Tidak peduli dengan apa yang sedang kamu rasakan, album self-titled karya Hospital Sports akan selalu berhasil membawamu ke dalam dunia yang dipenuhi dengan kemurungan hidup. Band asal Selandia Baru yang dibentuk pada tahun 2011 ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu spiritual successor dari American Football walaupun melalui karakteristiknya sendiri yang unik, Hospital Sports lebih dekat kepada indie rock melalui distorsi serta dinamikanya yang cukup keras. Lagu Swiss Army Knife menjadi contoh prima bagaimana Hospital Sports mampu memaksimalisasi penggunaan distorsi dengan efisien sehingga menciptakan tekstur kasar yang mampu melengkapi kehangatan vokal Danny Ebdale yang menjadi tokoh kunci dalam Hospital Sports. Berbeda dengan band-band lainnya yang amat mengedepankan instrumen bernada malu-malu sayup, Hospital Sports tampil beda dengan berfokus kepada lirik mereka yang terbalut distorsi kasar. Lirik mereka yang mematahkan semangat hidup dan tempo musik yang lambat menjadi kunci utama yang menjadikan mereka terdengar mirip dengan American Football. Hanya dalam waktu kurang dari 35 menit, album self-titled karya band dengan 145 pendengar bulanan ini mampu membuatmu merasa putus asa.
Pretend merilis debut mereka yang berjudul Bones in the Soil, Rust in the Oil pada tahun 2009, tepatnya pada tahun kelima setelah pembentukan mereka. Bakat mereka dalam math rock berhasil menciptakan kombinasi yang seimbang antara vokal yang penuh emosi dengan balutan drum, basis, dan gitar yang santai, tetapi mengejutkan. Mencoba untuk menjadi band dengan nyawa yang dreamy dan muram di waktu yang bersamaan melealui vokal Luke Palascak yang empuk, Pretend juga tidak malu-malu dalam mengedepankan penggunaan drum oleh Joel Morgan untuk membentuk dinamika musik yang tidak melempem. Karakteristik Pretend yang khas akan math rock dan post-rock melalui tempo yang lambat dan lirik yang sedikit namun berisi mengingatkan penulis akan American Football, khususnya kepada album AF yang kedua. Namun, Pretend jauh lebih berani dalam memanfaatkan drum alih-alih vokal untuk menciptakan keseluruhan api yang lebih bergairah. Bila dibandingkan dengan band-band sebelumnya, dapat dikatakan bahwa Pretend merupakan band dengan jumlah pendengar yang sangat banyak, yaitu mencapai 10 ribu dengan mayoritas pendengar berasal dari Amerika Serikat. Tentu jumlah tersebut merupakan jumlah yang sangat banyak bila dibandingkan dengan band-band sebelumnya yang hanya mencapai tiga digit.
Hubungan yang gagal dan pertemanan yang berakhir buruk mewarnai lirik album debut We Do What We Can yang dirilis oleh Tangled Hair, band asal London, pada tahun 2018. Band ini diisi oleh para mantan anggota band Colour sehingga mereka memiliki ciri khas musik yang kurang lebih tidak terlalu berbeda jauh dengan Colour. Nostalgia menjadi tema utama dalam album debut mereka di mana hal ini merupakan peristiwa yang lumrah terjadi mengingat mereka merupakan band yang mengombinasikan indie rock, emo, dan post-hardcore. Memang terdapat substansi post-hardcore yang masih terdengar kental dalam album ini melalui ritma mereka yang tidak biasa dan lantunan instrumen yang menggebu-gebu tetapi tidak terlalu gegabah. Selain itu, Tangled Hair memiliki time signature yang inkonvensional, tetapi masih dapat diterima mengalir begitu saja ke dalam telinga. Kemiripan Tangled Hair dengan American Football terdapat pada kemampuan mereka untuk membangun gelembung keputusasaan secara tentram dan syahdu walaupun instrumen yang mereka mainkan jauh lebih berhasrat. Lebih populer dibandingkan dengan band-band sebelumnya, Tangled Hair memiliki jumlah pendengar bulanan yang mencapai 18 ribu.
Meander + Return yang dirilis oleh C-Clamp sebagai album debut mereka merupakan album terakhir yang bisa penulis rekomendasikan. Didirikan pada tahun 1994 di Illinois, C-Clamp sayangnya hanya merilis dua album hingga akhirnya meninggalkan panggung musik secara permanen pada tahun 1999. C-Clamp sendiri sering diasosiasikan dengan slowcore, indie rock, post-rock, dan math rock. Pada album debut mereka, C-Clamp mampu memunculkan suasana kesunyian fajar ketika matahari baru saja beranjak dari kasurnya. Tempo yang terkalkulasi dengan matang mampu menemani lirik sederhana yang dinyanyikan dengan halus walaupun layering yang padat menyebabkan hasil akhir dari album ini terdengar kasar. Suasana album secara keseluruhan memang memiliki beberapa persamaan dengan album American Football pada titik tertentu, tetapi layering instrumen yang berisi dan padu mungkin tidak cocok bagi sebagian orang.
Sebagai band yang telah bubar selama lebih dari 20 tahun, C-Clamp masih memiliki jumlah pendengar bulanan yang tidak sedikit. Pada saat artikel ini dirilis, mereka memiliki 2800-an pendengar bulanan di Spotify.
Jadi, tunggu apalagi? Sudah saatnya kita  menyeduh kesedihan kita dengan mendengarkan album-album yang mengundang pedih.
A long godobye
With mixed emotions
Just fragments of
Another life
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H