Tepat hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah, sebuah sekolah yang selama ini aku impikan menjadi kenyataan. Ini adalah suatu kebahagiaan dan kebanggaan terbesar yang pernah aku alami. Semua ini hasil kerja keras dan usahaku yang ingin aku persembahkan kepada orangtuaku. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, aku sudah bermimpi melanjutkan sekolah di SMA Nusa Nala Malang. Dan sekarang, cerita masa-masa SMA-ku dimulai.
Cerita SMA ini dimulai hari ini, detik ini, di kota apel yang terkenal dengan suasana dinginnya.
Pagi ini aku berangkat ke sekolah bersama Papa. Diawali dengan menyiapkan segala keperluan sekolahku: buku pelajaran, seragam baru yang kubanggakan, dan rambut hitamku yang tergerai sebahu. Aku mengenakan seragam putih abu-abu yang tampak rapi, dengan rok abu-abu yang panjangnya tepat di bawah lutut. Sarapan pagi bersama keluargaku adalah momen yang selalu aku nikmati. Namun pagi ini, ada yang terasa berbeda.
"Ma!" panggilku sambil mencari seseorang di meja makan.
"Iya, Al? Ada apa?" Mama bertanya.
"Adik kemana, Ma?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan.
"Arsha? Biasalah, kalau belum dipanggil dia nggak akan turun," jawab Mama sambil tersenyum.
Aku langsung naik ke lantai dua untuk memanggil adikku. Setelah mengetuk pintu kamarnya beberapa kali, Arsha akhirnya menjawab, "Iya, Kak! Tunggu di bawah ya."
Kami sarapan bersama sebelum berangkat. Pagi itu kami makan roti dengan selai rasa stroberi dan melon yang membuat suasana hangat di meja makan. "Mama, rotinya enak banget!" kataku sambil tersenyum lebar. Setelah sarapan, aku dan Arsha menuju mobil. Papa mengantarkan kami ke sekolah, dan perjalanan itu hanya memakan waktu sekitar 15 menit. Ketika gedung sekolah mulai terlihat, hatiku berdebar penuh kebahagiaan.
Gedung SMA Nusa Nala Malang berdiri megah di depanku. Aku melangkah masuk melewati gerbang besar berwarna krem gradasi hitam, dengan kakak-kakak OSIS berdiri menyambut. Jas abu-abu gelap dengan aksen biru navy yang mereka kenakan terlihat sangat keren. Aku membayangkan suatu hari aku juga bisa menjadi salah satu dari mereka.
Hari pertama diisi dengan pengenalan dan pembagian kelompok untuk Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Nama-nama dipanggil satu per satu. Ketika namaku disebut, aku berjalan ke depan dengan perasaan gugup.
"Nama kelompok kalian apa?" tanya salah satu kakak OSIS.
Kami memilih nama "Jenderal Sudirman" untuk kelompok kami, dan mulai membuat yel-yel bersama. Aku mulai berkenalan dengan teman-teman baru. Salah satunya adalah Rosa, seorang gadis yang sangat percaya diri dan humoris. "Namamu cantik, seperti orangnya," katanya sambil tersenyum.
Hari itu berlalu dengan cepat. Meskipun canggung pada awalnya, aku mulai merasa nyaman di antara teman-teman baru. Keesokan harinya, aku datang terlambat karena bangun kesiangan. Aku sampai di sekolah lima menit setelah bel berbunyi, dan langsung menjadi sorotan. Ketua OSIS, Kak Davi, memanggilku ke lapangan.
"Lari keliling lapangan sepuluh kali!" perintahnya dengan tegas. Meski lelah, aku menyelesaikan hukuman itu tanpa protes.
Saat kembali ke aula, aku mencoba bergabung dengan kelompokku. Tapi Kak Davi memanggilku lagi. "Nama kamu siapa?" tanyanya tiba-tiba.
"Alleta," jawabku sambil menunduk malu.
"Cantik juga namanya," godanya. Aku hanya tersenyum kecil, merasa sedikit canggung.
Hari-hari MPLS diisi dengan aktivitas yang seru dan melelahkan. Namun, di tengah-tengah itu, aku sering berdebat dengan Devan, salah satu teman sekelompokku. Dia orangnya sangat judes, tapi entah kenapa kehadirannya selalu menarik perhatianku.
Setelah MPLS selesai, pengumuman kelas pun dilakukan. Aku ditempatkan di kelas X MIPA 2. Betapa kagetnya aku ketika tahu bahwa Devan juga sekelas denganku.
"Kok kamu ada di sini lagi?" tanyaku dengan nada setengah bercanda.
"Kita ditakdirkan jadi teman sekelas, mungkin," jawab Devan sambil tersenyum tipis.
Hari-hari di kelas berjalan dengan penuh warna. Devan tetap dengan sikap juteknya, tapi aku mulai melihat sisi lain darinya. Dia ternyata sangat peduli, meski tidak pernah menunjukkan secara langsung.
Suatu hari, setelah pulang sekolah, Kak Davi menawariku tumpangan. Tapi alih-alih langsung mengantarku pulang, dia membawaku ke Coban Rais, sebuah tempat wisata di Batu. Kami duduk di tepi bukit, menikmati pemandangan indah.
"Alleta, sebenarnya aku sudah menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu," katanya pelan.
Aku terkejut mendengar pengakuannya. "Kak, aku... aku belum tahu harus menjawab apa," jawabku dengan gugup.
"Nggak apa-apa. Aku nggak minta jawaban sekarang," katanya sambil tersenyum.
Hari itu menjadi salah satu hari yang paling membingungkan sekaligus mengesankan dalam hidupku.
Keesokan harinya, aku menemukan sebuah surat di laci mejaku. Ternyata surat itu dari Devan. Dia mengungkapkan perasaannya kepadaku dalam tulisan tangan yang sederhana namun tulus. Aku benar-benar bingung. Di satu sisi, ada Kak Davi yang dewasa dan perhatian. Di sisi lain, ada Devan yang judes tapi selalu membuatku tersenyum.
Aku memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada teman-temanku, Elya dan Yana. "Aku bingung harus memilih siapa," kataku sambil menatap mereka.
"Ikuti kata hatimu," saran Elya.
Hari-hari berikutnya diisi dengan perasaan galau. Aku mencoba menjaga jarak dari Kak Davi dan Devan, berharap bisa menemukan jawaban yang tepat.
Suatu hari, aku mengajak Kak Davi dan Devan untuk bertemu di taman sekolah. Aku ingin mengakhiri kebingunganku dan memberikan jawaban kepada mereka.
"Aku nggak bisa memilih di antara kalian," kataku dengan suara gemetar. "Kalian berdua sangat berarti bagiku, tapi aku tidak ingin melukai salah satu dari kalian."
Devan terlihat kecewa, tapi dia mencoba tersenyum. "Yang penting kita tetap berteman, Al," katanya pelan.
"Iya, aku juga setuju," tambah Kak Davi.
Kami bertiga berjanji untuk tetap menjaga hubungan baik sebagai teman. Meski berat, aku merasa itu adalah keputusan yang paling adil.
Hari-hariku di SMA Nusa Nala Malang baru saja dimulai, tapi aku sudah mendapatkan begitu banyak pelajaran berharga. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu tentang memiliki, dan bahwa persahabatan adalah hal yang lebih penting. Kini aku melangkah dengan semangat baru, siap menghadapi hari-hari penuh cerita di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H