Mohon tunggu...
Havisa Putri
Havisa Putri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Alih Fungsi Lahan di Perkotaan

28 Maret 2018   04:55 Diperbarui: 28 Maret 2018   05:02 4068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bapak Ridwan Sutriadi, ST. MT. PhD, Kaprodi S1 PWK ITB. Beliau mengatakan bahwa terdapat 6 komponen dalam tata kelola perkotaan yang diturunkan oleh Pras Kusbiantor antara lain komponen pertama adalah

  • Planning Procces atau proses perencanaan
  • Competitives atau daya saing
  • Land and Urban Form Management atau pegelolaan lahan perkotaan
  • Infrastructure and Service Management atau pengelolaan prasarana dan sarana di perkotaan
  • Urban Institutional Management
  • Urban Space and Hinterland Management, pembangunan ruang perkotaan harus berorientasi pada pembangunan jangka panjang.

Di indonesia sendiri banyak sekali pengelolaan lahan yang tidak jelas dan tidak teratur. Alih fungsi lahan di perkotaan pun sedang marak di Indonesia.

Meningkatnya kebutuhan ruang di perkotaan adalah tingginya permintaan lahan. Penyediaan lahan di pusat kota semakin terbatas dan tentu sangat mahal sehingga perkembangan perkotaan cenderung "mengambili" wilayah di pinggiran perkotaan.

Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan dalam berbagai bidang akan menyebabkan meningkatnya permintaan lahan. Hal inilah yang akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

Secara umum, setiap pertambahan jumlah penduduk akan disertai dengan tuntutan pertambahan kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan papan). Kebutuhan akan pangan dan sandang biasanya berasal dari produksi pertanian, sedangkan kebutuhan bahan perumahan umumnya berasal dari sumberdaya alam.

Menurut Arsyad dan Rustiadi (2008:78) konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Konversi lahan pada tahap tertentu wajar terjadi, namun pada sisi lain jika tidak dikendalikan maka akan semakin bermasalah karena umumnya alih fungsi terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif.

Perkembangan wilayah yang tidak terkendali akan memacu terjadinya alih fungsi lahan dari pertanian ke nonpertanian yang konsekuensinya bertolak belakang dengan upaya mempertahankan swasembada pangan dan sustainable development. Jika tidak hati-hati, alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali akan menjadi ancaman bagi ketahanan pangan pada level daerah, provinsi, atau bahkan nasional.

Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2007, luas sawah di Jawa adalah 4,1 juta hektar. Namun berdasarkan audit Kementerian Pertanian melalui citra Landsat pada 2010, hanya tersisa 3,5 juta hektar. UU tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dianggap mandul karena belum ada penetapan oleh pemerintah daerah, tentang mana wilayah pertanian yang boleh dikonversi dan mana yang tidak boleh.

Praktek di lapangan menunjukkan bahwa alih fungsi lahan akan terus terjadi meski UU tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sudah lama ditetapkan. Implementasi UU itu sangat tergantung pada komitmen kepala daerah. Kecenderungan memperlihatkan setelah ditetapkan rencana tata ruang, luas lahan tanaman pangan di sejumlah kabupaten justru menurun. Hal ini karena Kepala Daerah lebih tertarik investasi jangka pendek nonpertanian. Pemerintah Pusat juga ikut menyusutkan lahan subur dengan membangun infrastruktur seperti jalan tol di Jawa yang melewati wilayah sawah beririgasi.

Alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman terhadap pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan. Implikasinya sangat serius terutama terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, serta tingkat kesejahteraan petani perdesaan yang kehidupannya bergantung pada lahannya. Fenomena ini kurang diimbangi oleh upaya-upaya terpadu untuk mengembangkan lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian baru yang potensial.

Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian pangan juga menyebabkan semakin sempitnya luas lahan yang diusahakan dan sering berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan melalui perlindungan lahan pertanian pangan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.

Di sisi lain, proses urbanisasi yang tidak terkendali juga berdampak pada meluasnya aktivitas-aktivitas perkotaan yang makin mendesak aktivitas-aktivitas pertanian di kawasan perdesaan yang berbatasan langsung dengan perkotaan. Fenomena ini juga berkaitan dengan hilangnya akses penduduk perdesaan pada sumber daya utama yang dapat menjamin kesejahteraannya dan hilangnya mata pencarian penduduk agraris. Konsekuensi logisnya adalah terjadinya migrasi penduduk perdesaan ke perkotaan dalam jumlah yang besar tanpa diimbangi ketersediaan lapangan kerja di perkotaan.

Proses semacam ini hampir melanda semua kota di dunia dimana kenaikan jumlah penduduk kota tidak terkendali, dan tidak diikuti kebijakan untuk membagi ruang kota secara adil dan legal. Pembagian ruang kota secara adil mustahil dilakukan manakala kota hanya memiliki ruang yang amat terbatas sementara ruang tersebut tidak ubahnya sebagai sebuah komoditi. Dalam hukum komoditi maka siapa yang memiliki modal yang lebih besar dan lebih baik, apapun bentuknya, maka dialah yang akan berhasil menguasai ruang tersebut.

Secara umum, kota-kota di Indonesia tidak dirancang untuk menerima para pendatang dalam skala besar karena ruang kota memang serba terbatas. Terbatasnya ruang kota membawa konsekuensi bahwa penggunaan ruang yang berlangsung secara terus-menerus akan melibatkan ketegangan di antara sejumlah kelompok kepentingan karena tingginya permintaan akan ruang baik oleh perorangan maupun oleh kelompok tertentu. Oleh karena itu konflik yang menyangkut penggunaan lahan di perkotaan dapat timbul dengan mudah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Rohani Budi Prihatin. 2015. Alih Fungsi Lahan di Perkotaan (Studi Kasus di Kota Bandung dan Yogyakarta). Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun