Tiga bulan berlalu dan sakitnya Pak Dinar belum berkurang sedikitpun, selang-selang plastik memasuki hampir seluruh lubang di tubuhnya, nafasnya dibantu tabung raksasa yang telah berada disamping tempat tidurnya sejak hari pertama ia terbaring di rumah sakit. Matanya terus terpejam, seolah enggan menatap dunia.Â
Segala upaya ditempuh para dokter demi kesembuhannya, di minggu pertama satu penyakit terdeteksi dan sudah diobati, tetapi pada minggu selanjutnya menyusul penyakit-penyakit lain. Usaha maksimal tetap ditempuh, perawatan dan pengobatan termahal sekalipun tak menjadi penghalang, istri Pak Dinar terus memohon, mendatangi setiap dokter di rumah sakit agar dapat menyembuhkan suaminya.Â
Sementara para dokter meminta Ibu Dinar berdoa, kondisi Pak Dinar justru terus memburuk setiap hari, doa-doa itu seperti dibuang ke tempat sampah, segala upaya pengobatan hanya mengundang putus asa. Ketika Ibu Dinar hampir menyerah, pembantunya menyarankan agar Pak Dinar dibawa ke dukun.Â
Ibu Dinar sempat bergidik nyeri, ia tak pernah membayangkan dukun macam apa yang mampu mengobat penyakit suaminya. Awalnya Ibu Dinar enggan, tetapi pikiran kalut dan cerita-cerita tentang keberhasilan sang dukun membuat Ibu Dinar akhirnya setuju dan membawa suaminya menemui sang dukun.Â
Pak Dinar tetap tak sadarkan diri, ketika tubuhnya dibaringkan di lantai papan berasal tikar plastik di rumah sang dukun. Sementara Ibu Dinar dan pembantunya duduk disamping tubuhnya. Sang dukun memandang tubuh itu tak berkedip, ia meneliti tiap urat-urat yang menjalari tubuh Pak Dinar dari ujung kaki hingga kepala.Â
Setipis senyum tersungging di bibirnya, ia lalu memandang Ibu Dinar. Setengah gugup Ibu Dinar memandang Sang Dukun, matanya memancarkan harapan besar, kelak suaminya akan sembuh seperti sediakala. Sang Dukun memahami apa yang dirasakan Ibu Dinar, ia menangkap rona ketakutan di lengan perempuan itu, nadinya bergerak cepat, nafasnya memburu, ia takut kehilangan suaminya. Sang Dukun beranjak masuk ke dapur, meninggalkan Ibu Dinar dan pembantunya dalam kebingungan.Â
Asap tipis dari dupa-dupa yang terbakar di sudut ruangan menusuk penciumanau. Tak lama, Sang Dukun muncul kembali, ditangannya nampan berisi dua gelas air putih, dan semangkuk dedaunan yang direndam dalam air, ia menghidangkan dua gelas air putih itu untuk Ibu Dinar dan pembantunya, sementara Sang Dukun mengompres kepala Pak Dinar dengan dedaunan itu.Â
"Suamimu harus diobati lewat sebuah upacara adat, penyakitnya amat berat" Sang Dukun berkata seraya menempelkan salah satu daun ke leher Pak Dinar.Â
"Apakah dengan begitu suamiku bisa sembuh?" Tanya Ibu Dinar.Â
Sang Dukun menatap perempuan itu, harapan terakhir di kehidupan Ibu Dinar saat ini, adalah kesehatan suaminya. Tapi, anehnya Sang Dukun tak menemukan rona ikhlas di kedua matanya, harapannya adalah ketakutan, ketakutan akan kehilangan sesuatu yang selama ini telah ia nikmati tanpa memahami kondisi suaminya.Â
"Kesembuhan tergantung pada Sang Pemilik Kehidupan, kita usahakan dulu. Saat ini aku tak bisa membuat ramuan apapun, karena penyakitnya meliputi seluruh tubuh dan perilaku kehidupannya, daun-daun ini hanya bisa menjaga agar tubuhnya tetap hangat"Â
"Lalu kapan upacara adat itu bisa dilaksanakan?" Ibu Dinar bertanya tidak sabar.Â
"Jika kita bisa segera menyiapkan perlengkapannya saat ini, nanti malam upacara itu bisa dilaksanakan"Â
"Baiklah, katakan, aku harus menyiapkan apa?"
Tepat pukul delapan malam seluruh perlengkapan upacara telah tersaji rapi di sekeliling tubuh Pak Dinar, anyaman pucuk daun kelapa, sajen berupa empat ekor ayam, nasi yang diberi pewarna, kue-kue beraneka warna, empat ruas bambu berisi tuak, sekeranjang kembang warna warni, masing-masing di tata sedemikian rapi di wadah yang terbuat dari anyaman bambu.Â
Beberapa rekan Sang Dukun juga berada disana,berpakaian adat lengkap warna putih, salah seorang diantaranya siap menabung gendang. Ibu Dinar dan pembantunya resah menunggu dimulainya upacara, udara dingin mulai merayapi tubuh mereka yang menggigil perlahan.Â
Diluar langit berhias purnama, ini malam ketiga belas dalam hitungan qomariyah, menurut Sang Dukun hari ini disebut hari putih, hari dimana bulan berada tepat di atas kepala dan bersinar putih terang, saat itu manusia kadang menunjukan watak terbaik dan terburuknya, artinya mereka yang selama ini dikenal baik bisa berbuat amat buruk demikian sebaliknya.Â
Tetapi istimewanya, menurut Sang Dukun hari putih bisa menjadi penyembuh bagi mereka yang sakit, jika proses penyembuhan itu dilakukan tepat di hari putih. Itulah yang diharapkan Ibu Dinar, ia tak begitu tertarik pada penjelasan Sang Dukun, baginya yang terpenting adalah kesembuhan suaminya, apapun yang diminta Sang Dukun ia akan menyanggupinya, bagaimanapun caranya.Â
Sang Dukun duduk tepat di bagian kepala Pak Dinar dan bersiap memulai upacara, ia mengenakan pakaian berwarna putih, sehelai selendang hitam terkait dilehernya, rambut dikonde rapi, wajahnya tenang, tangan kanannya mengenggam setangkai melati segar, meski telah berusia senja ia tetap terlihat tangguh menyelenggarakan upacara.Â
Gendang perlahan ditabuh, mantra-mantra didengungkan, Sang Dukun menutup mata dan ikut membaca mantra. Suasana riuh, irama gendang bertalu mengiring tembang yang dilantunkan Sang Dukun, makin cepat tembang itu dilagukan Sang Dukun terlihat makin rapat mengatup matanya. Ibu Dinar dan pembantunya menyaksikan ritual dengan perasaan tak menentu.Â
Tiba-tiba sang dukun berdiri dan menari seperti kesurupan, melati di genggamanya berguguran ke lantai, matanya terbelalak menatap tubuh Pak Dinar, ia lalu menggumamkan banyak kata sambil menunjuk tubuh itu. Sementara Ibu Dinar dan pembantunya tak mengerti apa yang diucapkannya. Seorang yang menabuh gendang mengangguk memahami apa yang dikatakan Sang Dukun.Â
Perlahan Sang Dukun kembali duduk ditempatnya semula dan mengakhiri upacara. Tabuhan gendang terhenti, Sang Dukun dan empat orang rekannya menyeka keringat. Tak sabar Ibu Dinar bertanya,Â
"Bagaimana?"Â
Sang Dukun menatap mata Ibu Dinar, ia hampir tak percaya mendapati apa yang dilihatnya. Belum pernah ia mengobati orang dengan sakit separah ini, Sang Dukun sempat kebingungan ketika dalam kondisi seperti kesurupan tadi, ia melihat Pak Dinar memiliki segala apa yang tidak mungkin dimiliki seorang manusia di dunia, penyakit itu melekat erat di tubuh dan jiwanya.
Roh-roh yang merasuki Sang Dukun menginginkan sesajen ditambah lagi. Sang Dukun menyampaikan itu ke Ibu Dinar yang langsung menyetujuinya. Tubuh Pak Dinar tertindih beban segala sesuatu yang pernah diperolehnya semasa sehat, ia tak sanggup bergerak, jika beban itu tak dikurangi maka tubuh dan jiwanya akan lelah dan tak sanggup lagi kembali ke kehidupan ini, Sang Dukun menjelaskan.Â
Penambahan sesajen adalah salah satu cara agar beban itu berkurang, berikan beban itu ke roh-roh yang membutuhkan. Di malam kedua sesajen di tambah, dalam sekejap rumah Sang Dukun telah dipenuhi ratusan ekor ayam, puluhan ekor kambing dan sapi yang disembelih dan darahnya dibiarkan tetap menetes, ratusan baskom nasi dan kue dihidangkan, upacara kembali dilangsungkan.Â
Di tengah dengungan mantra, Pak Dinar perlahan membuka mata, ia menatap kosong ke arah loteng rumah Sang Dukun, tubuhnya bisa bergerak. Ibu Dinar hampir terlonjak bahagia melihat kondisi suaminya, ia hendak memeluk tapi Sang Dukun menahannya. Kesadaran Pak Dinar masih terganggu, ia belum mengenali siapapun.Â
Upacara tetap berlangsung, kali ini tabuhan gendang ditiadakan, Sang Dukun membacakan mantra-mantra kesembuhan didepan Pak Dinar. Tiba-tiba Pak Dinar menarik lengan Sang Dukun dan membisikan sesuatu. Sang Dukun terkejut, ia tak berani menatap Pak Dinar. Sang Dukun menggeser duduknya ke belakang dan dengan wajah pucat, meminta Ibu Dinar mendekat.Â
Dengan mata berbinar bahagia, Ibu Dinar menghampiri suaminya, ia mencium tangannya penuh khidmat, membelai rambutnya.Â
"Kamu sudah sembuh kan Pa" Ibu Dinar berkata sembari memegang kedua pipi suaminya. Pak Dinar membalas tatapannya, lalu membisikan sesuatu ke telinga istrinya. Bisikan itu hinggap di gendang telinga Ibu Dinar, seketika itulah ia berteriak histeris, teriakannya memenuhi seluruh ruangan, Sang Dukun tersentak kaget.Â
Ibu Dinar lari meninggalkan suaminya sambil berteriak, ia tak peduli pada gelap yang menyelimuti jalanan, rembulan malam itu tertutup awan. Tak ada yang mengejarnya, tidak Sang Dukun, juga pembantunya sendiri, Ibu Dinar berlari sendirian. Jeritannya makin jauh, tertelan sunyi hutan-hutan pedesaan.Â
Upacara itu usai, tubuh Pak Dinar kembali tertidur, kesadarannya tak jua kembali. Sementara bisikannya masih terngiang jelas di telinga Sang DukunÂ
"Jika roh-roh bersedia, aku ingin mereka menampung beban terberat dalam hidupku, yaitu istriku.."Â
Pagi itu atas saran Sang Dukun, pembantu Ibu Dinar bersiap membawa kembali Pak Dinar ke rumahnya. Meski belum terjawab mengapa Pak Dinar meminta istrinya sebagai persembahan, Sang Dukun tak bertanya apapun. Sejak awal ia memahami beban terberat Pak Dinar adalah ulah istrinya, mungkin sekali Pak Dinar harus membanting tulang, hingga melakukan pekerjaan haram demi memenuhi tuntutan sang istri. Hari putih tak berhasil menyembuhkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H