Mohon tunggu...
Haura Muafa
Haura Muafa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Amateur Writer

Rule number #1, Never be number #2.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki dan Hujan

20 November 2023   04:28 Diperbarui: 20 November 2023   06:29 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kau benci hujan?" tanyanya,

"Ya"

"Kenapa? Bagaimana bisa seseorang tidak menyukai hujan?" jawabnya terkikik lepas, sembari menari di bawah rintik hujan yang perlahan membasahi.

Aku termenung, di pojok halte berpegangkan gagang payung kucing miliknya. Netra cokelatku menerawang, berusaha menangkap sosok malaikat kecil manis bersurai merah jambu bertelanjang kaki yang riuh bermain di bawah dekapan sang hujan.

"Kenapa tidak suka?" tanyanya kembali,

"Tidakkah kau dapat menikmati simponi rintik hujan yang melodis ketika mereka menyambut tanah?" sambungnya, entah dari mana gadis sekecil itu dapat membuat kalimat sastra semacam itu.

"Diamlah, bocah. Simponi ini telah menjadi keramat" jawabku, blak-blakan. Gadis kecil itu terdiam, terpaku diatas tanah yang perlahan berubah menjadi lumpur,

"Ya, simponi ini tak lagi melodis. Rinai hujan yang perlahan jatuh membasahi perkarangan, nyanyiannya dalam deruan angin sejuk yang mencekam tulang, serta aroma kaki-kaki hujan yang disambut oleh tanah..."

Tangan kananku menegadah, menangkap buliran hujan yang perlahan jatuh dari kawat payung. Kupejamkan mataku, membiarkan gadis itu terperangkap dalam kebingungan atas kalimatku yang menggantung.

Pikiranku sibuk mengulas kembali memori masa lalu, mencoba mencocokkan melodi rinai hujan yang sama persis seperti hari itu. Sebuah hari, ketika aku mulai membenci musim penyambut kemarau.

Di hari itu, dimana amarah sang hujan menghantamku. Pekiknya yang membelah awan menewaskan adikku dengan sambaran petirnya, membiarkanku bergetar dalam ketakutan. Air hujan jernih yang menggenang tercampur dengan tetesan darah segar, dengan refleksi wajah adik manisku yang tersenyum disaat cairan merah gelap membasahi wajah dan jiwanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun