Sebagai pria maskulin, sungguh memalukan bila aku menangis. Bodohnya, aku melakukannya diwaktu itu. Tak peduli seberapa angin dan rinai hujan mendera menyumbat telinga, aku melolong dengan isakan tangis yang memecah udara. Semua orang menatapku dengan ekspresi tak biasa, membuatku menyesal dan terpuruk.
Kemudian, aku membenci hujan. Rinai tak lagi harmonis nan indah, melainkan berfungsi sebagai "Alarm" masa lalu yang kelam. Ia membuatku mengingat seluruh kejadian di hari itu. Pusaran air yang perlahan berubah warna, serta nyanyiannya yang menakutkan, menggelegar membelah angkasa dan membuat langit menjadi murka. Aku takut, serta benci.
Telingaku semakin muak mendengar tetesan hujan, aku memanggil gadis surai merah jambu itu. Aku menggaet tangannya, menariknya menjauh dari halte bus yang perlahan beraroma hujan,
"Ayo pergi. Aku benci ini"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H