Mohon tunggu...
Hayyun Nur
Hayyun Nur Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Pemerhati Sosial

Seorang penulis frelance, peminat buka dan kajian-kajian filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Disertasi Milk Al Yamin dan Minimnya Tradisi Literasi

6 September 2019   08:03 Diperbarui: 6 September 2019   08:32 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Disertasi Milk al-Yamin dan Minimnya Tradisi Literasi

=Hayyun ZSavana=

Wawancara di salah satu stasiun tv  itu, sangat tidak memadai. Bila dimaksudkan untuk menjelaskan isi disertasi yang heboh itu secara utuh. Ada banyak bias dan distorsi di sana. 

Selain karena keterbatasan waktu, Abdul Aziz sendiri nampak kurang artikulatif ketika menjelaskan substansi gagasan disertasinya. Tapi ada banyak orang sudah merasa cukup dengan wawancara singkat itu. Lalu terburu-buru mengambil kesimpulan negatif. Umumnya menyudutkan sang penulis.

Disertasi itu memang berhasil membuat heboh. Kehebohan itu  diawali oleh berita di beberapa media massa. Biang keladi kehebohan berpangkal dari judul berita yang terkesan lebih menonjolkan unsur sensasionalnya ketimbang substansi. 

Bahkan sejak dari judul beritanya. Tentang hal inilah klarifikasi dari pihak UIN Sunan Kalijaga mula-mula dilakukan.  Merasa tidak cukup sekedar dengan  klarifikasi di media, pihak UIN merasa perlu  mengadakan jumpa pers khusus untuk itu.

Jumpa pers itu dilengkapi dengan press realease lengkap. Meliputi penjelasan  promotor dan seluruh penguji. Juga Rektor UIN Yogya yang hadir secara khusus di forum itu.

Minimal membaca press realease itu, gambaran jelas tentang isi disertasi setebal 400 halaman lebih itu berikut  hal sebenarnya yang terjadi, dapat diperoleh. Paling tidak sebagai informasi awal. Dan itu tidak persis seperti yang dihebohkan. Apalagi yang terlanjur dituduhkan kepada Abdul Aziz.

Tapi kehebohan memang terlanjur berkembang. Bahkan mengarah kepada situasi yang tidak produktif. Ada caci maki, ada tudingan sesat, murtad bahkan kafir. Dilengkapi dengan ancaman dan teror psikis kepada Abdul Aziz dan keluarga. Sampai-sampai Abdul Aziz terpaksa harus menyampaikan permintaan maaf.

Permintaan maaf ini sebenarnya tidak perlu dilakukan.  Permintaan maaf penulis itu justru mengecewakan secara intelektual dan akademik. Penulis mestinya tak perlu meminta maaf kepada siapapun. Sebuah karya ilmiah tidak boleh tunduk pada persekusi dan bulliying. 

Apalagi itu oleh netizen yang sebenarnya tak paham persoalan.  Lagi minus tradisi intelektual. Tak ada yang perlu dimintakan maaf untuk sebuah pemikiran ilmiah. Sesesat apapun pemikiran itu.

Caci maki, tudingan, dan ancaman itu hampir pasti datang dari orang-orang yang tidak paham persoalan. Tidak punya tradisi ilmiah. Kaum sumbu pendek yang anti intelektual. Mereka itu pasti tidak mengenal siapa Doktor Syahrur. Pasti belum pernah membaca secuilpun karya-karya cendekiawan Muslim asal Suriah itu.

Semisal al-Kitab wa al-Qur'an: Qira'atun Mu'asarah" (Pembacaan Kontemporer al-Qur'an). Pasti pula belum membaca disertasi itu secara utuh. Orang-orang seperti ini biasanya hanya dengan membaca judul atau sepotong berita dan secuil wawancara saja, merasa sudah cukup memiliki kapasitas dan kompetensi untuk menyimpulkan, menyalah-nyalahkan dan menuding sesat. Lalu tiba-tiba pada kegeeran merasa paling relijius, paling taat beragama, paling punya kontribusi membela agama.

Mereka lupa kalau sikap juga perilaku serupa itu justru juga melanggar perintah agama. Menyimpulkan sesuatu tanpa dilengkapi informasi dan data lengkap, itu tak berbeda dengan prasangka. Hal yang sangat dilarang oleh agama.  Begitu pula mencaci maki pun menuding sesat, tak kalah terlarangnya. 

Tak pelak agama mengingatkan, bila  tudingan sesat apalagi pengkafiran terhadap seseorang  justru merupakan  kesesatan dan kekafiran itu sendiri. Begitu keras agama mengingatkan ini.

Mereka juga pasti  lupa. Kalau al-Qur'an justru memberi apresiasi besar  bagi orang-orang berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas,  lagi memaksimalkan fungsi akal pikirannya. 

Nabi sendiri memberi nilai lebih kepada para pemikir. Yang dengan ilmunya berusaha semaksimal mungkin menemukan inovasi-inovasi mutakhir solutif bagi problem sosial keumatan. Bukannya menyalahkan, nabi malah tetap memberi single reward bagi seorang pemikir. Sekalipun pemikirannya tersebut jelas-jelas  terbukti salah.

Tapi sayang, pada suatu kaum minim literasi nan jauh dari peradaban iqra' itu, yang berkembang bukanlah tradisi diskusi. Tapi persekusi. Pun bulliying. Yang hampir pasti dilakukan secara keroyokan. Itulah yang terjadi kini.

Karena miskin literasi, bisanya hanya memaki dan menuding orang sesat. Ironi kaum yang jauh dari peradaban Iqra'.

Padahal cara yang paling adil dan beradab untuk menghakimi sebuah karya ilmiah adalah dengan karya ilmiah pula. Bukan dengan asumsi, apalagi caci maki dan menuding sesat. Lebih-lebih ancaman dan teror psikis maupun fisik.

Menuding sesat sebuah pemikiran, sebelum membacanya secara menyeluruh, itulah kesesatan yang sesungguhnya. Bahkan kebiadaban.

Gemarlah membaca, belajarlah menulis, perbanyak diskusi, biar tak mudah emosi, tak mudah mencaci-maki dan menuding sesat suatu pemikiran. "Sesesat apapun" pemikiran itu.

Untuk semua ironi ini, saya tiba-tiba tercenung dengan komentar singkat Dwi Istiyani. Sesama alumni UIN Sunan Kalijaga dan  aktifis HMI era 90-an di Yogya. Yang kini aktif sebagai dosen di UIN Walisongo Semarang.

"Atau jangan-jangan Neo Khawarij sedang bangkit"

Benarkah demikian? Memang patut dicermati. Memang ada kemiripan-kemiripan modus. Paling tidak pada gejala-gejala awal.  Terdeteksi jelas dari perilaku sementara orang itu. Reaktif, emosional, gemar pula menyalah-nyalah orang. 

Lalu merasa paling benar, paling relijius, paling gigih membela agama, sambil menuding orang lain sesat. Begitu gemar mengkafir-kafirkan pun menghalalkan darah orang lain hanya karena berbeda pendapat.

Sikap dan perilaku sejenis ini,  sejatinya bukan hal baru dalam sejarah Islam. Ini "penyakit" dan "syndrom" klasik yang belakangan kembali tumbuh subur.

Dalam sejarah Islam, perilaku macam ini direpresentasikan oleh suatu kelompok yang dikenal dengan sebutan kaum Khawarij. Inilah kaum yang disinyalir menjadi akar historis berabad lahirnya fundamentalisme dan terorisme dalam sejarah Islam.

Suatu sikap dan perilaku yang dewasa ini kembali menggejala. Termasuk dalam beragam respon berlebihan terhadap Disertasi Milk al-Yamin itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun