggam, dan itu harus naik di Jl Proklamasi. Mereka kemudian menyeberangi Lapangan Imam Bonjol dan masih melihat orang-orang yang berlarian karena panik. Setelah mengantar Dewi naik angkot, dia kemudian berjalan ke arah kerumunan massa di depan Gedung Bimbingan Belajar (Bimbel) Gama, sekitar 200 meter sebelum kantor Harian Padang Ekspres.

Nalurinya sebagai seorang pengajar di sebuah lembaga pendidikan membuatnya tergerak hati untuk ikut melakukan sesuatu yang bisa membantu korban. "Ketika lebih dari 50 anak terhimpit bangunan yang runtuh, butuh bantuan untuk mengeluarkan mereka, ratusan orang hanya lewat, menyelamatkan diri. Puluhan sempat berhenti sebentar, sekadar melihat. Sebagian hanya mengambil gambar dengan HP, lalu pergi," katanya, Ahad (4/10/2009) lalu.

"Ketika beberapa anak yang berhasil dievakuasi membutuhkan air untuk minum dan membasuh debu di wajah dan badan mereka, pemilik kafe persis di sebelah Gama justru menghalangi saya mengambil air galon miliknya dengan marah dan memaki, minta air galonnya dibayar..." kata Eva dengan suara serak.

Eva kemudian melemparkan beberapa lembar uang dengan perasaan sedih dan marah, dan pemilik galon air itu baru memberikannya.

Dengan galon berisi air di tangannya, dia mendekati beberapa anak tersebut, membasuh mukanya dan meminumkannya. Setelah itu, masih sambil menangis, dia memeluk beberapa anak. Beberapa saat kemudian, dia mendengar beberapa orang yang mengevakuasi berteriak meminta kain basah untuk memperlancar pernapasan anak-anak yang masih terjepit, dia meminta beberapa orang laki-laki untuk melepas baju atau singletnya. Namun banyak yang menolak. Eva kemudian berlari ke arah jalan, dan melihat sebuah warung kaki lima. Di sana, ada beberapa kaos kaki baru yang berserakan di jalan yang ditinggal pemiliknya. Diambilnya kaos kaki itu dan diberikan kepada tim evakuasi.

Setelah itu, Eva berlari ke sebuah kafe di sebelah kantor Padang Ekspres dan di sana bertemu dengan S Metron, salah seorang redaktur, kakak tingkatnya di Unand. Metron kemudian membantu Eva mempertemukan dengan pemilik kafe, dan dengan baik hati si pemilik kafe menyuruhnya membawa semua botol air mineral dari dalam kulkasnya untuk diberikan kepada anak-anak korban gempa.

Ketika malam gelap, butuh penerangan untuk evakuasi, beberapa penonton yang mengendarai motor malah pergi ketika diminta mengarahkan lampu motornya ke arah reruntuhan.

"Beberapa malah sempat bertengkar sengit dengan saya dan berkata, 'nanti kalau baterei motor saya habis, bagamana?'. Saya kesal, tetapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Untung masih ada pemilik motor yang mau membantu, dan banyak relawan dadakan yang ikut menenangkan para orang tua yang menanti dengan cemas nasib anak-anaknya... Yang saya sedihkan, banyak orang tak peduli..." kata Eva lagi.

Eva ikut proses evakuasi itu hingga pukul 21.00 WIB. Dia kelelahan dan ayahnya, Makmur Hendrik, berhasil menghubunginya lewat telepon yang belum terputus agar anaknya pergi ke rumah Wali Kota Padang, Fauzi Bahar, yang merupakan sahabat ayahnya, agar dia menunggu di sana sampai tantenya menjemput. Beberapa saat kemudian, Bundo --begitu dia memanggil tantenya---datang dan membawanya ke Ulu Gadut, di kompleks perumahan dosen Unand. Eva tidak pulang ke Wisma Warta di Ulak Karang, karena rumah berlantai dua di sana retak-retak di banyak tempat.

"Saya selalu menangis jika ingat semuanya. Sepanjang perjalanan saya tak bisa berhenti menangis. Saya bersyukur, Allah SWT masih memberi saya umur panjang. Banyaknya korban yang meninggal dan penderitaan mereka yang masih hidup, memerlukan bantuan kita semua," ujarnya

Senin (5/10/2009), Eva mulai kembali menjalankan tugasnya mengajar di LBA LIA Pekanbaru. "Ketika mengajar anak-anak SD di LIA, saya teringat anak-anak yang tewas di Gama. Air mata saya mengalir lagi..."***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun