"Kalau begitu, apa sebenarnya kau ini?"
"Aku lahir dari rahim Ovarium. Terpancar melalui saluran Tuba Fallopi. Dibesarkan dengan kematian. Di asuh oleh Estrogen dan Progesteron. Keberadaanku adalah sebuah bentuk kecintaan Tuhan kepada manusia. Itulah aku. Tapi aku bukanlah sebuah tujuan seperti yang kalian pikirkan." jawab Ovum.
"Jika perkataanmu benar, tunjukkan padaku, bahwa kau mampu berbuat bijaksana dengan kebenaranmu."
"Dasar sperma bodoh. Aku tak mungkin memberikan apa yang kau minta. Semua itu adalah hakNya. Sementara aku adalah cikal bakal kehidupan sekaligus kematian itu sendiri. Aku hanyalah sebuah gelapnya malam. Rabalah aku, kau tak akan memperoleh apa-apa. Aku kekosongan dalam kekosongan. Dan aku menjadi puncak kekosongan itu. Tanpa wujud dan tanpa bentuk."
"Wahai Ovum, aku tak mengerti dengan apa yang kau katakan. Maknanya terlalu tinggi untuk ku cerna. Cobalah kau bicara dengan bahasa setengah manusia. Bahasa yang keras dan vulgar. Tak usah kau bermain sajak dan prosa. Sebab itu hanya basa basi dan memalukan."
"Aku tak mau menyalahkan kalian para sperma." Jawab Ovum yang semakin tidak di mengerti.
Udara malam makin bertambah dingin. Seolah-olah melunturkan moral dan melupakan kebenaran. Bahkan sampai hari menjelang pagi, suara hiruk pikuk masih terdengar dari sisi samping Ovum yang pemimpinnya telah mati. Para sperma masih berebut kekuasaan di tengah-tengah menipisnya makanan. Mereka saling berebut untuk membahagiakan Ovum. Lama-kelamaan, suara-suara mengerikan itu perlahan-lahan mengecil.
ilustrasi
***
"Bolehkah aku bertanya sesuatu hal padamu, Ovum?
"Tak ada yang bisa melarang kau untuk bertanya. Kebebasan itu untuk menyampaikan suara hatimu. Bahkan kepada Tuhan sekalipun. Karena Tuhan tak pernah membuat peraturan untuk melarang makhluknya bertanya. Bahkan untuk mempertanyakan keberadaanNya."