Ini bukan berarti proses audit dan pemberantasan korupsi harus menjadi lemah, justru sebaliknya.
Kenyataannya, korupsi masih menjadi momok yang nyata. Kita dapat melihat kasus Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang memeras uang dari PNS, terutama eselon di Kementeriannya. Dana hasil pemerasan tersebut dikumpulkan melalui berbagai cara, termasuk uang tunai, transfer bank, dan barang atau jasa, dengan jumlah bulanan berkisar antara USD 4.000 hingga USD 10.000 (sekitar Rp 62-156 juta).
Selain menciptakan lingkungan yang menormalisasi korupsi, dinamika ini dapat menimbulkan kekhawatiran akan dianggap mengabaikan tugas, terutama karena penilaian kinerja seringkali mengutamakan pemenuhan harapan atasan, sebagaimana diformalkan dalam PermenPAN-RB No. 6/2022. Namun, loyalitas sejati ASN, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 20/2023, seharusnya kepada Konstitusi, Pancasila, dan negara- bukan kepatuhan buta kepada atasan.
4. Struktur Insentif
Indonesia sudah mengalokasikan 14,62% dari anggaran nasionalnya di tahun 2022 untuk kompensasi pegawai pemerintah, yang mencakup gaji, jaminan sosial, dan pensiun.
Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara- negara dengan ukuran yang sama, seperti Amerika Serikat, yang menghabiskan 8%, dan Brasil, sebesar 9,3%.
Namun, kompensasi tersebut tidak didistribusikan maupun distrukturkan dengan baik berbasis kinerja.
Selain gaji, bonus, dan fasilitas yang terkait dengan jabatan, ASN juga bisa memperoleh kompensasi pendapatan eksternal. Masalah juga bisa terjadi ketika pegawai negeri memperoleh sebagian besar pendapatannya dari kegiatan luar-misalnya dari kelompok kepentingan yang mencari dukungan pemerintah. Hal ini menyebabkan kekayaan yang dipertanyakan oleh para pejabat yang tetap tersembunyi dari pengawasan publik. Ingat kasus Rafael Alun?
Manajemen talenta yang efektif dalam layanan sipilbergantung pada proses assessment yang transparan, adil, dan memadai. Untuk menarik dan mempertahankan bakat terbaik, gaji pegawai negeri setidaknya harus sama dengan gaji di sektor swasta untuk kualifikasi yang setara.
Namun, menaikkan gaji saja bukanlah solusinya, terutama jika tidak dikaitkan dengan kinerja. Seperti kata pepatah, "Jika kinerja tidak diukur, maka kinerja tidak dikelola." Untuk tujuan ini, indikator kinerja yang jelas harus ditetapkan sebelum menerapkan skema gaji dan tunjangan apa pun.
Salah satu kendala paling umum: berbagai tunjangan tidak dikaitkan dengan pencapaian kinerja aktual. Sebaliknya, tunjangan biasanya ditentukan oleh faktor- faktor seperti jumlah anggota keluarga, lamanya masa kerja, dan senioritas-kriteria yang melemahkan prinsip- prinsip prestasi profesional.
Misalnya, inisiatif untuk menggandakan gaji guru melalui tunjangan sertifikasi tidak menghasilkan peningkatan hasil pendidikan. Mengapa? Karena tidak dikaitkan dengan luaran atau kinerja yang terukur. Hal penting yang dapat diambil dari situasi ini adalah perlunya menerapkan strategi untuk menilai efektivitas dan efisiensi biaya insentif berbasis kinerja dari waktu ke waktu, termasuk potensi efek yang tidak diinginkan.Â
Evaluasi berkelanjutan ini penting untuk menginformasikan keputusan kebijakan tentang apakah akan melanjutkan, memodifikasi, atau memperluas skema insentif ini.
Insentif juga harus disesuaikan dan diuji coba untuk konteks tertentu guna mencegah perilaku negatif yang tidak diinginkan atau manipulasi sistem. Lebih jauh, praktik manajemen harus memberdayakan pegawai sektor publik dengan lebih banyak otonomi dan kebijaksanaan untuk mendorong kinerja yang lebih baik tanpa menyebabkan korupsi atau hasil yang merugikan.