Mohon tunggu...
Hazkiel Samuel Silitonga
Hazkiel Samuel Silitonga Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMA Kanisius Jakarta

Siswa SMA Kanisius Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Apa Kabar Reformasi Birokrasi?

5 Desember 2024   09:50 Diperbarui: 5 Desember 2024   09:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika kebijakan publik adalah air-kualitasnya, warnanya, jumlahnya-maka birokrasi adalah saluran pipa yang memastikan air tersebut mencapai masyarakat dengan baik,"- Hazkiel Silitonga

Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah upaya untuk mendesain, membersihkan, memperluas, dan memodernisasi saluran pipa-pipa tersebut. Ketika ada bagian-bagian yang terkorosi, maka kebijakan publik sebagus apapun akan tetap 'tercemar'.

Kenyataannya, reformasi birokrasi di negara ini telah berada dalam periode inersia yang panjang. Dari tahun ke tahun, tidak kunjung bergerak pada kecepatan yang dibutuhkan. Sejauh ini, belum cukup ada internal dan external force (kepemimpinan dan tekanan publik) yang berani mendorong perubahan yang dibutuhkan.

1. Kompetensi

Badan Kepegawaian Negara (BKN) membagi PNS/ASN ke dalam empat kategori: star (high performing), workhorse (pekerja keras), trainee (masih dilatih), dan deadwood (pekerja dengan kinerja dan kompetensi rendah).

Menurut Plt. Kepala BKN, 1 dari 3 ASN (sekitar 35 persen) dianggap sebagai birokrat deadwood. Tidak sedikit dari birokrat deadwood ini yang bertugas menangani isu-isu kritis, seperti transisi energi, tata kelola lahan, reformasi agraria, atau transformasi digital.

Selain itu, ada tantangan generasional. Tenaga kerja pemerintah mencakup setidaknya 4 generasi: Baby Boomer, X, Y, dan Z. Saat ini, Gen Y atau milenial merupakan mayoritas, meski kebanyakan berstatus kontrak (PPPK), sedangkan mayoritas PNS tetap berusia di atas 40 tahun (BPS, 2023). Secara umum, Gen Y dan Z dianggap memiliki keinginan yang lebih tinggi untuk belajar dan beradaptasi dengan perangkat digital.

Tapi, bukankah proses rekrutmen ASN sudah direformasi besar-besaran?

Saat ini, Indonesia memiliki proses seleksi terpusat untuk sistem pegawai negeri sipil berbasis karirnya. Rekrutmen 'fresh blood' biasanya hanya terjadi pada posisi rendah, dengan persaingan yang sangat ketat. Di tahun 2024, ada setidaknya 3,9 juta pelamar (mungkin ini ada hubungannya dengan lapangan kerja yang semakin sulit, tapi kita bahas nanti). Sementara itu, posisi atasan hampir selalu diambil dari internal.

Sebagai hasilnya, posisi tertinggi birokrasi (kecuali menteri yang ditunjuk secara politik) cenderung dipegang oleh yang memiliki pengalaman puluhan tahun.

Di satu sisi, PNS karir tentu memiliki pengetahuan mendalam tentang 'pipa' implementasi kebijakan. Pada saat bersamaan, ketika tantangan kebijakan publik hari ini berubah dengan sangat cepat dan membutuhkan agility serta keahlian yang sesuai, apa yang bisa kita lakukan?

Berita baiknya, PNS Indonesia memiliki akses luas ternauap pendidikan dan pelatihan, mulai dari program beasiswa seperti LPDP (25% alumni di tahun 2022), serta berbagai lembaga pelatihan seperti BKN, LAN, Universitas Perusahaan, dan berbagai pusat pelatihan kementerian. Sayangnya, efektivitas program-program ini belum terukur melalui proses monitoring and evaluation yang komprehensif terhadap kinerja.

UU No. 20/2023 mengamanatkan alokasi anggaran ntuk pengembangan kompetensi, yaitu sebesar 0.34 persen untuk pemerintah provinsi dan 0,16 persen untuk pemerintah kabupaten dan kota, yang mencakup bimbingan teknis dan program pelatihan. Alokasi ini belum dipenuhi oleh beberapa pemerintah daerah. UU ini juga telah mengubah paradigma pengembangan kompetensi bagi pegawai pemerintah yang sebelumnya dianggap sebagai hak, kini menjadi kewajiban wajib bagi seluruh PNS dan PPPK.

Aspek ini juga masih terpentok oleh masalah selanjutnya: budaya kerja dan struktur.

2. Budaya Kerja

Sebut saja Kanea, seorang ASN yang baru menyelesaikan program magisternya dengan beasiswa LPDP. Setelah mempelajari berbagai kerangka baru dan praktik baik untuk meningkatkan kinerja kementeriannya, ia bersemangat menyampaikan idenya kepada atasan maupun para rekan kerjanya. Namun, tidak ada yang mendukungnya.

"Kalau business as usual tidak ada masalah, kenapa harus diubah?" kata atasannya.

Banyak ASN (terutama yang masih muda) seringkali tidak diberi ruang yang cukup untuk merealisasikan ide baik, atau lebih parah lagi sekedar menuruti keinginan atasan mereka tanpa boleh bertanya. Budaya ini mendorong groupthink dan rasa takut untuk bersuara dalam internal kementerian, dan secara langsung berpengaruh terhadap kebijakan.

Alhasil, ASN 'bintang' (terutama yang masih di awal karir) sering diabaikan atau, lebih buruk lagi, menghadapi penolakan, karena upaya mereka menantang kebiasaan- kebiasaan lama. Budaya 'anti reform' ini menghambat inovasi sektor publik dan berkembangnya ide-ide baru.

3. Desain Proses Audit

Proses audit juga kadang dianggap sebagai salah satu risiko besar yang membuat ASN 'bintang' takut atau ragu-ragu mendorong perubahan signifikan. Tentu saja, proses audit sangat penting untuk membangun akuntabilitas (baik eksternal maupun internal).

Namun, desain yang kurang tepat berdampak pada kreativitas dan efektivitas sebuah program. Ketika insights baru muncul dalam proses implementasi, risk assessment yang kaku dapat menghambat upaya beradaptasi dan berinovasi. Akibatnya, inovasi di Indonesia lebih sering terjadi sebagai respons terhadap sebuah krisis atau perubahan prioritas, dan jarang sebagai inisiatif strategis yang 'disengaja'.

Adakah solusi untuk menyelaraskan relasi antara proses audit dan inovasi? Pada tahun 2015, Pengadilan Akuntansi Federal Brasil meluncurkan Colab-i, sebuah laboratorium inovasi yang didedikasikan untuk mengembangkan solusi kreatif.

Ini bukan berarti proses audit dan pemberantasan korupsi harus menjadi lemah, justru sebaliknya.

Kenyataannya, korupsi masih menjadi momok yang nyata. Kita dapat melihat kasus Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang memeras uang dari PNS, terutama eselon di Kementeriannya. Dana hasil pemerasan tersebut dikumpulkan melalui berbagai cara, termasuk uang tunai, transfer bank, dan barang atau jasa, dengan jumlah bulanan berkisar antara USD 4.000 hingga USD 10.000 (sekitar Rp 62-156 juta).

Selain menciptakan lingkungan yang menormalisasi korupsi, dinamika ini dapat menimbulkan kekhawatiran akan dianggap mengabaikan tugas, terutama karena penilaian kinerja seringkali mengutamakan pemenuhan harapan atasan, sebagaimana diformalkan dalam PermenPAN-RB No. 6/2022. Namun, loyalitas sejati ASN, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 20/2023, seharusnya kepada Konstitusi, Pancasila, dan negara- bukan kepatuhan buta kepada atasan.

4. Struktur Insentif

Indonesia sudah mengalokasikan 14,62% dari anggaran nasionalnya di tahun 2022 untuk kompensasi pegawai pemerintah, yang mencakup gaji, jaminan sosial, dan pensiun.

Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara- negara dengan ukuran yang sama, seperti Amerika Serikat, yang menghabiskan 8%, dan Brasil, sebesar 9,3%.

Namun, kompensasi tersebut tidak didistribusikan maupun distrukturkan dengan baik berbasis kinerja.

Selain gaji, bonus, dan fasilitas yang terkait dengan jabatan, ASN juga bisa memperoleh kompensasi pendapatan eksternal. Masalah juga bisa terjadi ketika pegawai negeri memperoleh sebagian besar pendapatannya dari kegiatan luar-misalnya dari kelompok kepentingan yang mencari dukungan pemerintah. Hal ini menyebabkan kekayaan yang dipertanyakan oleh para pejabat yang tetap tersembunyi dari pengawasan publik. Ingat kasus Rafael Alun?

Manajemen talenta yang efektif dalam layanan sipilbergantung pada proses assessment yang transparan, adil, dan memadai. Untuk menarik dan mempertahankan bakat terbaik, gaji pegawai negeri setidaknya harus sama dengan gaji di sektor swasta untuk kualifikasi yang setara.

Namun, menaikkan gaji saja bukanlah solusinya, terutama jika tidak dikaitkan dengan kinerja. Seperti kata pepatah, "Jika kinerja tidak diukur, maka kinerja tidak dikelola." Untuk tujuan ini, indikator kinerja yang jelas harus ditetapkan sebelum menerapkan skema gaji dan tunjangan apa pun.

Salah satu kendala paling umum: berbagai tunjangan tidak dikaitkan dengan pencapaian kinerja aktual. Sebaliknya, tunjangan biasanya ditentukan oleh faktor- faktor seperti jumlah anggota keluarga, lamanya masa kerja, dan senioritas-kriteria yang melemahkan prinsip- prinsip prestasi profesional.

Misalnya, inisiatif untuk menggandakan gaji guru melalui tunjangan sertifikasi tidak menghasilkan peningkatan hasil pendidikan. Mengapa? Karena tidak dikaitkan dengan luaran atau kinerja yang terukur. Hal penting yang dapat diambil dari situasi ini adalah perlunya menerapkan strategi untuk menilai efektivitas dan efisiensi biaya insentif berbasis kinerja dari waktu ke waktu, termasuk potensi efek yang tidak diinginkan. 

Evaluasi berkelanjutan ini penting untuk menginformasikan keputusan kebijakan tentang apakah akan melanjutkan, memodifikasi, atau memperluas skema insentif ini.

Insentif juga harus disesuaikan dan diuji coba untuk konteks tertentu guna mencegah perilaku negatif yang tidak diinginkan atau manipulasi sistem. Lebih jauh, praktik manajemen harus memberdayakan pegawai sektor publik dengan lebih banyak otonomi dan kebijaksanaan untuk mendorong kinerja yang lebih baik tanpa menyebabkan korupsi atau hasil yang merugikan.

Efek samping lain dari struktur insentif saat ini adalahkeberadaan "Kementrian Sultan" yang menyiratkan adanya kesenjangan mendasar dalam tunjangan (tukin) antara kementerian dan lembaga di Indonesia, serta pemerintah pusat dan daerah.

Kementerian dengan tukin lebih tinggi memandang perannya "strategis" dibandingkan kementerian lainnya. Ketidakseimbangan dalam kompensasi ini dapat menimbulkan masalah keadilan dan menyerukan tinjauan sistematis terhadap struktur tukin untuk memastikan semu pegawai negeri dinilai sama atas kontribusinya.

Selain itu, insentif non-finansial juga dapat digunakan untuk memotivasi pegawai pemerintah secara efektif, terutama ketika struktur gaji pegawai negeri yang kaku membatasi penghargaan finansial. Insentif ini dapat mencakup pengakuan sosial bagi mereka yang berprestasi tinggi, promosi berbasis kinerja, atau tunjangan dalam bentuk barang seperti perumahan bersubsidi.

Mari kita lihat salah satu praktik yang baik:

Pemerintah Provinsi Gorontalo menetapkan standar dalam pengembangan keterampilan pegawai negeri melalui berbagai inisiatif inovatif. Mereka secara aktif mengirim pegawai ke universitas- universitas terkemuka di Indonesia seperti UGM dan ITB, memastikan mereka memperoleh pengetahuan dan keahlian tingkat lanjut.

Program pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan keterampilan tertentu, sementara insentif berbasis kinerja memberi penghargaan atas pekerjaan yang luar biasa. Untuk lebih meningkatkan motivasi, paket kesejahteraan khusus ditawarkan kepada para guru, yang menumbuhkan lingkungan yang mendukung. 

Fokus pada kompetensi lokal melalui pendidikan berbasis wilayah juga memastikan bahwa tenaga kerja selaras dengan kebutuhan masyarakat. Penilaian kinerja berdasarkan produktivitas tidak hanya mendorong efisiensi tetapi juga mendorong peningkatan.

Upaya kolektif ini bukan hanya tentang pelatihan, tapi juga membangun pelayanan publik yang termotivasi dan terampil yang didedikasikan untuk melayani masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun