Tulisan ini ingin menggabarkan sketsa sosiologi intelektual Muslim pada eratahun 1990-an. sebab, hampir semua ilmuwan Islam yang dijadikan objek dalamkajian ini adalah mereka yang pernah belajar di Barat dan lulus pada tahun1990-an. Karena itu, artikel ini hendak memberikan gambaran yang komprehensifbagaimana corak pemikiran Islam yang berkembang pada tahun 1970-an dan 1980-an.Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan di awali dengan thesis antithesis suasana akademis dialogis era 70 ‘an artikel ini terlahir sebagai suatuargument terdapatnya kesinambungan pemikiran Islam yang berkembang selama tigadasawarsa ini yang dalam hemat penulis merupakan khasanah intelektual inteligensia yang indegenius yang patut dipertahankan dalam skripsi penulis pergolakan pemikiranpemikir-pemikir Indonesia di eratersebut dikupas .
Karena itu, untuk memahaminya perlu dijelaskan secaratelegrafik bagaimana hal tersebut terjadi.untuk membedakan dengan kajiansebelumnya, saya akan menyajikan dengan studi bibliografis. Model ini memangbelum pernah dilakukan oleh para sarjana, baik dalam maupun luar negeri. Karenaitu, studi ini berusaha sekuat tenaga untuk menyajikan karya-karya yang terkaitdengan pemikiran Islam di Indonesia era 1970-an dan 1980-an. Tentu saja,kelemahannya terletak pada sejauh mana pengetahuan saya tentang karya-karyatersebut. Untuk itu, tidak menutup kemungkinan model ini dapat dilengkapi olehsarjana berikutnya yang tertarik dengan studi pemikiran Islam di Indonesia
Sejauh ini, akar-akar pembaruan Islam memang belum ada kesepakatan di antarapara sarjana Islam Indonesia. Sebab, akar-akar tersebut cenderung dilihatmelalui satu sudut pandang semata, dimana mengabaikan sudut pandang yang lain.Sudah lazim malzum, bahwa pembaharuan Islam di Indonesia dimulai saat awal abadke-20 atau menjelang akhir abad ke-19. 1 Namunbelakangan, ada yang berpendapat,seperti yang sering ditulis oleh AzyumardiAzra, bahwa pembaruan Islam di Indonesia telah dimulai pada pada abad ke-17.
Hal ini tentu saja memberikan impakyang serius terhadap wacana pembaruan, terutama mengenai sejarah intelektualIslam di Indonesia. Jika kita sepakat pembaruan pemikiran Islam muncul padapendapat pertama, maka sekian data-data sejarah intelektual Islam pada abadsebelumnya hanya menjadi “pengembira” dalam kajian intelektual Islam.Sebaliknya, jika kita mulai sepakat dengan pendapat kedua, maka tugas kitaselanjutnya adalah menulis kontiunitas sejarah Intelektual Islam setelah abadtersebut. Dan, harus diakui bahwa jika ada kajian yang mulai menulis tentangtopik ini, maka dinamika intelektual di Haramayn dan Mesir tidak dapatdiabaikan sama sekali
Setumpuk artikel wacana gerakan pembaruan pada awal abad ke-19 dan 20 punmasih ikut “melirik” dentuman peristiwa demi peristiwa yang terjadi di TimurTengah. Hanya saja, yang diambil oleh para pionir pembaru di Indonesia adalahsemangat dan model pembaruan melalui pengembangan pikiran tokoh dan media suratkabar (jurnal). Dalam konteks ini, pembaruan masih sebatas menghadang aruskolonialisme, 4Kristenisasi yang dijalankan para penjajah, 5dan“pembetulan” disana-sini perilaku ibadah umat Islam yang telah “terjerat” TBC(Taklid, Bid’ah dan Churafat). 6
Misi pembaruan ini tentu saja tidak bertahan lama, sebab menjelangkemerdekaan dan paska kemerdekaan, energi tokoh Islam lebih “terkuras” dalamperdebatan dasar negara, hubungan agama dan negara, dan arah politik Indonesiayang sedikit banyak telah “dikuasai” oleh kelompok nasionalis sekular. 7Bahkan menjelang keruntuhan era Orde Lama, pemikiran Islam sangat sulit sekalidikembangkan, sebab perhatian bangsa ini masih tertuju pada bagaimana “mencucipiring” akibat ulah PKI.
Akar akrobastik pemikiran Islam baruberkembang pada era 1970-an. Dalam hal ini, M. Dawam Rahardjo dalam bukunya, IntelektualIntelegensia dan Perilaku Politik Bangsa menuturkan bahwa faktor objektifyang menghadirkan gejala kecendekiawanan Muslim adalah aktivitas pemikiran danbahkan gejolak pemikiran di sekiar paham pembaharuan yang dilontarkan olehkalangan muda di awal dasawarsa 1970-an. Dari sini menunjukkan bahwa perankelompok muda yang dimotori oleh Nurcholish Madjid memang terjadi pada tahun1970-an. Kelompok muda menginginkan agar umat Islam tidak lagi mengingat memoritentang kekuatan politik umat Islam pada era Orde Lama. Karena itu, merekamenginginkan agar perjuangan umat Islam lebih diarahkan kepada substansi ajaranIslam melalui pemodernan pemahaman Islam.
kehadiran intelektual saat itu, merupakan respon terhadap isupembangunanisme (modernisasi) yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru yangmencoba membungkus rapat-rapat kekuatan politik Islam. Dalam hal ini, M. SyafiiAnwar dalam karyanya Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia menandaskanbahwa pemerintah Orde Baru akan menggeser ideologi politik yang bersifatprimodialisme. Hal ini yang menyadarkankelompok muda Islam, agar ideologi politik Islam tidak perlu lagidigembar-gemborkan, sebagaimana digelorakan oleh kelompok tua yang merasadirugikan oleh pemerintah Orde Lama.
N-U muda dan N- Oe Tua
Kajian yang cukup komprehensif tentang bagaimana peran Cak Nur telahberhasil dikupas agak tuntas oleh M. Kamal Hassan melalui disertasi Ph.D-nya diColumbia University pada tahun 1975 dengan judul Muslim IntellectualResponse to “New Order” Modernization in Indonesia. 10Belakangan hasil penelitian ini digugat oleh Greg Barton melalui karyanya GagasanIslam Liberal di Indonesia. 11Hasil penelitian Barton, terutama yang menyangkut klasifikasi Islam Liberal,kemudian banyak dibantah oleh anak muda NU, seperti yang dilakukan oleh AhmadBaso dalam tulisan “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam.” 12Selain kajian Kamal, studi yang dilakukan oleh Bahtiar Effendy dalam karyanya Islamdan Negara, 13M. Rusli Karim melalui bukunya Negara dan Peminggiran Islam Politik, 14juga ikut mengulas bagaimana bagaimana dinamika Pembaharuan Pemikiran Islamdalam merespon politik Orde Baru. Bukan hanya mereka, ada juga sarjana yangmencoba melihat dari sisi ketegangan dengan Pancasila seperti yang dilakukanoleh Faisal Ismail lewat karyanya Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama.15Di samping itu, ada pula yang melihat bagaimana dinamika tersebut jikadihadapkan dengan wacana demokrasi seperti yang dikaji oleh Masykuri Abdillahmelalui karyanya Demokrasi di Persimpangan Makna.
yang menarik dari kajian-kajian di atas adalah bahwa pikiran generasi mudaera 1970 telah mendapat tempat yang layak dalam studi pemikiran Islam diIndonesia. Lebih dari itu, implikasi dari pemikiran tersebut ternyata telahmerubah kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam. Impak ini dapatdirasakan misalnya, dari bentuk kebijakan yang bersifat akomodatif. BahtiarEffendy memaparkan bahwa tanggapan akomodatif negara ini dapat terlihat dalamempat bidang yaitu akomodasi struktural, legislatif, infrastruktural, dankultural. Dalam bidang struktural, bentuk akomodasi yang paling mencolok adalahdirekrutnya para pemikir dan aktivis Islam politik generasi baru ke dalamlembaga-lemabag eksekutif (birokrasi) dan legislatif negara. 17 Adapun akomodasi legislatif dapatdilihat dari produk undang-undang atau peraturan yang agak “berpihak” kepadaIslam. Sementara akomodasi infrastructural adalah dibangunnya beberapa bangunansebagai “proyek kegamamaan” dan adanya pengakuan pemerintah terhadap keberadaanBank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Terakhir, akomodasi cultural dimanapara pejabat sudah mulai memakai idiom-idiom Islam dalam acara kenegaraan.Kajian lanjutan tentang hal tersebut dapat dibaca dalam karya Abdul Azis Thaba,Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru 18 danbuku Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia
kancah intelektual Islam pada era 1970-an juga dipicu oleh figur HarunNasution yang mencoba “membumikan” pemikiran Mu’tazilah di Indonesia. Kendatipada awalnya, ditentang oleh banyak kalangan, namun upaya Harun melalui IAINJakarta telah banyak menghasilkan sarjana pemikiran Islam pada era 1980-an dan1990-an. Peran sentral Harun dalam membuka diskursus pemikiran Islam diIndonesia cukup terasa impaknya bagi bagi generasi berikut. Hal ini terekamjelas dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasutiondimana para sarjana Islam dari berbagai generasi 60-an, 70-an, 80-an, dan 90-anmengakui peran Harun dalam menyeru pemikiran rasional di Indonesia, sepertiyang ditulis oleh Arief Subhan, 20Saiful Muzani 21dan Fauzan Saleh. 22
Di samping Harun, sosok Munawir juga ikut memainkan peran penting dalammenyekolahkan beberapa sarjana era 1990-an keluar negeri agar mempelajariIslamic Studies di Barat. Hal ini tentu saja berkat peran Munawir Sjadzali yangmengirim beberapa dosen IAIN untuk belajar ke Barat. Tidak sedikit generasi inimemiliki peran penting dalam mengembangkan pemikiran Islam di Indonesia. Adapunmengenai peran Munawir ini terlihat jelas dalam buku KontekstualisasiAjaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (1995). Dalam karyatersebut, para sarjana cukup menyadari bagaimana kiprah Munawir dalam mengirimdosen IAIN ke berbagai universitas ternama di Barat. Setelah pulang dari Barat,para sarjana ini kemudian menulis tentang kiprah Munawir seperti yang terlihatdalam Islam Berbagai Perspektif: Didekasikan untuk 70 Tahun Prof. H.Munawir Sjadzali, MA (1995). Peran Munawir ini sering disebut dengan alampencairan ketegangan ideologis sebagaimana tampak dalam artikel yang ditulisbersamaan oleh Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo, Arife Subhan, 23Bahtiar Effendy, 24dan Agus Wahid.
Tokoh lain yang cukup berjasa dalam menelurkan pemikir muda pada era 1970-anadalah Mukti Ali. Melaui diskusi Limited Group di Yogyakarta, tidaksedikit para pemikir muda ikut andil di dalamnya. Karena itu, sampai sekarang,peran Mukti Ali,sebagai sebagai penggagas studi Perbandingan Agama di IAIN,juga sebagai pendobrak semangat kelompok muda di Yogyakarta, seperti AhmadWahib (alm), M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan lain-lain. Tentang kiprahilmuwan multidimensi ini, dapat dibaca dalam Abdurrahman, Burhanuddin Daya, danDjam’annuri (ed), Agama dan Masyarakat: 70 Tahun H.A. Mukti Ali(1993). Di samping itu, peran Mukti juga diuraikan secara komprehensif oleh AliMuhannif 26dan Nasrullah Ali-Fauzi. 27
Di atas mereka semua, peran H. M. Rasjidi dapat dikatakan sebagai tokoh –meminjam istilah Cak Nur – Godfather “Mafia McGill.” 28 Diayang pertama kali mengenyam studi Islam di Barat yang kemudian menghantarkannuansa pemikiran Islam tesendiri di Indonesia. Tidak sedikit para sarjana yangmemuji jasa Rasjidi seperti tercermin dalam 70 Tahun Prof. H.M. Rasjidi.Namun demikian, karena Rasjidi agak menentang pembaharuan yang dikembangkanoleh Cak Nur Cs., maka agak sedikit perhatian para sarjana terhadap mantanMenteri Agama RI pertama ini. Setidaknya, kajian tentang Rasjidi hanya dapatdilihat kupasan Azyumardi Azra 29 dantulisan yang mengenang kewafatan tokoh ini pada tanggal 30 Januari 2001 olehAkh. Minhaji dan Kamaruzzaman.
Dari serangkaian kisah kita mendapatkan peran tokoh, saya tertarik untukmelihat bagaimana peran organisasi, lembaga, atau yayasan menjadi “kendaraan”sekaligus menjadi “transmitter” pembahuruan bagi generasi era 1990-an.Setidaknya, ada beberapa “kendaraan” yang menjadi “lokomotif” gerakan pemikiranpada era 1980-an. Pertama, Yayasan Paramadina. Yayasan ini merupakan salah satu“kendaraan” yang mengusung pemikiran Cak Nur secara independen. Kendati padasaat yang sama, dia adalah Ahli Peneliti Utama LIPI dan Dosen pada IAIN(sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, menurut Greg Barton, Paramadinalah yangmenjadi kendaraan utamanya dan merupakan fokus untuk energinya. 31
Secara berkala, Cak Nur mengisi sejenis diskusi bulanan KKA (Klub Kajian Agama)yang menghadirkan kelompok menengah dari hotel ke hotel. Tentu saja, setiaptopik yang diisi oleh Cak Nur selalu dicari pembandingnya dari seorang ilmuwanlainnya. Dari sinilah, karya-karya Cak Nur “membanjir” di Indonesia 32dan karya ilmuwan lainnya baik dari kelompok Paramadina maupun bukan yang tentusaja diterbitkan oleh yayasan ini (mis. LAZIS) atau funding internasional.Adapun tentang studi Islam yang diajarkan oleh yayasan ini dapat dibaca dalam BukuPanduan Program Pusat Studi Islam dan tulisan-tulisan “warganya” sepertiKomaruddin Hidayat 33dan Budhy Munawar-Rachman. 34Yayasan ini juga menerbitkan jurnal Paramadina yang sampai sekarangbaru terbit dua edisi. Selanjutnya sama dengan yang lainnya, yaitu menjadi“almarhum.”
LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat). Lembaga ini memang amat berjasa dalammensosialisasikan pikiran pembaharuan pemikiran Islam pada era 1980-an melaluiberbagai kegiatan ilmiah. Kendati terbit pada tahun 1990-an, namun isu-isu yangdiangkat juga tidak begitu jauh dengan apa yang terjadi pada era 1980-an.setidaknya, ini terlihat dari terbitnya Jurnal Ulumul Qur’an yangdipimpin oleh M. Dawam Rahardjo yang selalu mencoba mengangkat isu-isupembaruan atau pemikiran terkini yang berkembang di seputar studi Islam. Selainmengisi tetap pada rubrik Assalamu’alaikum, Dawam juga mengisi EnsiklopediaQur’an yang belakangan artikel-artikel tersebut diterbitkan oleh penerbitParamadina. 35Dengan kata lain, LSAF ini memang sangat dekat Paramadina. Selain, Dawamsebagai pendukung Cak Nur, para personil di LSAF juga personil Paramadina. Halini juga terlihat dari artikel yang diterbitkan yang senyawa dengan misiParamadina. Di yayasan ini bertengger nama-nama intelektual muda yang amatenerjik seperti Saiful Muzani, Budhy Munawar-Rachman, Ihsan Ali-Fauzi, Arief Subhan,Nasrullah Ali-Fauzi, Agus Wachid, Edy A. Efendy, Dewi Nurjulianti, NurulAgustina dan lain sebagainya. Tentu saja mereka sekarang sudah menjadi pemikirdengan berbagai disiplin ilmu yang mereka kuasai. Namun harus diakui, peran UQyang dikembangkan oleh LSAF memang telah menjadi menjadi generasi paska Cak Nuryang memilik teori tersendiri dalam menyajikan pemikiran Islam.
Yayasan Muthahhari. Yayasan ini dipimpin oleh Jalaluddin Rakhmat yang banyakberkiprah di Bandung. Yayasan ini didirikan oleh Kang Jalal bersama denganHaidar Bagir, Ahmad Tafsir, dan Achmad Muhadjir pada 3 Oktober 1988. 37Adapun alasan mengapa digunakan Muthahhari adalah karena tokoh ini merupakanulama-intelektual abad 20 yang bisa dianggap sebagai salah satu model sarjanaIslam dalam hal pemilikan tiga syarat yang banyak diimpikan tapi jarang bertemudalam satu pribadi: akar yang kokoh pada studi Islam tradisional, penguasaanmemadai atas ilmu-ilmu non-agama, serta concern dan karya nyata dibidang sosial – sebagai aktivis Islam dan penulis prolific – seperti tampakdalam perjalanan hidupnya. 38
Harus diakui, bahwa yayasan ini sering dilekatkan dengan pemikiran Syiah, sebabmereka banyak sekali mensosialisasikan pikiran tokoh-tokoh Syiah, terutamadengan jurnal yang diterbitkan Al-Hikmah. Jurnal ini kendati sudah“almarhum” namun sedikit banyak mencerminkan bagaimana misi yang dikembangkanoleh Kang Jalal. Sebab, jurnal tersebut memiliki keunikan tersendiri yaitulebih banyak menerjemahkan karya-karya tokoh Syiah dan orientalis, sehinggawarna pemikiran keislaman pun sangat beragam. Hal ini juga ditunjang olehhubungan Yayasan ini dengan penerbit Mizan yang memang agak gencar menerbitkanbuku-buku tentang Syiah, seperti karya-karya Ali Syari’ati. Karena itu, lewat“kendaraan” ini, Kang Jalal selain mengembangan pikirannya, juga sekaligusmengembangkan pikiran Syiah. Hal ini, tentu saja menyemarakkan tradisipemikiran keislaman di Indonesia dimana dikembangkan bukan hanya tradisi Sunni,melainkan juga Syiah
LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial).Lembaga ini didirikan pada pada tahun 1971 yang dibantu oleh Friedrich NaumanStiftung (FNS) dari Jerman. 39Dalam Ornop ini, tidak sedikit cendekiawan muda yang bekerja sebagai peneliti(mis. Fachry Ali, Hadimulyo, M. Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid dan lainsebagainya). Di dalam organisasi ini, terdapat M. Dawam Rahardjo yangmenggerakan dunia pesantren dimana mereka memiliki sekian banyak program untukmemberdayakan. Karena itu, tema-tema yang diangkat pun tidak lagi bergelut padatema-tema normative, namun lebih kepada empiris melalui pendekatan-pendekatandalam ilmu sosial. Di samping itu, LP3ES juga menerbitkan buku yang seringmenjadi acuan pemikiran Islam di Indonesia. 40
Di samping itu, lembaga ini juga menerbitkan jurnal Prisma yang selalumemuat tema-tema sosial dimana pikiran yang terkait dengan agama kemudiandicoba dibukukan sebagai bukti bahwa ada pemetaan yang khas tentang pemikiranIslam di Indonesia. 41Sebab, kehadiran Prisma memang dengan semangat anti-ideologi, antipartai dan anti politik, sebagai oposisi dari sikap ideologi, partisan danpolitis khalayak (termasuk para cendekiawan) masa sebelumnya. 42Karena itu, tidak sedikit pemikir Islam yang besar dari lembaga LP3ES danjurnal Prisma yang pada gilirannya membantu kita untuk mengatakanbetapa LSM merupakan faktor penting dalam dinamisasi pemikiran Islam diIndonesia. Atau, dalam bahasa Fachry Ali, “lembaga yang telah berjasamengakomodasikan hasrat intelektual itu adalah LP3ES. Melalui kegiatanpenelitian dan jurnal Prisma-nya, lembaga ini telah menginspirasikandan mewadahi hasrat pengembangan intelektual yang dirintis Cak Nur dalamkomunitas ini
Intelektual Inteligensia
, P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Lembaga inididirikan pada tahun 1983 yang dipimpin Masdar F. Mas’udi yang bertujuan untukmenyediakan bentuk dukungan intelektual pada elemen-elemen pembaruan di duniapesantren. 44Secara kelembagaan pendiri lembaga ini juga mereka yang terlibat dalam proyekLP3ES, tetapi P3M lebih merupakan usaha bersama kalangan NU dan Masyumi, tanpakehadiran beberapa intelektual “sekuler” dan non-Muslim sebagai yang terdapatdalam LP3ES. 45
Kajian yang dikembangkan oleh P3M memang agal berlainan saat itu, dia berusaha“mendobrak” tradisi lama yang sekian lama terkunkung oleh teks-teks klasik.Karena itu, pikiran-pikiran tokoh-tokoh P3M (mis. Masdar dan Gur Dur) seringmencerminkan kelanjutan dari pikiran Cak Nur. Disamping itu, lembaga ini juga menerbitkan jurnal empat bulanan Pesantren yangmemuat infomarsi “terkini” tentang dunia pesantren dan hal-hal lain yangterkait dengan misi P3M. Menurut Martin Van Bruinessen, majalan Prisma telahmeransang sikap yang lebih kritis terhadap studi-studi scriptural tradisionaldengan menyertai setiap isu yang diangkat dengan tinjauan pustaka secara kritisterhadap sebuah kitab kuning
PPSK (Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan). Organisasi ini memang lahiragak belakangan, dibandingkan “kawan-kawannya” di atas. Berbeda dengan mereka,organisasi ini lahir di Yogyakarta menjelang kelahiran ICMI. Disini melahirkanfigur M. Amien Rais dan beberapa sarjana dari kampus UGM lainnya (mis. WatikPratiknya, Kuntowijoyo, Sofyan Effendy, Jamaluddin Ancok, Ichasul Amal, YahyaMuhaimin, Dochak Latif, Chairul Anwar, (alm.) Affan Gaffar). Menurut Amien,lembaga ini lahir yang dilatarbelakangi oleh hasrat sejumlah cendekiawanYogyakarta untuk membentuk sebuah “dapur pemikiran bagi umat Islam.” 47
Lembaga ini memang menjadi semacam think thank bagi kelahiran ICMIyang belakangan tempat berkumpulnya berbagai sarjana Muslim Indonesia. Kecualiitu, lembaga ini juga menerbitkan jurnal kwartalan Prospektif yangmemuat tulisan para staf PPSK. Harus diakui, bahwa jaringan PPSK ini banyaksekali mewarnai konstelasi pemikiran Islam dalam bidang sosial-politik. Karenaitu, tidak dapat diabaikan bahwa langgam pemikiran yang dikembangkan memangagak senafas dengan organisasi di atas, kendati eksponennya bukan dari kalanganIAIN
Demikan paparan lengkap beberapa lembaga yang menjadi “kendaraan” bagi“penumpangnya.” Dari sini terlihat bahwa gerak pemikiran Islam di Indonesiamemang selalu terkait dengan lembaga yang menjadi paying sang-pemikir tersebut.Kendati Cak Nur merupakan ilmuwan dari IAIN dan LIPI, namun publik lebih mengenalnyamelalui Paramadina. Karena itu, “kendaraan” ini mampu memberikan implikasiserius bagi yang “menumpangnya.”
Dari Paramadina misalnya, sosok KomaruddinHidayat, telah berhasil menjadi pemikir Islam garda depan pada era 1990-an.demikian juga, LP3ES telah menyebabkan Fachry Ali sedemikian ahli dalam bidangilmu-ilmu sosial, kendati dia lulusan IAIN Jakarta. Di P3M, tranmisiintelektual di kalangan NU sedemikian menggema sehingga, sampai sekaranglembaga ini telah cukup sukses dalam mencetak kadernya pada era 2000-an (mis.Zuhairi Misrawi). Di samping itu, peran LSAF juga telah menaikkan pamorbeberapa pemikir muda yang dulunya mereka hanya sebagai penerjemah, editor ataupenulis lepas di koran dan jurnal. Dari sini muncul Saiful Muzani Cs, yang padaakhirnya lebih banyak berkiprah di PPIM, sebuah lembaga yang digagas olehAzyumardi Azra
setiap “kendaraan” tentu memiliki daya tarik tersendiri yang membuat para“penumpangnya” betah untuk naik di dalamnya. Dalam konteks ini, hampir dapatdipastikan bahwa dalam rangka mensosialisasikan pikiran pemikir dalamorganisasi tersebut, jurnal merupakan salah satu cara yang paling efektif. Halini tampak jelas bahwa jurnal yang terbit (Prisma, Pesantren,Ulumul Qur’an, Al-Hikmah) selalu memuat tulisan sang pemikirdan ilmuwan lainnya yang sesuai dengan misi jurnal tersebut. namun hampir dapatdipastikan pula, semua jurnal tersebut telah “almarhum” seiring dengan naiknyapamor sang intelektual yang membidaninya.
Dalam konteks ini, jurnal kemudianhanya menjadi saksi sejarah intelektual para pemikir era 1980-an. Tentu saja,tulisan-tulisan tersebut telah menjadi bahan penelitian bagi para pengkajiuntuk mendalami studi pemikiran Islam di Indonesia. tidak hanya disitu,jurnal-jurnal tersebut menjadi “barang wajib” bagi siapapun pemikir diIndonesia yang ingin dikenal pemikirannya oleh publik. Setelah mereka menempatiposisi strategis, jurnal ini menjadi terbengkalai. Jika dibandingan dengansejarah pemikiran Islam pada awal 1900-an, jurnal memang memainkan peranpenting. Setidaknya, transmisi pemikiran Islam lebih sering dikembangkanmelalui jurnal. Di Nusantara, nama-nama jurnal atau majalah yang memiliki peranpenting dalam pembaharuan pemikiran Islam adalah Al-Manar, Al-Imam,Al-Munir, Al-Muslimun, Ittihad, Seruan al-Azhar,Pilehan Timoer, al-Islah, Pembela Islam,al-Islam, dan lain sebagainya. 48Jadi,peran jurnal memang sangat memainkan peran penting dalam mensosialisasikanpemikiran dalam dunia Islam
sejalan dengan kenyataan di atas, saya akan menguraikan bagaiman peranpenting media dan penerbit buku dalam mensosialisasikan pemikiran Islam padaera 1980-an. Hal ini mengingat bahwa perdebatan memang sering muncul ketikaisu-isu pemikiran Islam dijadikan sebagai bahab media massa atau minat penerbitbuku untuk “menjualnya” ke publik. Dalam hal ini, saya akan menyoroti beberapamedia yang dipandang cukup berkopenten dalam menyebarkan isu-isu pemikiranIslam pada tahun 1980-an. Salah satu yang paling berjasa dalam menyebarkanpemikiran Islam pada awal 1980-an adalah majalah Tempo.
Majalah ini merupakan pers yang memiliki visi intelektual, atau tepatnya “visi pembaruan”,dan tampaknya visi itulah yang menjadi serangkaian nilai dasar sekaligusmenentukan visi penerbitan. 49Dalam konteks demikian, maka misi pembaruan pemikiran Islam yang diusung olehCak Nur senyawa dengan misi Tempo. Hampir dapat dikatakan bahwaide-ide Cak Nur menjadi sedemikian menggelembung adalah berkat upaya Tempo dalammempublikasikan pikiran-pikirannya. Karena itu, tidak mengherankan jika adayang mengatakan bahwa yang “membesaran Nurcholish itu pada hakekatnya Tempo”atau Tempo sebagai “corongnya Nurcholish Madjid.
dalam situasi di atas ada dua pihak yang merasa diuntungkan. Pada pihak CakNur, misalnya, dia akan mudah mensosialisasik pikiran-pikirannya ke khalayakramai. Sebab, Tempo merupakan majalah nasional yang mencakup seluruhIndonesia. Untuk ukuran saat itu, Tempo merupakan majalah yang banyakpembacanya. Karena itu, isu-isu pemikiran Islam sempat menjadi headline majalahini beberapa kali dalam yaitu edisi Mei 1971, April 1972, Juli 1972, Desember1972, Januari 1973, Juni 1986, dan April 1993. 51Padapihak lain, keuntungan Tempo juga mendapat isu yang layak untuk“dijual” ke pembaca setianya. Dalam hal ini, mantan redaktur Tempo,Yulizar Kasiri menandaskan bahwa “Tempo menangkap gagasan-gagasanneo-modernisme Islam seperti yang digulirkan Cak Nur hanya merupakan umpankepada masyarakat pembaca. Masalah diterima atau tidak, bukan urusan Tempo.Artinya, hal itu urusan atau hak masing-masing individu yang membacanya. Takada paksaan.” 52
Selain Tempo, majalah Panjimas (Panji Masyarakat) jugaikut berperan dalam perdebatan pemikiran Islam di Indonesia. Majalah iniberdiri pada pada 15 Juni 1959 oleh KH Faqih Usman, Hamka, dan Yunan Nasution, 53merupakan majalah yang selalu menebar nilai-nilai pembaruan pemikiran Islam.Majalah ini memang diasuh generasi tua seperti Hamka, yang tentu saja menentangpikiran Cak Nur. Namun, uniknya, majalah ini justru memuat tulisan-tulisan CakNur. 54Hal ini mengindikasikan bahwa Panjimas merupakan majalah yang menjadimotor penggerakn pembaruan Islam di Indonesia, sebab dia merupakankesinambungan dari majalah-majalah kelompok reformis sebelumnya yang telahberhasil membawa pembaharuan ke Indonesia. Selain itu, Panjimas merupakansemacam training intellectual bagi para aktifis pembaru pada tahun1970-an. Hal ini tampak jelas dari usaha para mahasiswa IAIN untuk bekerja atausekedar magang di kantor majalah ini. Pengalaman ini membawa kesan tersendiribagi pengembaraan intelektual mereka. Hampir dapat dipastikan para pemikirIslam tahun 1980-an dan 1990-an pernah “dekat” dengan Panjimas. Dalamhal ini, Fachry Ali menuturkan bagaimana dia merekrut kawan-kawannya yangsekarang ini telah menjadi “orang besar:”
Saya ingin menyebut Komaruddin Hidayat (kawan seangkatan), alm. IqbalAbdurrauf Saimima, Azyumardi Azra (kawan) yang atas kepercataan Pak RusjdiHamka, saya rekrut bekerja di Panji Masyarakat. Tetapi kehadiran sayadi majalah iti dibantu oleh (Kak) Farid Hadjiri. Beberapa penulis muda lainnya,seperti Sudirman Tebba (kini di ANTEVE). Asafri J. Bakrie, Bahtiar Effendy,Dazrizal, M. Amin Nurdin, Pipip Ahmad Rifa‘i turut dalam asuhan“intelektual” intelijensia IAIN.
Panjimas memiliki arti tersendiri bagi mereka yang sekarang menjadi“tokoh” di pentas publik Indonesia. Karena itu, tidak sedikit dari mereka, jikakita lihat riwayat hidupnya pernah menjadi wartawan/redaktur/kontributor Panjimas.Sayangnya, sampai sekarang belum ada kajian yang komprehensif yang menelititentang posisi Panjimas dalam percaturan intelektual di Indonesia.
Lebih lanjut, media yang paling “berjasa” dalam membentuk opini pemikiranIslam pada era 1980-an adalah koran Kompas. Tidak sedikit para sarjanayang “bermimpi” agar tulisannya dimuat dalam koran ini. Sebab, begitu tinggiimpak yang dirasakan oleh penulisnya. Karena itu, jika kita membaca buku-bukupara pemikir Islam era 1980-an, maka akan tampak jelas bahwa sumber tulisantersebut adalah Kompas. Hal ini menunjukkan betapa para sarjanatersebut memandangan Kompas sebagai media yang cukup handal agarpikirannya diterima secara menasional. 56Terhadap isu yang digulirkan oleh Cak Nur, Kompas memang tidak begitukentara, mengingat koran ini memang bukan milik Islam, namun belakangan hampirdapat dipastikan, Kompas selalu memuat pikiran “cerdas” yang berbaupemikiran Islam. Sampai sekarang, Kompas memang sangat berperan dalammenerbitkan tulisan-tulisan kelompok yang “sepaham” dengan Cak Nurcholis Madjid
Setelah media di atas, salah satu penerbit yang cukup berjasa dalammemperkenalkan warna pemikiran Islam pada tahun 1980-adalah Mizan.Penerbit yang berdiri pada tahun 1983 dipimpin oleh Haidar Bagir ini memangselalu menjadi penerbit terdepan dalam mempublikasikan karya-karya pemikirIslam, baik dalam maupun luar negeri. Dalam konteks ini, buku-buku tentangcendekiawan Muslim sempat mengalami beberapa cetak ulang yang pada gilirannyamenyiratkan bahwa buku-buku tersebut memang dinanti oleh pembaca. Kendati belumada penelitian yang mengangkat bagaimana peran Mizan, namun sayaberkeyakinan bahwa buku-buku penerbit ini selalu menjadi incaran untukmendapatkan informasi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.
Sebagai bukti,penerbit ini telah menerbitkan seperti karya Cak Nur, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Harun Nasution Islam Rasional, M. Dawam Rahardjo IntelektualIntelegensia dan Perilaku Politik, Jalaluddin Rakhmat Islam Aktual,M. Amien Rais Cakrawala Islam, Ahmad Syafii Maarif Peta BumiIntelektualisme Islam Indonesia, dan M. Quraish Shihab “Membumikan”Al-Qur’an, dan lain sebagainya. Karya-karya tersebut sering menjadirujukan ketika seseorang ingin membedah pemikiran Islam pada era 1980-an. Padaera 1990-an pun, tidak sedikit karya-karya pemikir Islam yang diterbitkan olehpenerbit Mizan. Hal ini menampakkan betapa jasa Mizan dalammemperkenalkan pemikiran masing-masing tokoh perlu dipertimbangkan gunamemahami bagaimana pemikiran tersebut mampu menjalar setiap lorong-lorongperdebatan di sudut diskusi, seminar, penelitian, dan bedah buku
beberapa media yang cukup berjasa dalam menyebarkan pemikiran Islam yangdigagas oleh para pemikir pada era 1980-an. hampir dapat dipastikan bahwa mediadi atas masih sangat instant dikatakan sebagai pelopor, namun upayaserius mereka dalam bahu membahu menerbitkan karya-karya pemikir tersebut perluditelaah lebih lanjut. Karena itu, media massa dan penerbitan merupakan faktorpenting dalam menyebarkan setiap isu yang ingin diterima oleh khalayak. Mediadi atas memang terkadang punya orientasi akademik dan bisnis yang ingin dipacudalam satu helaan nafas, yang karenanya, impaknya pun dapat dirasakan oleh tigapihak sekaligus, yaitu: sang pemikir (penulis), media itu sendiri, dan audience(pembaca). Karena itu, rentak dan langgam pemikiran Islam di Indonesiaberkembangan pesat. Hal inilah menyebabkan para peneliti asing selalumemperhatikan peran media dalam mengkaji dinamika keislaman di Indonesia,termasuk pemikiran. 57
Lebih lanjut, dalam melacak pembaharuan pemikiran Islam pada era 1980-an,ada cendekiawan yang menurut saya cukup “berjasa” yaitu Fachry Ali dan M. DawamRahardjo. Kedua ilmuwan inilah melebarkan sayap-sayap pemikiran yang digulirkanoleh Cak Nur. Fachry Ali misalnya, seorang pengamat/peneliti/cendekiawan Muslimyang memang sejak tahun 1970-an berusaha “membumikan” pikiran Cak Nur. Dan,harus diakui bahwa Fachry merupakan senior bagi generasi pemikir 1990-an,khususnya alumni IAIN Ciputat. Dengan kata lain, Fachry mengajak kawan-kawannyabaik yang seangkatan maupun juniornya (seperti Azyumardi Azra, KomaruddinHidayar, Bahtiar Effendy , Badri Yatim, Hadimulyo,) untuk melakukan intellectualcommunity di Ciputat yang didasarkan pada pikiran Cak Nur. Sehingga, tidakmengherangkan, jika kemudian Fachry melibatkan beberapa di antara mereka padadunia tulis menulis. Ini merupakan salah satu cara untuk “Nurcholish Madjidkolektif.” 58
Belakangan, muncul lagi tokoh mudayang sudah S-2 dan S-3 seperti Ali Muhannif, Ihsan Ali-Fauzi, Ahmadi Thaha,Nanang Tahqiq, Saiful Muzani, Muhammad Wahyuni Nafis, Nasrullah Ali Fauzi, yangterlibat dalam program dari gagasan Fachry ini. Hasilnya memang terlihat bahwanama-nama tersebut sering menjadi penerjemah, editor, penulis, dan kontributorbeberapa buku yang terbit pada tahun 1980-an, 1990-an, dan 2000-an. BahkanAzyumardi Azra yang sekarang menjadi “star” dalam berbagai forumilmiah pernah mengedit buku Fachry Ali dan “terkagum-kagum” dengan anak mudaAceh ini. 59 Dengandemikian, “jasa” ini memang telah berhasil menempatkan mereka semua sebagaipendukung setia Cak Nur.
Adapun M. Dawam Rahardjo merupakan sosok yang “unik” sebab dia mampumenerjemah dan mengajak pendudung Cak Nur ini ke lapangan. Dia sering merekrutalumni IAIN untuk bergabung baik dalam LSAF, LP3ES, P3M untuk melakakunanberbagai program penelitian/kajian/seminar/lokakarya/penerbitan yang melibatkannama-nama di atas. Dengan kata lain, Dawam seolah-olah menyediakan media bagimereka untuk meluahkan semangat intelektual guna melihat kehidupan yang real dilapangan. Karena itu, jika Cak Nur mencetuskan ide, maka prakteknya ada padasosok Dawam ini.
Melalui Prisma, dia ingin mengajak ilmuwan Muslimberkenalan dengan tema-tema sosial yang lebih bersifat empiris. Demikian juga,lewat Ulumul Qur’an, Dawam mengundang sejumlah ahli untuk ikut mengisijurnal ini dengan tema-tema actual dalam pemikiran Islam kontemporer. Bagaimanaperan Dawan, dapat dilihat dapat setiap terbit jurnal ini, dia selalu memberikanpengantar pendek secara filosofis tentang tema yang akan diangkat. Adapunmelalui Pesantren, Dawam seakan-akan ingin mengajak pembaca untuk ikut“menyelami” dunia pesantren yang belakangan banyak menelurkan pemikir Islam diIndonesia. Karena itu, Dawam dapat diibaratkan sebagai seorang yangmemperkenalkan pemikiran tokoh-tokoh Islam di Indonesia, setidaknya dapatdilihat dari frekwensi dia menulis pengantar untuk setiap buku yang ditulisoleh pemikir Islam. 60
Demikianlah beberapa ulasan awal untuk memahami akar pembaruan pemikiranIslam era 1980-an. Uraian di atas dapat diikat menjadi empat hal utama. Pertama,terdapat kesinambungan antara pemikiran era 1970-an dan 1980-an yang padaurutannya berpengaruh pada era 1990-an. Paling tidak, kajian di atasmenampakkan bagaimana tokoh-tokoh generasi Harun Cs. memberikan arah pemikiranyang cukup liberal bagi generasi selanjutnya. Kedua, peran Cak Nurdengan ide sekularisasinya disambut baik oleh generasi muda saat itu.
Kendati awalnya merupakan respon terhadap cara keberagamaan umat Islam, khususnya dalambidang politik, ide Cak Nur seakan-akan menjadi snow ball yang terusmenggelinding dan secara apik dikembangkan oleh Fachry Ali melalui “dunia tulismenulis” dan Dawam yang menyediakan media untuk sosialisasi pikiran-pikiranprogressif generasi muda tersebut. Ketiga, harus diakui bahwa sedikitsarjana yang melihat bagaimana kontribusi penerbit dan media massa dalammemperkenalkan pemikiran tokoh-tokoh Islam saat itu. Karena itu, seyogyanyadipikirkan betapa elemen ini tidak dapat dipisahkan dari dunia pemikiran Islamdi Indonesia. Keempat, setiap pemikiran Islam di Indonesia, khususnyapada era 1980-an memiliki kekhasan masing-masing
Di saring dari berbagai sumber , Hartini Wirafajar ( alumni Filsafat AFIAIN Suka 1996)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H