Mohon tunggu...
Dio Satrio Jati
Dio Satrio Jati Mohon Tunggu... -

melalui hati, dicerna pikiran dan digambarkan dalam nyata

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemogokan Guru dan Tenaga Pengajar, Sebuah Potret Politik Pendidikan Tanah Air

11 Oktober 2011   08:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:05 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Dio Satrio Jati

Pendidikan dalam sejarah peradaban anak manusia adalah salah satu komponen kehidupan yang paling urgen. Aktifitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berakhirnya kehidupan di muka bumi ini. Pendidikan juga bisa dikatakan sebagai dasar dari kemajuan suatu bangsa. Semenjak manusia berinteraksi dengan aktifitas pendidikan ini manusia dikatakan telah berhasil dalam merealisasikan perkembangan dan kemajuan kehidupan mereka diberbagai sisi kehidupan.

Di Indonesia sendiri terkadang dalam masalah pendidikan bisa dikatakan belum semaju bangsa eropa dan bangsa besar lainnya, dalam masalah ini banyak yang mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara maju lainnya. Bahkan Malaysia pun yang notabenennya merupakan ‘murid” dari Indonesia sekarang sudah melesat jauh meninggalkan Indonesia.

Dalam perjalannanya dunia pendidikan di Indonesia mengalami masa pasang surut dimana stabilitasnya memang belum sepenuhnya terjaga. Banyak kasus yang mengiringi pasang surutnya dunia pendidikan di Indonesia, mulai dari kasus Alif dan Ny.Siami di SDN Gadel II tentang kasus menyontek massal dalam ujian nasional hingga kasus pemogokan guru dalam mengajar yang terjadi diberbagai daerah diwilayah Indonesia juga satu satu kasus yang terangkat ke permukaan yakni kasus Ibu Guru Vini.

Berbagai kasus dan latar belakang pun mulai menjadi alasan kuat adanya pemogokan para guru dan tenaga pengajar seperti kasus Pemogokan guru di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan karena rencana pemotongan gaji ke-13 serta ketidak transparannya pengelolaan uang tunjangan gaji ke-13 (Kompas, 5/7/2011).

Dalam isu politik lokal kali ini saya akan mencoba menganalisis kasus terkait pemogokan guru di Kabupaten Pinrang. Seperti diberitakan diberbagai media bahwa kasus pemogokan guru dalam mengajar memang sudah bukan lagi masalah profesi namun sudah mulai menyentuh masalah kepentingan politik.

Dalam dunia pendidikan pun bisa dijadikan alat politik yang efektif bagi pemerintah seperti saat-saat sekarang ini. Saat ini pendidikan dimaknai dengan batasan yang amat sempit, Tugas pendidik, ujian nasional, pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada lembaga formal yang bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta keramat yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain yang bias mendukung ijazah ini laku atau tidak. Pendidikan dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan kemanusiaan. Pendidikan bukan lagi mengemban misi tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru.

Secara institusional, pendidikan kita belum mampu membuat visi dan orientasi yang berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan investasi modal. Di sisi lain pendidikan juga belum mampu mengaplikasikan strategi pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk memajukan peradaban yang berkeadaban.

Berangkat dari hal-hal itulah yang seringkali menjadi permasalahan dalam proses pendidikan di Indonesia. Dengan banyaknya kepentingan yang ada tak jarang membuat stakeholder terkait menjadi kelompok yang dirugikan dengan adanya sistem pendidikan seperti ini tak terkecuali para guru dan tenaga pengajar lainnya.

Meskipun kasus pemogokan guru berbagai wilayah indonesia bergerak tidak serentak dan berbeda-beda pula alasan adanya pemogokan antara daerah satu dan daerah lain. Namun hal ini sangat mempengaruhi keadaan politik lokal setempat, dengan adanya kasus pemogokan guru dan tenaga pengajar diyakini sangat berdampak buruk pada siswa dan merugikan stakeholder terkait dengan pendidikan. Meski pemberitaan pemogokan guru dan tenaga pengajar di Kabupaten Pinrang, Sulawasi Selatan segera lenyap dan bahkan dianggap sebagai angin lalu oleh daerah tersebut namun secara lokal hal ini tetap mengganggu stabilitas politik lokal daerah yang bersangkutan. Tak heran ketika terjadi pemogokan guru dan tenaga pengajar lainnya terjadi banyak membuat para stakeholder terkait menjadi cukup waspada karena dalam politik lokal hal ini dipandang sebagai politisasi pendidikan didaerah tersebut.

Dalam aksi itu, para guru mengolah potensi kekuasaan kolektif (mogok mengajar) untuk menghasilkan kekuatan nyata guna memengaruhi tatanan keseharian masyarakat (menghentikan kegiatan belajar-mengajar di sekolah). Strategi politik para guru itu untuk melawan politik ”lunak” pemerintah terkait pemotongan gaji ke-13.

Aksi pemogokan guru ini ternyata mempunyai dampak yang cukup mengena mengingat aksi ini sebagai bentuk penerapan kekuasaan, politik pendidikan (keras/lunak) didasarkan tujuan yang hendak dicapai,bukan dampak yang ditimbulkan. Karena itu, tolok penilaian yang tepat atas aksi pemogokan itu bukan apakah ia berdampak baik atau buruk namun efektifkah ia untuk meraih tujuan yang ditetapkan.

Unjuk rasa ribuan guru menuntut kenaikan anggaran

pendidikan, kesejahteraan, dan status kepegawaian di Jakarta, Tangerang, dan Yogyakarta menunjukkan, garis perjuangan guru telah memangkas tabu-tabu keningratan ”semu” profesi guru yang ditonjolkan, terutama sepanjang pemerintahan Orde Baru.

Berbagai unjuk rasa itu merupakan indikasi, kesadaran tentang keharusan pemerintah melaksanakan ketentuan konstitusi tentang anggaran pendidikan mulai menyebar ke kalangan guru. Tampaknya para guru merasa ikut bertanggung jawab untuk menuntut pemerintah agar memenuhi ketentuan anggaran pendidikan. Di zaman pascareformasi, kesadaran dan tanggung jawab itu terekspresikan dalam unjuk rasa guru yang kian lazim terjadi.

Kasus inimengindikasikan, guru tidak hanya memegang kunci pencerahan budi, tetapi juga kunci kekuasaan politik dalam arti sebenarnya. Dalam pemogokan, eksploitasi potensi kekuasaan kolektif guru jauh lebih nyata daripada dalam unjuk rasa biasa. Artinya, pada konteks luas, jika terjadi koordinasi solid dan sistemik atas seluruh guru di Indonesia untuk mengolah potensi kekuasaan kolektif yang diekspresikan dalam politik pendidikan yang keras, misalnya pemogokan, peran guru sebagai agen perubahan menjadi amat nyata. Dipilihnya strategi politik pendidikan yang keras oleh guru untuk melawan strategi lunak pemerintah dalam penentuan pemotongan gaji ke-13 mengindikasikan para guru mulai kehilangan kesabaran menghadapi sikap kenyal pemerintah dalam melaksanakan amanat konstitusi tentang anggaran pendidikan.

Sumber Bacaan

·Susetyo, Benny. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta; LKiS. 2005.

·Freire, Paulo. Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan, dan Pembebasan, Yogyakarta: Read, 2000

·Dr. Moh. ROQIB, M.Ag. Politik Pendidikan dan Pendidikan politik. Thursday, 11 March 2010 (06:58). http://agupenajateng.net

·http://agussuwignyo.blogsome.com/

·http://kompasiana.com/

Semarang, 18 Agustus 2011

Dio Satrio Jati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun