Intelektual Inteligensia
, P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Lembaga inididirikan pada tahun 1983 yang dipimpin Masdar F. Mas’udi yang bertujuan untukmenyediakan bentuk dukungan intelektual pada elemen-elemen pembaruan di duniapesantren. 44Secara kelembagaan pendiri lembaga ini juga mereka yang terlibat dalam proyekLP3ES, tetapi P3M lebih merupakan usaha bersama kalangan NU dan Masyumi, tanpakehadiran beberapa intelektual “sekuler” dan non-Muslim sebagai yang terdapatdalam LP3ES. 45
Kajian yang dikembangkan oleh P3M memang agal berlainan saat itu, dia berusaha“mendobrak” tradisi lama yang sekian lama terkunkung oleh teks-teks klasik.Karena itu, pikiran-pikiran tokoh-tokoh P3M (mis. Masdar dan Gur Dur) seringmencerminkan kelanjutan dari pikiran Cak Nur. Disamping itu, lembaga ini juga menerbitkan jurnal empat bulanan Pesantren yangmemuat infomarsi “terkini” tentang dunia pesantren dan hal-hal lain yangterkait dengan misi P3M. Menurut Martin Van Bruinessen, majalan Prisma telahmeransang sikap yang lebih kritis terhadap studi-studi scriptural tradisionaldengan menyertai setiap isu yang diangkat dengan tinjauan pustaka secara kritisterhadap sebuah kitab kuning
PPSK (Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan). Organisasi ini memang lahiragak belakangan, dibandingkan “kawan-kawannya” di atas. Berbeda dengan mereka,organisasi ini lahir di Yogyakarta menjelang kelahiran ICMI. Disini melahirkanfigur M. Amien Rais dan beberapa sarjana dari kampus UGM lainnya (mis. WatikPratiknya, Kuntowijoyo, Sofyan Effendy, Jamaluddin Ancok, Ichasul Amal, YahyaMuhaimin, Dochak Latif, Chairul Anwar, (alm.) Affan Gaffar). Menurut Amien,lembaga ini lahir yang dilatarbelakangi oleh hasrat sejumlah cendekiawanYogyakarta untuk membentuk sebuah “dapur pemikiran bagi umat Islam.” 47
Lembaga ini memang menjadi semacam think thank bagi kelahiran ICMIyang belakangan tempat berkumpulnya berbagai sarjana Muslim Indonesia. Kecualiitu, lembaga ini juga menerbitkan jurnal kwartalan Prospektif yangmemuat tulisan para staf PPSK. Harus diakui, bahwa jaringan PPSK ini banyaksekali mewarnai konstelasi pemikiran Islam dalam bidang sosial-politik. Karenaitu, tidak dapat diabaikan bahwa langgam pemikiran yang dikembangkan memangagak senafas dengan organisasi di atas, kendati eksponennya bukan dari kalanganIAIN
Demikan paparan lengkap beberapa lembaga yang menjadi “kendaraan” bagi“penumpangnya.” Dari sini terlihat bahwa gerak pemikiran Islam di Indonesiamemang selalu terkait dengan lembaga yang menjadi paying sang-pemikir tersebut.Kendati Cak Nur merupakan ilmuwan dari IAIN dan LIPI, namun publik lebih mengenalnyamelalui Paramadina. Karena itu, “kendaraan” ini mampu memberikan implikasiserius bagi yang “menumpangnya.”
Dari Paramadina misalnya, sosok KomaruddinHidayat, telah berhasil menjadi pemikir Islam garda depan pada era 1990-an.demikian juga, LP3ES telah menyebabkan Fachry Ali sedemikian ahli dalam bidangilmu-ilmu sosial, kendati dia lulusan IAIN Jakarta. Di P3M, tranmisiintelektual di kalangan NU sedemikian menggema sehingga, sampai sekaranglembaga ini telah cukup sukses dalam mencetak kadernya pada era 2000-an (mis.Zuhairi Misrawi). Di samping itu, peran LSAF juga telah menaikkan pamorbeberapa pemikir muda yang dulunya mereka hanya sebagai penerjemah, editor ataupenulis lepas di koran dan jurnal. Dari sini muncul Saiful Muzani Cs, yang padaakhirnya lebih banyak berkiprah di PPIM, sebuah lembaga yang digagas olehAzyumardi Azra
setiap “kendaraan” tentu memiliki daya tarik tersendiri yang membuat para“penumpangnya” betah untuk naik di dalamnya. Dalam konteks ini, hampir dapatdipastikan bahwa dalam rangka mensosialisasikan pikiran pemikir dalamorganisasi tersebut, jurnal merupakan salah satu cara yang paling efektif. Halini tampak jelas bahwa jurnal yang terbit (Prisma, Pesantren,Ulumul Qur’an, Al-Hikmah) selalu memuat tulisan sang pemikirdan ilmuwan lainnya yang sesuai dengan misi jurnal tersebut. namun hampir dapatdipastikan pula, semua jurnal tersebut telah “almarhum” seiring dengan naiknyapamor sang intelektual yang membidaninya.
Dalam konteks ini, jurnal kemudianhanya menjadi saksi sejarah intelektual para pemikir era 1980-an. Tentu saja,tulisan-tulisan tersebut telah menjadi bahan penelitian bagi para pengkajiuntuk mendalami studi pemikiran Islam di Indonesia. tidak hanya disitu,jurnal-jurnal tersebut menjadi “barang wajib” bagi siapapun pemikir diIndonesia yang ingin dikenal pemikirannya oleh publik. Setelah mereka menempatiposisi strategis, jurnal ini menjadi terbengkalai. Jika dibandingan dengansejarah pemikiran Islam pada awal 1900-an, jurnal memang memainkan peranpenting. Setidaknya, transmisi pemikiran Islam lebih sering dikembangkanmelalui jurnal. Di Nusantara, nama-nama jurnal atau majalah yang memiliki peranpenting dalam pembaharuan pemikiran Islam adalah Al-Manar, Al-Imam,Al-Munir, Al-Muslimun, Ittihad, Seruan al-Azhar,Pilehan Timoer, al-Islah, Pembela Islam,al-Islam, dan lain sebagainya. 48Jadi,peran jurnal memang sangat memainkan peran penting dalam mensosialisasikanpemikiran dalam dunia Islam
sejalan dengan kenyataan di atas, saya akan menguraikan bagaiman peranpenting media dan penerbit buku dalam mensosialisasikan pemikiran Islam padaera 1980-an. Hal ini mengingat bahwa perdebatan memang sering muncul ketikaisu-isu pemikiran Islam dijadikan sebagai bahab media massa atau minat penerbitbuku untuk “menjualnya” ke publik. Dalam hal ini, saya akan menyoroti beberapamedia yang dipandang cukup berkopenten dalam menyebarkan isu-isu pemikiranIslam pada tahun 1980-an. Salah satu yang paling berjasa dalam menyebarkanpemikiran Islam pada awal 1980-an adalah majalah Tempo.
Majalah ini merupakan pers yang memiliki visi intelektual, atau tepatnya “visi pembaruan”,dan tampaknya visi itulah yang menjadi serangkaian nilai dasar sekaligusmenentukan visi penerbitan. 49Dalam konteks demikian, maka misi pembaruan pemikiran Islam yang diusung olehCak Nur senyawa dengan misi Tempo. Hampir dapat dikatakan bahwaide-ide Cak Nur menjadi sedemikian menggelembung adalah berkat upaya Tempo dalammempublikasikan pikiran-pikirannya. Karena itu, tidak mengherankan jika adayang mengatakan bahwa yang “membesaran Nurcholish itu pada hakekatnya Tempo”atau Tempo sebagai “corongnya Nurcholish Madjid.