Menurut data yang dimiliki UNHCR hingga akhir 2020, jumlah orang yang terpaksa meninggalkan negara asalnya karena terjadinya konflik-konflik berkepanjangan adalah 82.4 juta orang, dimana 26.4 juta diantara jumlah tersebut diidentifikasi sebagai pengungsi.Â
UNHCR di Indonesia sendiri sudah berdiri sejak tahun 1979 dengan kantor pusat yang terletak di Jakarta dan perwakilan di beberapa kota yaitu Medan, Tanjung Pinang, Surabaya, Kupang, Pontianak, dan juga Makassar.Â
Karena Indonesia tidak menjadi atau belum menjadi salah satu negara yang meratifikasi Konvensi 1951 tentang pengungsi, maka UNHCR memiliki kewenangan untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi di Indonesia.
Posisi geografis Indonesia menjadi salah satu penyebab banyaknya pencari suaka yang singgah di Indonesia. Indonesia menjadi penghubung antar kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah, maka wilayah-wilayah di Indonesia seperti Semenanjung Riau, Kalimantan, dan Aceh menjadi wilayah yang dapat dibilang rawan untuk dimasuki para pencari suaka, terlebih lagi karena wilayah ini tidak seluruhnya dijaga oleh aparat baik pemerintah maupun penegak hukum.Â
Pengungsi dari Afghanistan terdata sebagai jumlah tertinggi, sebagian besar dari mereka merupakan pengungsi dengan tujuan utama Australia.
Di Jakarta, pengungsi asal Afganistan dapat ditemukan hidup dengan tidak layak dimana mereka terpaksa tidur di trotoar selama berbulan-bulan bahkan tanpa makanan karena tidak memiliki uang.Â
Seperti yang sangat ramai dibicarakan pada saat ini, diketahui bahwa kelompok Taliban menjadi kelompok oposisi yang menciptakan ketidakstabilan di Afghanistan melalui serangan- serangan sehingga menyebabkan rusaknya bangunan infrastruktur, perekonomian negara, trauma psikologis masyarakat, dan bahkan korban meninggal dunia. Hal ini sudah terjadi sejak 1996 hingga menyebabkan masyarakat tidak lagi dapat merasa aman di negaranya dan memilih untuk bermigrasi ke negara lain sebagai pengungsi atau pencari suaka termasuk ke Indonesia.
Pengungsi tentu saja mengalami kesulitan karena harus beradaptasi dengan lingkungan yang ada di Indonesia, namun hal yang lebih buruk adalah para pengungsi tersebut berkeinginan untuk berpindah sesegera mungkin ke negara ketiga dengan harapan agar mereka mendapatkan pekerjaan tetap di sana, karena di Indonesia tidak ada pekerjaan yang tersedia untuk pencari suaka.Â
Demikian juga anak-anak yang tidak sekolah, maka tunjangan bulanan dari IOM (International Organization for Migration) yang selama ini turut menanggung jawabi pengungsi dan pencari suaka di Indonesia, tidaklah cukup untuk mendapatkan kehidupan yang layak.Â
Kondisi buruk sangat dominan dalam kehidupan para pengungsi dimana masalah kesehatan mental seperti depresi, hingga pada tingkat keinginan bunuh diri. Permasalahan ini menyebabkan para pengungsi beberapa kali memilih untuk berunjuk rasa.
Untuk merespon hal tersebut, National Media and Communication Officer di IOM sempat merespon dengan mengungkapkan bahwa IOM tidak berpartisipasi dalam  proses penentuan status pengungsi dan IOM tidak memiliki wewenang untuk mengidentifikasi atau mengusulkan pengungsi untuk dipindahkan ke negara tertentu, melainkan peran IOM adalah hanya sebatas mengatur proses perpindahannya seperti dalam urusan penerbangan dan bantuan bandara.Â
Hal itu dapat dilakukan jika pengungsi telah diterima ke dalam program negara penerima. Namun selain dari tugas tersebut, IOM terus mempertahankan program kesehatan, psikososial, dan usaha perlindungan lain untuk mendukung populasi inti pengungsi di Indonesia, serta membantu pemerintah dengan memberikan akomodasi, tunjangan hidup bulanan, akses layanan kesehatan, akses pendidikan, dan layanan rujukan lainnya sebagai bentuk perlindungan terhadap para pengungsi.Â
IOM memberi tunjangan hidup bulanan tersebut kepada pengungsi dengan jumlah tarif yang ditetapkan berdasarkan perhitungan cermat demi mencukupi makanan, air, dan biaya hidup sehari-hari terpenuhi.
Meski permasalahan jumlah pengungsi Afghanistan di Indonesia menjadi beban negara dan tersangkut-paut dengan pihak Afghanistan, namun perwakilan diplomatik Afghanistan tidak memiliki tanggung jawab terhadap pengungsi dari Afghanistan karena mereka sudah menanggalkan kewarganegaraan Afghanistan ketika keluar dari negaranya. Maka Indonesia harus membuat kebijakannya sendiri untuk menangani permasalahan ini.
Memang telah dikeluarkan Peraturan Presiden no. 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang digunakan sebagai landasan normatif dan koordinatif bagi Kementerian/Lembaga dan dalam penanganan pengungsi dari luar negeri dengan peran Pemerintah Daerah.Â
Namun dengan tidak adanya kontribusi dari Afghanistan dapat menjadi konflik yang meretakkan hubungan diplomatik Afghanistan dengan Indonesia, hal tersebut harus dihindari melihat arus pengungsi berdampak tidak hanya pada kestabilan ekonomi dan keamanan Indonesia, namun juga hak asasi pengungsi dan pencari suaka Afghanistan.Â
Maka dari itu, merujuk kembali kepada Article 3 Part (c) Konvensi Wina 1961 dijelaskan tentang fungsi misi diplomatik yang berbunyi, (c) Negotiating with the Government of the receiving state.Â
Yang menjelaskan mengenai fungsi misi diplomatik  dari seorang perwakilan diplomatik untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah Negara penerima. Maka dalam kasus ini negosiasi dapat dilakukan terkait penanganan pengungsi yang berasal dari Afghanistan, selain itu perwakilan diplomatik Afghanistan juga dapat bekerja-sama dengan UNHCR dalam mengurusi pendataan pengungsi dan penanganan lainnya yang diperlukan, seperti mengenai peranan lintas sektoral dalam menjamin pemenuhan hak-hak pengungsi.Â
Maka walaupun Afghanistan tidak memiliki tanggung jawab dalam menangani pengungsi Afghanistan di Indonesia, akan tetapi fungsi diplomatik tersebut dapat mengambil peran dengan dilandasi oleh prinsip itikad baik terhadap hak kemanusiaan para pengungsi dan pencari suaka, dan juga terhadap hubungan diplomatik Indonesia dan Afghanistan.
Referensi
Asti, N. R., & Rahayu, S. L. (2019, Juni). Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Bagi Pencari Suaka yang Transit di Indonesia Sembari Menunggu Status Pengungsi. Belli Ac Pacis, 5(1), 1-7.
Lestari, I., Cangara, H., & Darwis. (2015, Juni). Pengungsi dan Pencari Suaka Afganistan dengan Masyarakat Lokal di Kota Makassar: Suatu Analisis Efektivitas Komunikasi Antar Budaya). Jurnal Komunikasi KAREBA, 4(2), 101-115.
Nathanael, J. J., & Puspita, N. Y. (2021, Februari 5). Penanganan Pengungsi Afghanistan di Indonesia: Turut Bertanggung Jawabkah Perwakilan Diplomatik Afghanistan di Indonesia? Jurnal Komunikasi Hukum, 7(1), 312-323. https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh.
UNHCR. (n.d.). Pengungsi di Indonesia. UNHCR The UN Refugee Agency Indonesia. Retrieved Mei 12, 2021, from https://www.unhcr.org/id/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H