Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sopia, Teluk dan Cemara

12 November 2020   19:46 Diperbarui: 12 November 2020   19:49 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah Bapaknya, pelaut dalam foto itu. Baju yang ia kenakan masih sama dengan ketika ia pamit, pada Sopia, menuju perahu dan pergi mencari hidup ke samudra seperti biasanya.

Sopia masih ingat, itu baju terakhir yang ia lihat pagi itu. Ketika bapaknya membangunkannya, membantunya berwudhu lalu mengimami sembahyang subuhnya. Lalu menyuapinya, menemaninya bermain-main di antara jejeran cemara, dan bergegas menyiapkan segala kebutuhannya lalu pergi melaut.

Itu terjadi puluhan tahun silam, ketika Sopia belum dewasa, ketika Sopia belum mengerti bagaimana ia harus hidup, sebab baginya, kehidupan itu adalah Bapaknya.

Setiap hendak pergi, Bapaknya selalu menitip janji, bahwa kepulangan adalah sebuah kepastian, disertai kecup penuh kasih di kening Sopia yang mungil, dan seperti biasa, Sopia menyimpan janji itu di ruang bawah sadarnya, mengendap rapi dan sempurna. Sebab, ia kerap menemui kepastian, bahwa Bapaknya pasti pulang, selaus apapun samudra yang dilaluinya.

Hingga pagi ini, detik terakhir ia menanti kepulangan Bapaknya, ia hanya menerima selembar foto, entah karya siapa, tapi di foto itu ia seolah berhasil menemui Bapaknya, tersenyum, sebagaimana ia memberi senyum itu pada tidur paling lelap yang pernah dimiliki Sopia.

Ia begitu hidup, Sopia tak sanggup lagi membedakan, apakah yang ditatapnya hanya sebuah gambar tak bernyawa, ataukah selembar bayang yang datang tiba-tiba sebagai pertanda bahwa penantiannya tidak sia-sia.

Matanya tajam menatap lurus ke arah Sopia. Mata itulah yang dirindukan Sopia dalam hidupnya, pancaran itulah yang ditatapnya hingga ia mulai mengenali diri dan tumbuh sebagai perempuan dewasa yang hidup dalam penantian.

Kini, perasaannya berbaur tak tentu arah. Ia tak menemui tubuh untuk dipeluk dan diajaknya berbicara, ia tak mendapati lengan yang kerap menggenggam jemarinya di kala senja.

Tapi, ia hanya mendapati seluruh kerinduan dan penantiannya terobati perlahan. Meski pipinya mulai basah oleh air mata yang menggenang tak tertanggungkan.

Ia mulai menyadari, kepulangan tidak harus selalu tentang raga, tentang suara, tidak juga tentang penolakan-penolakan pada kejadian yang menyakitkan. Tapi kepulangan juga tentang kenangan yang masih sanggup kita hidupi bersama doa dan segenap ketabahan yang masih tersisa.

Sopia bersimpuh, ia menjatuhkan diri di atas pasir, berlutut, dan mendekap foto itu penuh kerinduan. Berdoa sepenuh keikhlasan, semoga Tuhan berkenan mengantarkan Bapak menemuinya di alam mimpi, bersenda gurau, bermain di bibir pantai, berlarian di bawah rindangnya cemara, berenang di laut lepas, melindunginya dari angin malam, mengimaminya, mengajarinya huruf-huruf, dan segalanya, segalanya. Di kesadaran terdalamnya, dunia ini adalah Bapaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun