Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Beban Terberat

5 November 2017   05:09 Diperbarui: 5 November 2017   06:01 1434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bagaimana?" 

Sang Dukun menatap mata Ibu Dinar, ia hampir tak percaya mendapati apa yang dilihatnya. Belum pernah ia mengobati orang dengan sakit separah ini, Sang Dukun sempat kebingungan ketika dalam kondisi seperti kesurupan tadi, ia melihat Pak Dinar memiliki segala apa yang tidak mungkin dimiliki seorang manusia di dunia, penyakit itu melekat erat di tubuh dan jiwanya.

Roh-roh yang merasuki Sang Dukun menginginkan sesajen ditambah lagi. Sang Dukun menyampaikan itu ke Ibu Dinar yang langsung menyetujuinya. Tubuh Pak Dinar tertindih beban segala sesuatu yang pernah diperolehnya semasa sehat, ia tak sanggup bergerak, jika beban itu tak dikurangi maka tubuh dan jiwanya akan lelah dan tak sanggup lagi kembali ke kehidupan ini, Sang Dukun menjelaskan. 

Penambahan sesajen adalah salah satu cara agar beban itu berkurang, berikan beban itu ke roh-roh yang membutuhkan. Di malam kedua sesajen di tambah, dalam sekejap rumah Sang Dukun telah dipenuhi ratusan ekor ayam, puluhan ekor kambing dan sapi yang disembelih dan darahnya dibiarkan tetap menetes, ratusan baskom nasi dan kue dihidangkan, upacara kembali dilangsungkan. 

Di tengah dengungan mantra, Pak Dinar perlahan membuka mata, ia menatap kosong ke arah loteng rumah Sang Dukun, tubuhnya bisa bergerak. Ibu Dinar hampir terlonjak bahagia melihat kondisi suaminya, ia hendak memeluk tapi Sang Dukun menahannya. Kesadaran Pak Dinar masih terganggu, ia belum mengenali siapapun. 

Upacara tetap berlangsung, kali ini tabuhan gendang ditiadakan, Sang Dukun membacakan mantra-mantra kesembuhan didepan Pak Dinar. Tiba-tiba Pak Dinar menarik lengan Sang Dukun dan membisikan sesuatu. Sang Dukun terkejut, ia tak berani menatap Pak Dinar. Sang Dukun menggeser duduknya ke belakang dan dengan wajah pucat, meminta Ibu Dinar mendekat. 

Dengan mata berbinar bahagia, Ibu Dinar menghampiri suaminya, ia mencium tangannya penuh khidmat, membelai rambutnya. 

"Kamu sudah sembuh kan Pa" Ibu Dinar berkata sembari memegang kedua pipi suaminya. Pak Dinar membalas tatapannya, lalu membisikan sesuatu ke telinga istrinya. Bisikan itu hinggap di gendang telinga Ibu Dinar, seketika itulah ia berteriak histeris, teriakannya memenuhi seluruh ruangan, Sang Dukun tersentak kaget. 

Ibu Dinar lari meninggalkan suaminya sambil berteriak, ia tak peduli pada gelap yang menyelimuti jalanan, rembulan malam itu tertutup awan. Tak ada yang mengejarnya, tidak Sang Dukun, juga pembantunya sendiri, Ibu Dinar berlari sendirian. Jeritannya makin jauh, tertelan sunyi hutan-hutan pedesaan. 

Upacara itu usai, tubuh Pak Dinar kembali tertidur, kesadarannya tak jua kembali. Sementara bisikannya masih terngiang jelas di telinga Sang Dukun 

"Jika roh-roh bersedia, aku ingin mereka menampung beban terberat dalam hidupku, yaitu istriku.." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun