Sebuah postingan menarik beredar. Di Facebook. Dikirimkan kepada saya oleh seorang sahabat. Rupanya postingan itu telah membuatnya gelisah.
Postingan itu memang menarik. Mungkin karena judulnya provokatif. Mungkin juga karena menyinggung suatu tradisi yang umum dipraktikkan masyarakat.
Belum lagi, langsung atau tidak langsung postingan itu mencela tradisi tahlilan yang banyak berkembang di masyarakat. Kbususnya di lingkungan muslim tradisional. Seperti juga yang saya praktikkan di dalam keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar.
Postingan itu berjudul, "Anak yang Tidak Mengadakan Tahlilan, Itulah yang Berbakti."
Postingan-postingan senada memang banyak berseliweran di era media sosial ini. Namun bilapun benar, postingan model begitu sama sekali tidak bijak. Bukan saja tidak bijak. Malah melanggar prinsip dakwah bilhikmah wal mauidzah hasanah.
Apalagi isu yang dibahas, sesuatu yang kontroversial. Sesuatu yang memang telah lama menimbulkan perbedaan pendapat. Tentu tidaklah bijak bila masing-masing pihak yang berbeda pendapat itu mengklaim paling benar. Lalu menyalahkan bahkan menuding sesat pihak lainnya.
Tahlilan memang tidak dipraktikkan di zaman Nabi dan Sahabat. Tapi ini tidak cukup untuk dijadikan dalil menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Ada begitu banyak hal terkait ibadah yang tidak dipraktekkan di zaman Nabi, tapi halal dan boleh dilakukan.
Bukan saja terkait ibadah non ritual (ghair mahdah). Bahkan juga berkenaan dengan ibadah ritual (mahdah). Berbagai gerakan dan bacaan di dalam shalat misalnya, tidak saja hanya bersumber dari al-Quran dan hadis. Tetapi juga didasarkan pada fatwa tabiin dan para ulama.
Sebut juga misalnya dalam ibadah zakat. Di zaman nabi dan para sahabat, tidak ada praktek berzakat dengan beras atau sagu. Tapi itu tidak lantas haram untuk dilakukan pada zaman sekarang.
Di zaman Nabi dan sahabat, tidak ada al-Quran dengan tulisan yang berharakat. Jangankan berharakat, di masa itu huruf al-Quran bahkan tidak bertanda baca.
Tulisan al-Quran yang bertanda baca dan berharakat baru muncul hampir 100 tahun setelah masa Nabi dan sahabat berlalu. Tapi itu tidak membuat membaca al-Quran yang berharakat dan bertanda baca menjadi haram dan tidak halal.
Lantas bagaimana halnya dengan tahlil. Persis sama dengan berzakat dalam bentuk beras, membaca al-Quran yang bertanda baca dan berharakat, tahlil juga tidak dipraktekkan pada masa nabi dan sahabat.
Tapi itu tidak lantas berarti sesuka hati menvonisnya sebagai bid'ah atau haram. Terlebih berbagai hadis yang disebutkan dalam postingan itu, tak satupun yang secara eksplisit mengharamkan tahlil. stilah nihayah yang disebutkan dalam beberapa hadis itu, tak ada kaitannya sedikitpun dengan tahlil.
Bagi saya, orang yang seenaknya mengharamkam tahlil seperti dalam postingan itu, disebabkan oleh beberapa hal:
1. Tidak paham arti kata tahlil. Kata tahlil itu artinya kalimat tauhid. Yaitu ucapan:
Bila demikian, mereka yang mengharamkan tahlil, sama saja dengan mengharamkan kita mengucapkan kalimat tauhid itu. Padahal demikianlah sesungguhnya substansi dari praktik tahlil di masyarakat. Mengucapkan kalimat tauhid, tahmid, tasbih, shalawat, dan ayat suci al-Quran secara berjamaah.
Siapakah yang lebih sesat dari orang yang mengharamkan praktek mulia seperti itu?
2. Kedangkalan ilmu. Semangat beragama yang tidak diimbangi dengan ilmu yang cukup memang kerap membuat orang terjebak pada pubersitas spiritual.
Sebuah sikap dan perilaku beragama yang mirip-mirip seorang remaja dalam masa pubersitas. cenderung merasa benar sendiri. Juga gemar sekali menyalah-nyalahkan orang lain. Padahal dirinya sendiri belum lagi memiliki pengetahuan yang memadai dan kedewasaan mental serta intelektual.
Demikian pula halnya dalam kasus tahlil ini. Postingan seperti itu sangat mungkin muncul dari orang yang sedang mengalami pubertas spiritual. Memiliki semangat beragama yang kuat, tapi belum matang secara mental dan intelektual. Semangat beragamanya sangat besar, tapi basis keilmuannya dangkal.
Padahal tahlil secara historis telah dipraktekkan sejak masa tabiin. Berakar dari fatwa seorang ulama tabiin. Imam Atho. Menurut imam Atho, orang yang meninggal dunia, diuji di kuburnya selama tujuh (atau) empat puluh hari. Untuk itu sang imam memfatwakan anjuran bersedekah dan berkirim doa.
Fatwa Imam Atho ini sejalan dengan sebuah riwayat. Bahwa suatu hari Rasulullah ditanya oleh seseorang yang ibunya baru saja meninggal. Orang tersebut bertanya: "Apakah aku boleh bersedekah untuknya?"
Nabi menjawab:
 "bersedekahlah."
"Sedekah apa yang paling utama?", orang itu lanjut bertanya.
Nabi menjawab: "sedekah memberi air minum".
Belum lagi bila tahlil dikaji dari perspektif usul fiqh. Di dalam usul fiqh misalnya terdapat kaidah :
al-Adatu muhakkamah. Adat kebiasaan di suatu masyarakat bisa menjadi sumber hukum. Tentu sepanjang adat tersebut tidak bertentangan dengan hal-hal prinsip dalam Islam. Terutama prinsip tauhid dan prinsip tidak berlebih-lebihan dalam berbagai hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H