“lha mintanya berapa”
“50 ribu” ..asal ngomong saya
“ wah mas .. wong kamarnya saja 25 ribu”
Saya ngakak.
“khan masih untung? Toh nggak kulakan” saya genit.
Perempuan itu mesam-mesem.
“ya dah .. 75 wae mas .. itung-itung penglaris”
Wah .. ada mode penglaris juga untuk profesi ini.
Transaksi berhenti. Saya nggak nawar lagi. Tapi iseng bertanya, berapa lama ia berprofesi seperti itu dan kenapa. Kata perempuan itu, dia dah berprofesi seperti itu sejak umur 18 tahun, sekarang ia berumur 27 tahun. Dan dia melakukan itu karena dihamili pacarnya dan diusir orang tuanya. Jawaban klise yang sebenarnya sudah saya duga sebelumnya. Otak saya berfikir keras menghindari perempuan ini. Nyesel juga punya otak iseng
Akhir transaksi, dia mengajak saya kesebuah losmen disekitar RRI, Saya minta dia duluan. Saya nyusul belakangan. Ketika diperjalanan, sebuah mobil yang terseok memisahkan jarak kami. Kesempatan itu saya manfaatkan.. saya kabur seperti pencopet dikejar hansip. Meluncur kerumah, masuk kamar dan ndekem sambil istigfar berkali-kali.
Saya kemudian inget pada si Konyil (entah siapa nama sebenarnya). Seorang pelacur diarea stasiun Ledoksari. Sebuah kawasan dimana saya dibesarkan. Daerah itu memang berhimpit antara stasiun, perumahan dan pasar. Yang terjadi adalah interaksi antara penduduk, preman, copet, pedagang dan pelacur. Dibelakang rumah saya, yang berupa rel kereta api, setiap malam dijadikan ajang transaksi prostitusi, perdagangan tertua didunia.