Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajib Lapor

24 September 2017   14:45 Diperbarui: 24 September 2017   15:06 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Entahlah Bu"

Gabon menyahut parau, mulutnya sibuk mengunyah pisang, sementara angan dan batinnya terus bergejolak, menahan tanya, kapan nasibnya akan berubah.

"Ongkos pulang pergi ke kantor koramil kan lumayan banyak Bon, apa orang-orang itu tidak peduli? Untuk makan saja, kita hanya bergantung pada belas kasihan mandor, itupun kalau dia lagi baik hati, kalau tidak, kita terus menerus dituduh mencuri"

Ibunya berkata lesu, mengelap tangannya yang basah, lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi di depan Gabon.

Kalimat ibu telah dihafal Gabon sempurna di pikiran dan batinnya, itu adalah kalimat yang selalu ia dengar acap kali ia pulang sehabis menemui aparat-aparat itu, menuntaskan statusnya sebagai wajib lapor. Gabon, tak tahu, berapa banyak waktu yang harus ia habiskan untuk itu, ia juga tak berani bertanya pada mereka. 

Ada sebongkah duri yang selalu menusuk hati dan pikirannya setiap kali ia memikirkan penyebab status wajib lapor dilekatkan pada namanya.

***

Kerumunan itu terus mendesak memenuhi jalanan, tua muda bahkan remaja berusia belasan tahun, ikut berteriak-teriak. Mereka berjumlah ratusan orang, lelaki dan perempuan. Terik matahari membakar tapi tak menghanguskan semangat mereka, sekujur tubuh berbasuh peluh, bau keringat bercampur bau aspal dan asap kendaraan tak dihiraukan sama sekali. 

Dalam benak kerumunan itu, mereka sedang berjuang, merebut hak milik yang dirampas, entah oleh penguasa maupun pengusaha. Puluhan spanduk bertuliskan tuntutan bernada ancaman terbentang diantara mereka, bendera-bendera berkibar di atas kepala.

Situasi makin tak terkendali, pagar kantor perwakilan rakyat ditempeli kawat berduri, kerumunan orang-orang itu tak bisa masuk, sementara di dalam dan di luar pagar sejumlah petugas berseragam cokelat dan loreng hijau berdiri tegap memasang tampang sangar dan bengis, melempar tatap kebencian di hadapan massa yang mulai beringas.

Melalui pengeras suara, lelaki itu meneriakan kata-kata diikuti gemuruh dan kecaman kawan-kawannya. Beberapa orang di antara mereka menyebarkan kertas berisi tuntutan mereka terhadap penguasa dan pengusaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun