Hari-hari di kelas berjalan dengan penuh warna. Devan tetap dengan sikap juteknya, tapi aku mulai melihat sisi lain darinya. Dia ternyata sangat peduli, meski tidak pernah menunjukkan secara langsung.
Suatu hari, setelah pulang sekolah, Kak Davi menawariku tumpangan. Tapi alih-alih langsung mengantarku pulang, dia membawaku ke Coban Rais, sebuah tempat wisata di Batu. Kami duduk di tepi bukit, menikmati pemandangan indah.
"Alleta, sebenarnya aku sudah menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu," katanya pelan.
Aku terkejut mendengar pengakuannya. "Kak, aku... aku belum tahu harus menjawab apa," jawabku dengan gugup.
"Nggak apa-apa. Aku nggak minta jawaban sekarang," katanya sambil tersenyum.
Hari itu menjadi salah satu hari yang paling membingungkan sekaligus mengesankan dalam hidupku.
Keesokan harinya, aku menemukan sebuah surat di laci mejaku. Ternyata surat itu dari Devan. Dia mengungkapkan perasaannya kepadaku dalam tulisan tangan yang sederhana namun tulus. Aku benar-benar bingung. Di satu sisi, ada Kak Davi yang dewasa dan perhatian. Di sisi lain, ada Devan yang judes tapi selalu membuatku tersenyum.
Aku memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada teman-temanku, Elya dan Yana. "Aku bingung harus memilih siapa," kataku sambil menatap mereka.
"Ikuti kata hatimu," saran Elya.
Hari-hari berikutnya diisi dengan perasaan galau. Aku mencoba menjaga jarak dari Kak Davi dan Devan, berharap bisa menemukan jawaban yang tepat.
Suatu hari, aku mengajak Kak Davi dan Devan untuk bertemu di taman sekolah. Aku ingin mengakhiri kebingunganku dan memberikan jawaban kepada mereka.