Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajib Lapor

24 September 2017   14:45 Diperbarui: 24 September 2017   15:06 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tanah kami dirampas. Hak hidup kami direbut. Kami menuntut agar pemerintah bisa berlaku adil pada kami. Kami meminta hak kami dikembalikan. Bukankah tanah-tanah hak guna usaha itu telah disayat untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat!!"

"Betuull!!" 

Kerumunan menyambut penuh semangat. Mereka bersorak. Lelaki itu melanjutkan.

"Kami adalah rakyat yang berhak atas tanah itu! Bukan penguasa! Bukan pengusaha!  Bukan mafia tanah!!"

Kerumunan makin bersemangat, mereka berusaha mendorong barisan loreng hijau yang berdiri di depan mereka. Kawat berduri tetap tak tertembus, namun aparat berseragam cokelat tetap siaga di balik pagar.

Tiba-tiba, salah seorang petugas berseragam loreng hijau menerjang kerumunan dan mendaratkan kepalan tangannya di pipi kanan lelaki yang sedang berorasi itu.

Situasi berubah kacau, kerumunan mulai mengamuk, menyerang aparat keamanan. Lelaki yang berorasi itu diringkus, lalu diamankan petugas, dibawa pergi entah kemana, sementara itu kerumunan masih mengamuk, berkelahi dengan petugas loreng hijau dan seragam cokelat, hingga gas air mata dan peluru karet mengendalikan amarah mereka.

Di ruangan seukuran kamar mandi, tubuh lelaki itu hanya dibalut cawat putih, darah segar mengucur di luka-luka yang menganga akibat sabetan rotan, tinju dan tendangan sepatu lars. Matanya lebam, bengkak berwarna ungu, pipi kanannya lecet, kepalanya pecah terbentur dinding, telinganya berdarah. Ia tersungkur kaku di sudut ruangan.

Seseorang membuka pintu. Lelaki itu mencoba membuka mata agar bisa mengenali sosok yang berdiri di depannya. Kepalanya belum tegak sempurna, ketika perutnya mual tak terkendali. Dalam kondisi lemah, ia menumpahkan isi perutnya ke lantai, hingga mengotori sepatu lars hitam yang dikenakan orang itu. Namun, ia tak peduli. Orang itu kaget, matanya terbelalak menatap sepatunya yang hitam mengkilat dipenuhi cairan cokelat kemerahan yang tumpah dari mulut lelaki itu.

"Kau bersihkan sepatuku, Kau makan muntahmu itu!  Cepat! Bangsat!! " 

Kata-katanya diikuti tendangan keras ke ulu hati lelaki itu, yang makin tak berdaya. Dengan lemah, ia merayap, menjilati muntah di lantai dan sepatu orang itu, dadanya bergemuruh oleh amarah dan rasa takut tak tertahankan, hatinya teriris, harga dirinya tak sanggup beranjak hendak melawan, pedih di ulu hati memang tak sepadan dengan pertanyaan, apa salahnya menuntut hak? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun