Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mencatat 385.980 kasus konfirmasi COVID-19 di Indonesia dengan 13.205 kematian (CFR = 3,4%) per 24 Oktober 2020, angka ini dapat mengalami pertambahan seiring berjalannya waktu.
Kondisi ini menunjukkan angka mortalitas COVID-19 di Indonesia lebih tinggi dibandingan dengan mortalitas di Asia Tenggara (1,6%) dan dunia (2,7%). Bahkan di hari yang sama data WHO menunjukkan Indonesia berada diurutan ke 2 setelah India sebagai negara dengan kematian akibat COVID-19 tertinggi di Asia.
Dilansir dari situs CNN Indonesia (2020), Dicky Budiman, Pakar Epidemiologi Universitas Griffith, Australia mengungkapkan bahwa kluster keluarga menjadi salah satu kluster yang dapat meningkatkan persebaran COVID-19.
Kajian ilmiah tentang pandemi menyebutkan kluster keluarga berkontribusi sebesar 50% - 85% terhadap peningkatan kasus COVID-19 di suatu negara, kondisi ini merujuk pada penularan virus corona pada kluster keluarga di Amerika Serikat, Brazil dan China yang berasal dari tempat umum dan penerapan isolasi mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa, jika terdapat satu anggota keluarga yang terinfeksi COVID-19, maka anggota keluarga lainnya akan berisiko tertular virus yang sama.
Peneliti Cina berhasil menunjukkan kasus awal persebaran COVID-19 yang terjadi pada sebuah keluarga di Kota Shenzen, Provinsi Guangdong, Cina, dimana 6 anggota keluarga melakukan perjalanan ke Kota Wuhan, Povinsi Hubei, Cina pada 29 Desember 2019 hingga 4 Januari 2020.
Pada 10 Januari 2020, lima dari enam anggota keluarga tersebut teridentifikasi terinfeksi virus corona setelah 3-6 hari dari pajanan dengan kondisi demam, gejala saluran pernapasan atas bawah, diare atau kombinasi diantara semua gejala tersebut. Selanjutnya, satu anggota keluarga yang tidak ikut melakukan perjalanan ke Wuhan juga teridentifikasi terinfeksi virus yang sama setelah beberapa hari mengalami kontak dengan empat anggota keluarga lainnya yang melakukan perjalanan ke Wuhan.
Dilansir dari akun instagram @pandemictalks, sebuah survei yang dilakukan pada Mei 2020 menunjukkan bahwa 66% dari 1.200 masyarakat New York yang dirawat di rumah sakit tertular COVID-19 dari rumah tangganya sendiri. Pakar kesehatan masyarakat menyimpulkan bahwa hal ini terjadi karena sebagian besar penderita tinggal bersama keluarga atau rekan yang sering keluar rumah, atau juga tinggal di apartemen yang padat sehingga tingkat paparan virus meningkat.
Studi lain yang dilakukan pada Agustus - September 2020 di Bogor menunjukkan 37% kasus COVID-19 berasal dari kluster keluarga dan menjadi kluster kasus terbanyak di kota ini. Penyebaran virus pada kluster keluarga di Bogor terjadi karena imported case, yaitu adanya aktivitas masyarakat yang bepergian ke luar kota atau daerah lain yang kemudian tertular COVID-19. Sebanyak 189 orang dari 48 keluarga yang dinyatakan positif terinfeksi SARS-CoV-2 sebagian besar adalah lansia dan anak-anak.
Di samping itu, 24% masyarakat yang terpapar COVID-19 adalah kelompok orang tanpa gejala (OTG), hal ini sangat berbahaya karena penderita merasa sehat seperti biasa namun membawa virus ke keluarga dan lingkungan sosialnya di rumah. Meskipun demikian, survei yang dilakukan Dinkes Kota Bogor menyebutkan bahwa hanya 15% masyarakat Bogor yang mempercayai keberadaan COVID-19 dan selebihnya masih ragu-ragu dan tidak mempercayai keberadaan COVID-19.
Dari kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa mengalami kontak erat dengan penderita COVID-19 dapat berisiko terinfeksi virus corona, terlebih lagi tinggal satu rumah dengan anggota keluarga yang terinfeksi. Situasi seperti inilah yang disebut sebagai kluster keluarga (family cluster) COVID-19, dimana terjadi penyebaran virus corona dari anggota keluarga atau orang yang tinggal serumah dan biasanya penyebaran virus berawal dari anggota keluarga yang sudah lebih dulu tertular lalu menularkannya pada anggota keluarga lain.
Lalu, apa saja yang dapat mempercepat penularan COVID-19 pada kluster keluarga? Berikut adalah beberapa faktor risiko COVID-19 kluster keluarga yang perlu diketahui.
Usia Lanjut Dan Penderita Komorbid Lebih Rentan Terinfeksi COVID-19
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan orang yang berusia lanjut dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya (seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung dan paru-paru), lebih rentan untuk menjadi sakit parah setelah terinfeksi COVID-19.
Penelitian menunjukkan penyebab lansia rentan terserang berbagai penyakit termasuk COVID-19 adalah imunitas dan fungsi tubuh yang menurun akibat proses penuaan.
Sistem imun yang melemah ditambah adanya penyakit kronis dapat meningkatkan risiko COVID-19 pada lansia, baik risiko terjadinya infeksi virus corona maupun risiko gangguan yang parah hingga kematian.
Salah satu fungsi tubuh lansia yang mengalami penurunan adalah sistem pernapasan. Pada orang lanjut usia menunjukkan penurunan struktur dan fungsi sistem pernapasan, sehingga terjadi peningkatan kerja pernapasan dibandingkan usia muda lainnya, hal ini berhubungan dengan kemampuan yang menurun saat menderita penyakit-peyakit akut lainnya seperti kelainan jantung, infeksi bakteri atau virus, dan sumbatan pada jalan napas.
Laki-laki Lebih Berisiko Terinfeksi COVID-19 Daripada Perempuan
Peneliti asal Amerika, Cina dan WHO menilai laki-laki lebih berisiko terinfeksi virus corona dari pada perempuan. Data pasien yang dirawat di kota asal virus ini, Wuhan, juga menunjukkan lebih banyak pasien laki-laki yang terinfeksi COVID-19. Bahkan angka kematian akibat COVID-19 yang pertama kali dicatat menunjukkan 2,8% laki-laki meninggal, sedangkan angka kematian pada perempuan sebesar 1,6%.
Sebuah penelitian menyebutkan distribusi penderita COVID-19 yang lebih banyak terjadi pada laki-laki diduga berhubungan dengan prevalensi perokok aktif yang lebih tinggi.
Dokter spesialis Paru Indonesia, Feni Fitriani, juga menyatakan bahwa perokok dan penghisap vape sudah mengalami kerentanan pada saluran pernafasannya sehingga mudah terpapar COVID-19. Menurut Kepala Lembaga Biologi dan pendidikan Tinggi Eijkman, Amin Soebandrio, merokok dapat mengubah sel paru menjadi lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2 melalui peningkatan reseptornya yaitu molekul ACE-2.
Selain itu, dilansir dari situs CNN Indonesia, sebuah penelitian menyebutkan bahwa jumlah enzim reseptor ACE-2 pada paru-paru laki-laki lebih banyak daripada perempuan, akibatnya SARS-CoV-2 dapat bertahan lebih lama pada paru-paru laki-laki.
Tim dokter RS Jinyintan Wuhan, RS Ruijin Shanghai dan peneliti dari Universitas Jiao Tong Shanghai, juga menyatakan bahwa berkurangnya risiko infeksi COVID-19 pada perempuan berhubungan dengan adanya kromosom X (XX) dan hormon seks yang berperan dalam kekebalan bawaan dan adaptif.
Perokok 14 Kali Lebih Berisiko Terinfeksi COVID-19
The Union menyebutkan penelitian dari Cina menunjukkan bahwa perokok 14 kali lebih tinggi berisiko terinfeksi SARS-CoV-2 dan berdampak lebih buruk dibandingkan mereka yang bukan perokok. Di samping itu, Riskesdas tahun 2015-2018 juga menunjukkan jika tedapat anggota keluarga yang merokok didalam rumah maka anggota keluarga lainnya menjadi perokok pasif, dan hal ini akan mempermudah penularan COVID-19 pada lingkup keluarga.
Pakar Promosi Kesehatan UGM, Prof. Yayi Suryo Prabandari, menyebutkan bahwa paru-paru seorang perokok sudah bermasalah akibat zat kimia yang terisap ketika merokok. Aktivitas merokok dalam jangka waktu lama, mengakibatkan penurunan fungsi saluran napas perokok. Hal ini dapat memperburuk kondisi tubuh apabila perokok juga terinfeksi COVID-19.
Aktivitas merokok melibatkan terjadinya kontak jari tangan dan bibir, sehingga memudahkan virus untuk berpindah dari tangan ke mulut. Merokok juga menyebabkan produksi lendir berlebih dan menurunkan proses pembersihan lendir pada saluran napas. Kondisi ini dapat memicu timbulnya peradangan pada saluran napas sehingga perokok lebih rentan terhadap infeksi virus.
Studi literatur yang dilakukan oleh Kashyap dkk. menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE-2) yang digunakan oleh SARS-CoV-2 untuk memasuki sel inang dan mengaktifkan cytokine storm yang dapat memperparah kondisi penderita COVID-19.
Reseptor ACE-2 merupakan homolog dari Angiotensin Converting Enzyme (ACE) yang bekerja menyeimbangkan fungsi ACE. Perbandingan jumlah ACE dan ACE-2 dalam jaringan berperan untuk mengaktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosterone (RAAS) yang mengatur jalur keseimbangan antara pro-inflammatory dan pro-fibrotic, serta anti-inflammatory dan anti-fibrotic pada proses peradangan dan kerusakan jaringan. Penelitian yang dilakukan Bourgonje dkk. menunjukkan terjadi peningkatan ekspresi ACE-2 pada jaringan endotel kapiler interstisial dan glomerulus pada kerusakan ginjal, sehingga disimpulkan bahwa ACE-2 dianggap sebagai penanda kerusakan jaringan.
Tenaga Kesehatan Dan Pekerja Kantor Berisiko Tinggi Terpapar COVID-19
Petugas kesehatan yang merawat pasien positif COVID-19 berisiko lebih tinggi terinfeksi SARS-CoV-2. Hal ini dapat terjadi karena petugas kesehatan melakukan kontak langsung dengan penderita. Beberapa ahli juga menyebutkan penularan SARS-CoV-2 pada tenaga medis terjadi karena ketidakterbukaan pasien terhadap riwayat penyakitnya.
Dilansir dari situs VOI, Ketua IDI Kota Bekasi, Komaruddin Askar, mengatakan saat diperiksa pasien tidak mengatakan jika dirinya telah kontak langsung dengan penderita COVID-19, dan setelah digali informasi lebih dalam mereka baru mengakui, namun virus sudah terlanjur menginfeksi orang yang kontak langsung dengannya yaitu tenaga medis, keluarga dan kerabat dekat penderita.
Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Syahrizal Syarif, juga menyebut pola penularan SARS-CoV-2 pada tenaga medis dikarenakan kesalahan pasien yang tidak jujur mengenai riwayat penyakit dan kesehariannya, juga kesalahan tenaga medis yang tidak menggunakan APD lengkap saat memeriksa pasien di masa pandemi COVID-19 sekarang ini.
Tidak digunakannya APD lengkap dapat terjadi karena murni kelalaian tenaga medis maupun ketersediaan APD yang terbatas. Sebagai kelompok garda terdepan, petugas kesehatan selalu melakukan kontak dengan orang lain baik dengan ataupun tanpa APD, dan kondisi inilah yang dapat menyebabkan petugas kesehatan berisiko lebih tinggi terpapar COVID-19.
Kelompok pekerja selanjutnya yang berisiko terpapar COVID-19 adalah pekerja kantor yang berada di ruangan ber-AC. Praktisi kesehatan, Ari Fahrial Syam, menyebutkan virus dapat bertahan lebih lama di udara dingin. Dengan aliran angin dari AC yang kencang, droplet corona virus dapat berubah menjadi partikel-partikel kecil sehingga membuat virus beterbangan dan bertahan di udara. Selain itu, dr. Tirta Mandira Hudhi menyebut rutinitas pekerja kantor tidak banyak melakukan aktivitas fisik, hanya duduk dengan menghadap monitor dan berada di ruangan ber-AC. Jika dalam kantor itu terdapat seseorang yang tidak tahu dirinya terinfeksi COVID-19 dan berinteraksi dengan pekerja lain, maka dengan rutinitas kantor yang demikian akan menimbulkan risiko penularan COVID-19.
Kepadatan Hunian dan Kondisi Rumah
Kepadatan hunian yang tinggi dapat mempercepat penularan COVID-19. Kondisi rumah dengan pencahayaan, sirkulasi udara, lantai dan dinding yang tidak sesuai standar juga dapat mempercepat penularan virus ini. Keadaan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sumampouw, bahwa kepadatan hunian yang tidak didukung dengan rumah sehat yang memadai dapat menjadikan lingkungan tersebut sebagai reservoir penyakit, sehingga persebaran penyakit menular seperti COVID-19 menjadi lebih mudah. Kepadatan hunian yanng baik minimal memiliki rasio luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni adalah 10 m²/orang.
Seperti yang telah diketahui, SARS-CoV-2 sangat mudah menular dan menginfeksi dibandingkan jenis virus lain. Penelitian menunjukkan bahwa penderita COVID-19 dapat menularkan virus ke orang lain hanya melalui percikan droplet yang keluar saat batuk/bersin. SARS-CoV-2 yang terdapat dalam droplet akan terdorong dengan jarak kurang lebih 1,8 meter. Bahkan, studi terbaru yang dilakukan di bangsal rawat inap dan ICU RS di kota Wuhan melaporkan bahwa virus mampu ditransmisikan dalam jarak 4 meter.
SARS-CoV-2 dapat menular melalui jabat tangan dengan orang yang terinfeksi, menyentuh benda/permukaan yang terinfeksi, sering menyentuh hidung atau mulut maupun bersentuhan dengan kotoran penderitta COVID-19. Kemudian virus berpindah dari penderita melalui droplet dan bertahan di udara, selanjutnya menempel pada selaput lendir mulut, hidung atau mata orang yang berada di dekat penderita.
Status Ekonnomi Masyarakat
Pada April 2020, data World Food Programe (WFP) menyebutkan bahwa COVID-19 lebih banyak menginfeksi masyarakat dengan status ekonomi menegah keatas. Hal ini sesuai dengan analisis yang dilakukan Dewi et dkk. (2020), bahwa berdasarkan kelompok pendapatannya, semakin tinggi pendapatan negara-negara di Asia maka jumlah kasus positif COVID-19 diperkirakan cenderung meningkat.
Salah satu pertimbangan dalam menerapkan gaya hidup adalah pendapatan, semakin tinggi pendapatan seseorang semakin tinggi juga pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi gaya hidup (Fadila, 2017). Beberapa kelompok masyarakat dengan pendapatan menengah keatas memiliki gaya hidup yang tidak sehat, seperti sering mengkonsumsi makanan cepat saji, makanan tinggi lemak, merokok, juga kebiasaan bergantung pada teknologi yang menimbulkan rasa mager (malas gerak). Makanan cepat saji dapat meningkatkan risiko beberapa penyakit tidak menular seperti obesitas, diabetes, hipertensi dan dislipidemia (Pamelia, 2018).
Mengingat banyak penelitian juga menyebutkan bahwa orang dengan kondisi medis seperti diabetes, hipertensi dan penyakit jantung lebih berisiko terinfeksi COVID-19 (WHO, 2020), maka faktor pendapatan atau status ekonomi masyarakat dengan gaya hidup ini dapat berpengaruh pada kejadian kasus COVID-19. Kondisi ini juga behubungan dengan peningkatan prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas akibat terbatasnya aktifitas fisik dan meningkatnya konsumsi makanan olahan secara terus-menerus yang mengandung kadar gula, garam, dan lemak yang tinggi.
Aktivitas Sosial dan Budaya Masyarakat
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari interaksi sosial yang melibatkan manusia lain. Namun, dengan adanya pandemi COVID-19 ini menyebabkan interaksi sosial di masyarakat seolah-olah “dibatasi” dengan kebijakan physial distancing untuk memutus rantai penyebaran infeksi COVID-19. Kebijakan physial distancing yang dimaksud adalah dengan menjaga jarak minimal 2 meter, tidak melakukan kontak fisik langsung dan menghindari kerumunan, terutama dengan orang yang berasal dari wilayah zona merah COVD-19.
Meskipun demikian, masih banyak masyarakat yang tidak menghiraukan hal ini dengan baik. Seperti ditetapkannya kebijakan sekolah dan bekerja dari rumah (Work From Home/WFH) untuk menghindari kerumunan dan kontak langsung, namun sebagian masyarakat malah memanfaatkannya untuk pergi berlibur, piknik atau sekedar jalan-jalan ke tempat publik (kafe, bioskop atau mall) yang memungkinkan bertemu dan berkerumun dengan orang lain. Apabila aktivitas ini terus berlangsung, tidak menutup kemungkinan penyebaran virus corona semakin masif, terutama di kluster keluarga.
Aktivitas lain yang menyebabkan penyebaran COVID-19 di lingkungan keluarga semakin masif adalah membiarkan anak-anak bermain bersama di lingkungan rumah tanpa protokol kesehatan dan protokol VDJ (Ventilasi, Durasi, Jarak) yang kuat. Anak-anak dapat berperan sebagai carrier (pembawa) virus karena kurangnya pemahaman tentang protokol kesehatan, anak-anak juga 3 kali lebih rentan menyentuh barang-barang yang mungkin terdapat virus corona daripada orang dewasa. Selain itu, budaya masyarakat Indonesia yang terkenal ramah seperti berjabat tangan saat bertemu teman atau kolega dan suka berkumpul seperti saling mengunjungi rumah sesama warga, arisan, perayaan hari besar agama maupun negara, sedekah bumi serta hajatan juga memperbesar risiko penularan COVID-19.
Mengingat morbiditas dan mortalitas COVID-19 di ranah keluarga terus meningkat, persebarannya juga semakin luas serta faktor yang mempengaruhi begitu dekat dengan masyarakat, maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan COVID-19 dengan tepat. Berdasarkan analisis epidemiologi kejadian COVID-19 kluster keluarga diatas, pencegahan dan penanggulangan ini dapat dilakukan dengan cara berikut.
Meningkatkan Derajat Kesehatan Lansia
Sistem imun yang melemah ditambah adanya penyakit kronis dapat meningkatkan risiko COVID-19 pada lansia, baik risiko terjadinya infeksi virus corona maupun risiko gangguan yang parah hingga kematian. Oleh karena itu, derajat kesehatan orang lanjut usia perlu diperhatikan.
Dalam Permenkes RI Nomor 25 Tahun 2016 Tentang Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut Usia Tahun 2016-2019, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan lansia adalah dengan memberdayakan lansia melalui pembentukan dan pembinaan kelompok lanjut usia, seperti Kelompok Usia Lanjut (Poksila), Pos Pelayanan Terpadu Lanjut Usia (Posyandu Lansia) atau Pos Pembinaan Terpadu Lanjut Usia (Posbindu Lansia). Pelaksanaan Kelompok Lanjut Usia ini, selain mendorong peran aktif masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat, juga harus melibatkan lintas sektor terkait.
Karena kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk tatap muka langsung dalam kegiatan Poksila, maka pelaksanaan kegiatan ini dapat dilakukan secara daring sesuai anjuran pemerintah. Dengan memanfaatkan teknologi yang ada, kegiatan Poksila dapat dilakukan dari rumah masing-masing lansia dengan pendampingan dari anggota keluarga lainnya.
Mencegah Kejadian Penyakit Tidak Menular (PTM)
Penyakit penyerta COVID-19 yang paling sering adalah kelompok penyakit tidak menular, seperti diabetes, hipertensi dan jantung. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Kemenkes RI, bahwa orang yang berusia lanjut dan orang dengan penyakit komorbid lebih rentan untuk menjadi sakit parah setelah terinfeksi COVID-19. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang hanya terinfeksi COVID-19 tanpa penyakit penyerta tidak mengalami kesakitan yang lebih parah, dan tingkat kesembuhannya pun lebih tinggi dari penderita dengan penyakit komorbid. Oleh karena itu, keberadaan penyakit komorbid juga perlu diperhatikan dengan cara mencegah kejadiannya.
Salah satu upaya mencegah munculnya penyakit penyerta COVID-19 adalah dengan melakukan pencegahan dan pengendalian faktor risiko PTM yang meliputi 4 cara, yaitu :
- Advokasi, kerjasama, bimbingan dan manajemen PTM
- Promosi, pencegahan dan pengurangan faktor risiko PTM melalui pemberdayaan masyarakat
- Penguatan kapasitas dan kompetensi layanan kesehatan, serta kolaborasi sektor swasta dan profesional
- Penguatan surveilans, pengawasan dan riset PTM
Berhenti Merokok
Penelitian menyebutkan bahwa aktivitas merokok dapat meningkatkan jumlah reseptor ACE-2 terutama yang ada di paru-paru, akibatnya struktur sel paru mengalami perubahan dan perokok menjadi lebih rentan terinfeksi COVID-19 Oleh karena itu, berhenti merokok menjadi salah satu upaya yang tepat untuk mencegah risiko lebih parah akibat COVID-19.
Berhenti merokok memang tidak dapat dilakukan dengan seketika, terlebih lagi bagi perokok akut. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk berhenti merokok adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2017) :
- Berhenti Seketika, yaitu dengan cara tetap merokok pada hari ini dan berhenti merokok sama sekali pada hari esoknya.
- Penundaan, yaitu dengan menunda waktu kebiasaan merokok pertama selama 2 jam setiap hari dari hari sebelumnya.
- Pengurangan, yaitu dengan mengurangi jumlah rokok yang dihisap setiap hari dengan jumlah yang sama sampai 0 batang pada hari yang ditetapkan.
Upaya berhenti merokok juga perlu diperkuat dengan keberadaan kawasan tanpa rokok (KTR) yang benar-benar diterapkan, bahkan perlu diberi sanksi tegas bagi yang melanggarnya. Perokok dapat mengunjungi layanan konseling berhenti merokok di fasilitas layanan kesehatan atau mengakses layanan Quit Line Berhenti Merokok melalui nomor telepon 0-800-177-6565 yang disediakan oleh Kemenkes RI secara gratis.
Menunda Pergi Berlibur, Nongkrong, Arisan, Reuni dan Aktivitas Lain yang Berpotensi Menimbulkan Kerumunan
Kita tidak tau akan berinteraksi dengan orang yang telah terpapar COVID-19 atau tidak. Jika telah terpapar virus dari orang yang tidak tahu bahwa dirinya positif COVID-19 saat kegiatan tersebut, maka orang itu berpotensi besar menularkan “oleh-oleh” corona virus pada keluarganya dirumah, akibatnya terjadi kasus penularan COVID-19 kluster keluarga.
Kegiatan berlibur, pinknik, nongkrong, arisan maupun reuni saat ini dapat dilakukan secara virtual. Sudah ada website yang menampilkan virtual tour baik dalam maupun luar negeri yang dapat diakses masyarakat secara gratis, bahkan dilengkapi dengan audio, teks hingga jagawana untuk memandu perjalanan virtual tour. Berikut adalah beberapa rekomendasi virtual tour yang dapat dinikmati :
- Museum Nasional, Indonesia
- Museum Sangiran, Indonesia
- Royal Academy of Arts, Inggris
- Museum Louvre, Prancis
- Machu Picchu, Peru
- Tembok Besar Cina
Sedangkan, untuk kegiatan arisan maupun reuni saat ini cukup dilakukan dengan secara online, dengan memanfaatkan teknologi yang ada masyarakat tetap dapat bersilaturahim dengan saudara maupun sahabat yang terhalang jarak.
Menegaskan Penerapan Physical Distance dan Mematuhi Protokol Kesehatan
Penerapan physical distance dan protokol kesehatan merupakan kunci utama pencegahan COVID-19. Kesadaran masyarakat untuk menjaga jarak, tidak berkerumun, memakai masker, mencuci tangan serta himbauan lainnya perlu ditegaskan penerapannya mulai dari tingkat keluarga. Setiap anggota keluarga harus memiliki pemahaman yang sama mengenai upaya pencegahan COVID-19 ini, sehingga mereka dapat melindungi keluarga dan dirinya sendiri dari paparan virus corona.
Dalam upaya ini, lembaga kesehatan (dinas kesehatan, puskesmas, rumah sakit, NGO, LSM) berperan penting dalam mengedukasi dan memberdayakan masyarakat. Promotor kesehatan harus mampu dan konsisten menyampaikan informasi bahaya COVID-19 beserta kiat-kiat pencegahannya dengan bahasa yang mudah diterima masyarakat.
Upaya edukasi dapat dilakukan dengan memasang spanduk yang berkaitan dengan COVID-19 di lokasi yang sering menjadi tempat berkumpulnya masyarakat, seperti tempat ibadah, tempat wisata, restoran dan pasar. Edukasi juga dapat dilakukan melalui media sosial, misalnya dengan membagikan infografis, video edukasi maupun iklan layanan masyarakat terkait COVID-19.
Disamping itu, implementasi physical distance dan protokol kesehatan COVID-19 juga perlu dukungan dari pemerintah. Pemerintah perlu menegaskan kebijakan yang mengarah pada upaya ini agar dipatuhi masyarakat, seperti adanya kebijakan WFH (Work From Home), PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan pemberian sanksi tegas bagi yang melanggar.
Memperhatikan Protokol VDJ (Ventilasi – Durasi – Jarak)
Setiap rumah tangga memiliki faktor risiko penularan COVID-19 yang berbeda, kondisi kesehatan yang bebeda, jumlah orang yang keluar rumah, jumlah keluarga yang tinggal satu atap, juga luas dan struktur bangunan rumah yang berbeda. Kondisi ini yang menjadikan sulit untuk benar-benar menghilangkan risiko paparan COVID-19 pada setiap anggota keluarga. Salah satu upaya meminimalisir paparan COVID-19 adalah dengan memperhatikan faktor VDJ (Ventilasi – Durasi – Jarak) di lingkungan rumah dan keluarga seperti yang disebutkan dalam @pandemictalks sebagai berikut :
- Ventilasi : Buka jendela dan pintu agar udara segar dapat mengalir; Hindari berada di ruangan tertutup, terutama bersama anggota keluarga yang rentan dan sering keluar rumah.; Untuk saat ini usahakan hindari pemakaian AC, biarkan sirkulasi udara melalui pintu dan jendela terbuka. Jika tidak memungkinkan, optimalkan sirkulasi udara dan pencahayaan sinar matahari serta rutin membersihkan filter AC agar kualitas udara tetap terjaga.
- Durasi : Sediakan kamar terpisah jika ada anggota keluarga yang harus bekerja di luar rumah, serta kurangi interaksi anggota keluarga tersebut dengan anggota yang rentan.
- Jarak : Jika memungkinkan, anggota keluarga yang bekerja di luar menjaga jarak fisik dan menggunakan masker disekitar anggota keluarga lainnya, khususnya lansia dan balita.
Penyediaan Stok APD Lengkap
Alat pelindung diri (APD) sangat diperlukan keberadaanya, terutama bagi tenaga kesehatan yang berada di garda depan dalam menangani pandemi COVID-19 ini. Keterbatasan APD menjadi salah satu penyebab kasus COVID-19 pada tenaga kesehatan. Karena ketersediaannya yang terbatas, tenaga kesehatan menggunakan APD seadanya saat menangani pasien, akibatnya mereka menjadi berisiko lebih tinggi terpapar COVID-19, hal ini akan semakin parah jika pasien yang ditangani tidak jujur mengenai riwayat kontak dan penyakitnya. Oleh karena itu, keberadaan APD harus disediakan dalam jumlah banyak untuk melindungi kesehatan dan keselamatan tenaga kesehatan.
Penguatan Surveilans COVID-19
Penguatan surveilans COVID-19 perlu dilakukan untuk menemukan penderita kasus baru, suspek maupun kontak erat sedini mungkin. Dengan demikian, upaya pencegahan dan pengobatan akibat COVID-19 juga dapat dilaksanakan lebih awal. Pemerintah dan petugas kesehatan harus aktif dalam mencari penderita COVID-19.
Kedua sektor ini perlu berkoordinasi, seperti dengan memperbanyak tes swab masal hingga lingkup RT dan memperkuat sistem contact tracing (Radiany, Anissa & Kamil, 2020). Dalam upaya ini, masyarakat juga dapat berinisiatif melakukan tes swab mandiri setelah berpergian dari wilayah transmisi COVID-19, atau segera memeriksakan kessehatanya jika mengalami gejala umum COVID-19, sehingga keberadaan kasus positif, suspek maupun kontak erat dapat diketahui lebih awal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H