Ki Hajar Dewantara adalah seorang tokoh pendidikan Indonesia yang menentang pendidikan zaman penjajahan Belanda. Pada waktu itu sistem pendidikan hanya menguntungkan penjajah dan bagi segelintir orang saja yang berkesempatan mengenyam pendidikan.Â
Pria bernama asli Soewardi Surjaningrat itu menekankan apa yang disebutnya "kemerdekaan dalam belajar". Beliau juga mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta untuk memberikan kesempatan hak pendidikan yang sama bagi rakyat Indonesia. Di Taman Siswa sendiri Ki Hajar Dewantara menggabungkan konsep bermain dari Froebel serta melatih panca indra dari teori Montessori.
Konsep dan pemikiran dari Ki Hajar Dewantara itulah yang dipakai dalam Kurikulum Merdeka yang sekarang digaungkan dalam era Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Bapak Nadiem Makarim. Selain itu, Kemendikbudristek juga meluncurkan program Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak yang bertujuan mendorong perubahan pengembangan pembelajaran yang lebih baik di komunitasnya.
Dalam modul Pelatihan Guru Penggerak, hal pertama yang dipelajari oleh calon guru penggerak adalah mengenal pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara yang tertuang dalam tulisan "Dasar-Dasar Pendidikan" di tahun 1936. Filosofinya yang terkenal adalah ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani yang artinya di depan memberikan teladan, di tengah memberi semangat, dibelakang memberikan dorongan.
Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang merdeka dan beradab, maka pendidikan adalah kunci utamanya. Berikut ini beberapa pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara. Pemikiran tersebut terbukti masih dapat diterapkan hingga zaman sekarang di Indonesia.
Pendidikan yang Menuntun
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pengajaran. Pengajaran merupakan bagian dari pendidikan. Pendidikan itu sendiri bertujuan untuk menuntun (among) kodrat yang ada dalam diri anak, agar mereka dapat mencapai kebahagiaan yang setinggi-tingginya.Â
Pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat pada anak-anak agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Menuntun di sini adalah membimbing, memberi contoh, mendidik, mengawasi anak serta memberi kebebasan kepada anak untuk mengembangkan dirinya dan siap hidup di masyarakat.Â
Pendidik Diibaratkan Petani Kehidupan
Selanjutnya peran pendidik diibaratkan seorang petani atau tukang kebun dan siswa diibaratkan sebagai tanaman. Petani merawat, memelihara  tanaman-tanaman tersebut agar tumbuh baik. Setiap tanaman berbeda perlakuannya. Hal ini berarti pendidik harus memperlakukan anak sesuai dengan kebutuhannya.
Bermain sebagai Kodrat Anak
Dalam pembelajaran, sebaiknya pendidik juga memperhatikan bahwa kodrat anak adalah bermain. Dengan bermain, anak merasakan kegembiraan yang akan membekas dalam hati dan pikirannya.Â
Untuk itu, pendidik hendaknya memasukkan unsur bermain dalam pembelajaran agar siswa senang dan tidak mudah  bosan. Contoh permainan tradisional seperti congklak, gobag sodor, bola bekel, dan sebagainya. Selain konsep bermain yang menyenangkan, anak juga sambil belajar tentang strategi, perhitungan, kekompakan, dan tentunya melestarikan kebudayaan yang ada di sekitar.
Pendidikan Berhubungan dengan Kodrat Alam dan Kodrat ZamanÂ
Kodrat alam berhubungan dengan lingkungan tempat tinggal anak. Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, adat istiadat. Semuanya mempunyai ciri masing-masing yang belum tentu cocok jika dipakai di daerah yang berbeda, sehingga pendidik perlu menyesuaikan dengan lingkungan tempat tinggal anak.Â
Kodrat zaman berkaitan dengan zaman atau waktu saat ini. Â Pendidik perlu membekali keterampilan sesuai konteks pembelajaran saat ini yakni menghadapi era globalisasi dengan kemajuan teknologi. Akan tetapi, pendidik juga harus bisa menyelaraskan kebudayaan dari luar serta menuntun anak agar dapat menyaring pengaruh yang dapat menimbulkan hal negatif.Â
Anak Bukanlah Kertas Kosong
Ki Hajar Dewantara menentang teori tabularasa. Anak bukanlah kertas putih kosong yang bisa digambar sesukanya oleh orang dewasa. Akan tetapi, anak terlahir dengan kodrat masing-masing yang masih samar. Tugas pendidik adalah menebalkan kodrat yang masih samar tersebut dengan membimbing mereka agar muncul sifat baiknya dan menguburkan sifat yang jeleknya.
Hal yang dapat dilakukan oleh pendidik dalam menebalkan garis kodrat tersebut dengan kekuatan konteks diri anak sesuai dengan tahap perkembangan serta sosio budaya anak tersebut.
Pendidikan  Budi Pekerti
Ki Hajar Dewantara juga mengungkapkan pentingnya budi pekerti. Budi pekerti, watak, karakter, merupakan perpaduan harmonis antara pikiran (cipta), perasaan (rasa), Â kehendak atau kemauan (karsa/karya) sehingga menimbulkan tenaga/semangat (pekerti).Â
Pendidik harus memberikan teladan yang baik bagi siswa dalam mengembangkan budi pekerti. Penanaman budi pekerti bisa dilakukan dengan kegiatan pembiasaan di sekolah seperti memberi salam dan mencium tangan guru ketika datang atau pulang sekolah.
Penerapan Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Berdasarkan filosofi dan pemikiran pendidikan dari Ki Hajar Dewantara tersebut, tentunya timbul pertanyaan, bagaimana menerapkan pemikiran tersebut? Berdasarkan refleksi dan pengalaman penulis sendiri sebagai seorang pendidik anak berkebutuhan khusus, SKh Negeri 02 Kota Serang, Banten, beberapa pemikiran tersebut sudah diterapkan di sekolah. Hal ini lebih memperjelas penulis dalam memahami pemikiran pendidikan dari Ki Hajar Dewantara setelah mempelajari modul 1.1 PGP.Â
Pembelajaran anak berkebutuhan khusus disesuaikan dengan kemampuan dan kekhususan anak tersebut. Setelah dilakukan asesmen, maka dibuat profil anak dan pembelajaran individual jika diperlukan. Mengingat kemampuan anak terutama tunagrahita dan  autis yang kemampuan kognitifnya kurang, maka anak tidak ditekankan pada kemampuan akademis, tetapi lebih ke keterampilan.Â
Lingkungan sosial budaya yang agamis dan daerah pertanian, maka sekolah mengadakan program pembiasaan keagamaan, serta produksi keterampilan dari barang bekas dan membuat keripik daun singkong.
Ke depannya, penulis akan menuntun agar anak berkebutuhan khusus bisa berkembang di masyarakat, mampu percaya diri dan lebih mandiri dengan menggiatkan kegiatan intra dan ekstrakurikuler seperti OSIS, Pramuka, dan belajar kepemimpinan.Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H