Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Beban Terberat

5 November 2017   05:09 Diperbarui: 5 November 2017   06:01 1434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lalu kapan upacara adat itu bisa dilaksanakan?" Ibu Dinar bertanya tidak sabar. 

"Jika kita bisa segera menyiapkan perlengkapannya saat ini, nanti malam upacara itu bisa dilaksanakan" 

"Baiklah, katakan, aku harus menyiapkan apa?"

Tepat pukul delapan malam seluruh perlengkapan upacara telah tersaji rapi di sekeliling tubuh Pak Dinar, anyaman pucuk daun kelapa, sajen berupa empat ekor ayam, nasi yang diberi pewarna, kue-kue beraneka warna, empat ruas bambu berisi tuak, sekeranjang kembang warna warni, masing-masing di tata sedemikian rapi di wadah yang terbuat dari anyaman bambu. 

Beberapa rekan Sang Dukun juga berada disana,berpakaian adat lengkap warna putih, salah seorang diantaranya siap menabung gendang. Ibu Dinar dan pembantunya resah menunggu dimulainya upacara, udara dingin mulai merayapi tubuh mereka yang menggigil perlahan. 

Diluar langit berhias purnama, ini malam ketiga belas dalam hitungan qomariyah, menurut Sang Dukun hari ini disebut hari putih, hari dimana bulan berada tepat di atas kepala dan bersinar putih terang, saat itu manusia kadang menunjukan watak terbaik dan terburuknya, artinya mereka yang selama ini dikenal baik bisa berbuat amat buruk demikian sebaliknya. 

Tetapi istimewanya, menurut Sang Dukun hari putih bisa menjadi penyembuh bagi mereka yang sakit, jika proses penyembuhan itu dilakukan tepat di hari putih. Itulah yang diharapkan Ibu Dinar, ia tak begitu tertarik pada penjelasan Sang Dukun, baginya yang terpenting adalah kesembuhan suaminya, apapun yang diminta Sang Dukun ia akan menyanggupinya, bagaimanapun caranya. 

Sang Dukun duduk tepat di bagian kepala Pak Dinar dan bersiap memulai upacara, ia mengenakan pakaian berwarna putih, sehelai selendang hitam terkait dilehernya, rambut dikonde rapi, wajahnya tenang, tangan kanannya mengenggam setangkai melati segar, meski telah berusia senja ia tetap terlihat tangguh menyelenggarakan upacara. 

Gendang perlahan ditabuh, mantra-mantra didengungkan, Sang Dukun menutup mata dan ikut membaca mantra. Suasana riuh, irama gendang bertalu mengiring tembang yang dilantunkan Sang Dukun, makin cepat tembang itu dilagukan Sang Dukun terlihat makin rapat mengatup matanya. Ibu Dinar dan pembantunya menyaksikan ritual dengan perasaan tak menentu. 

Tiba-tiba sang dukun berdiri dan menari seperti kesurupan, melati di genggamanya berguguran ke lantai, matanya terbelalak menatap tubuh Pak Dinar, ia lalu menggumamkan banyak kata sambil menunjuk tubuh itu. Sementara Ibu Dinar dan pembantunya tak mengerti apa yang diucapkannya. Seorang yang menabuh gendang mengangguk memahami apa yang dikatakan Sang Dukun. 

Perlahan Sang Dukun kembali duduk ditempatnya semula dan mengakhiri upacara. Tabuhan gendang terhenti, Sang Dukun dan empat orang rekannya menyeka keringat. Tak sabar Ibu Dinar bertanya, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun