dalam situasi di atas ada dua pihak yang merasa diuntungkan. Pada pihak CakNur, misalnya, dia akan mudah mensosialisasik pikiran-pikirannya ke khalayakramai. Sebab, Tempo merupakan majalah nasional yang mencakup seluruhIndonesia. Untuk ukuran saat itu, Tempo merupakan majalah yang banyakpembacanya. Karena itu, isu-isu pemikiran Islam sempat menjadi headline majalahini beberapa kali dalam yaitu edisi Mei 1971, April 1972, Juli 1972, Desember1972, Januari 1973, Juni 1986, dan April 1993. 51Padapihak lain, keuntungan Tempo juga mendapat isu yang layak untuk“dijual” ke pembaca setianya. Dalam hal ini, mantan redaktur Tempo,Yulizar Kasiri menandaskan bahwa “Tempo menangkap gagasan-gagasanneo-modernisme Islam seperti yang digulirkan Cak Nur hanya merupakan umpankepada masyarakat pembaca. Masalah diterima atau tidak, bukan urusan Tempo.Artinya, hal itu urusan atau hak masing-masing individu yang membacanya. Takada paksaan.” 52
Selain Tempo, majalah Panjimas (Panji Masyarakat) jugaikut berperan dalam perdebatan pemikiran Islam di Indonesia. Majalah iniberdiri pada pada 15 Juni 1959 oleh KH Faqih Usman, Hamka, dan Yunan Nasution, 53merupakan majalah yang selalu menebar nilai-nilai pembaruan pemikiran Islam.Majalah ini memang diasuh generasi tua seperti Hamka, yang tentu saja menentangpikiran Cak Nur. Namun, uniknya, majalah ini justru memuat tulisan-tulisan CakNur. 54Hal ini mengindikasikan bahwa Panjimas merupakan majalah yang menjadimotor penggerakn pembaruan Islam di Indonesia, sebab dia merupakankesinambungan dari majalah-majalah kelompok reformis sebelumnya yang telahberhasil membawa pembaharuan ke Indonesia. Selain itu, Panjimas merupakansemacam training intellectual bagi para aktifis pembaru pada tahun1970-an. Hal ini tampak jelas dari usaha para mahasiswa IAIN untuk bekerja atausekedar magang di kantor majalah ini. Pengalaman ini membawa kesan tersendiribagi pengembaraan intelektual mereka. Hampir dapat dipastikan para pemikirIslam tahun 1980-an dan 1990-an pernah “dekat” dengan Panjimas. Dalamhal ini, Fachry Ali menuturkan bagaimana dia merekrut kawan-kawannya yangsekarang ini telah menjadi “orang besar:”
Saya ingin menyebut Komaruddin Hidayat (kawan seangkatan), alm. IqbalAbdurrauf Saimima, Azyumardi Azra (kawan) yang atas kepercataan Pak RusjdiHamka, saya rekrut bekerja di Panji Masyarakat. Tetapi kehadiran sayadi majalah iti dibantu oleh (Kak) Farid Hadjiri. Beberapa penulis muda lainnya,seperti Sudirman Tebba (kini di ANTEVE). Asafri J. Bakrie, Bahtiar Effendy,Dazrizal, M. Amin Nurdin, Pipip Ahmad Rifa‘i turut dalam asuhan“intelektual” intelijensia IAIN.
Panjimas memiliki arti tersendiri bagi mereka yang sekarang menjadi“tokoh” di pentas publik Indonesia. Karena itu, tidak sedikit dari mereka, jikakita lihat riwayat hidupnya pernah menjadi wartawan/redaktur/kontributor Panjimas.Sayangnya, sampai sekarang belum ada kajian yang komprehensif yang menelititentang posisi Panjimas dalam percaturan intelektual di Indonesia.
Lebih lanjut, media yang paling “berjasa” dalam membentuk opini pemikiranIslam pada era 1980-an adalah koran Kompas. Tidak sedikit para sarjanayang “bermimpi” agar tulisannya dimuat dalam koran ini. Sebab, begitu tinggiimpak yang dirasakan oleh penulisnya. Karena itu, jika kita membaca buku-bukupara pemikir Islam era 1980-an, maka akan tampak jelas bahwa sumber tulisantersebut adalah Kompas. Hal ini menunjukkan betapa para sarjanatersebut memandangan Kompas sebagai media yang cukup handal agarpikirannya diterima secara menasional. 56Terhadap isu yang digulirkan oleh Cak Nur, Kompas memang tidak begitukentara, mengingat koran ini memang bukan milik Islam, namun belakangan hampirdapat dipastikan, Kompas selalu memuat pikiran “cerdas” yang berbaupemikiran Islam. Sampai sekarang, Kompas memang sangat berperan dalammenerbitkan tulisan-tulisan kelompok yang “sepaham” dengan Cak Nurcholis Madjid
Setelah media di atas, salah satu penerbit yang cukup berjasa dalammemperkenalkan warna pemikiran Islam pada tahun 1980-adalah Mizan.Penerbit yang berdiri pada tahun 1983 dipimpin oleh Haidar Bagir ini memangselalu menjadi penerbit terdepan dalam mempublikasikan karya-karya pemikirIslam, baik dalam maupun luar negeri. Dalam konteks ini, buku-buku tentangcendekiawan Muslim sempat mengalami beberapa cetak ulang yang pada gilirannyamenyiratkan bahwa buku-buku tersebut memang dinanti oleh pembaca. Kendati belumada penelitian yang mengangkat bagaimana peran Mizan, namun sayaberkeyakinan bahwa buku-buku penerbit ini selalu menjadi incaran untukmendapatkan informasi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.
Sebagai bukti,penerbit ini telah menerbitkan seperti karya Cak Nur, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Harun Nasution Islam Rasional, M. Dawam Rahardjo IntelektualIntelegensia dan Perilaku Politik, Jalaluddin Rakhmat Islam Aktual,M. Amien Rais Cakrawala Islam, Ahmad Syafii Maarif Peta BumiIntelektualisme Islam Indonesia, dan M. Quraish Shihab “Membumikan”Al-Qur’an, dan lain sebagainya. Karya-karya tersebut sering menjadirujukan ketika seseorang ingin membedah pemikiran Islam pada era 1980-an. Padaera 1990-an pun, tidak sedikit karya-karya pemikir Islam yang diterbitkan olehpenerbit Mizan. Hal ini menampakkan betapa jasa Mizan dalammemperkenalkan pemikiran masing-masing tokoh perlu dipertimbangkan gunamemahami bagaimana pemikiran tersebut mampu menjalar setiap lorong-lorongperdebatan di sudut diskusi, seminar, penelitian, dan bedah buku
beberapa media yang cukup berjasa dalam menyebarkan pemikiran Islam yangdigagas oleh para pemikir pada era 1980-an. hampir dapat dipastikan bahwa mediadi atas masih sangat instant dikatakan sebagai pelopor, namun upayaserius mereka dalam bahu membahu menerbitkan karya-karya pemikir tersebut perluditelaah lebih lanjut. Karena itu, media massa dan penerbitan merupakan faktorpenting dalam menyebarkan setiap isu yang ingin diterima oleh khalayak. Mediadi atas memang terkadang punya orientasi akademik dan bisnis yang ingin dipacudalam satu helaan nafas, yang karenanya, impaknya pun dapat dirasakan oleh tigapihak sekaligus, yaitu: sang pemikir (penulis), media itu sendiri, dan audience(pembaca). Karena itu, rentak dan langgam pemikiran Islam di Indonesiaberkembangan pesat. Hal inilah menyebabkan para peneliti asing selalumemperhatikan peran media dalam mengkaji dinamika keislaman di Indonesia,termasuk pemikiran. 57
Lebih lanjut, dalam melacak pembaharuan pemikiran Islam pada era 1980-an,ada cendekiawan yang menurut saya cukup “berjasa” yaitu Fachry Ali dan M. DawamRahardjo. Kedua ilmuwan inilah melebarkan sayap-sayap pemikiran yang digulirkanoleh Cak Nur. Fachry Ali misalnya, seorang pengamat/peneliti/cendekiawan Muslimyang memang sejak tahun 1970-an berusaha “membumikan” pikiran Cak Nur. Dan,harus diakui bahwa Fachry merupakan senior bagi generasi pemikir 1990-an,khususnya alumni IAIN Ciputat. Dengan kata lain, Fachry mengajak kawan-kawannyabaik yang seangkatan maupun juniornya (seperti Azyumardi Azra, KomaruddinHidayar, Bahtiar Effendy , Badri Yatim, Hadimulyo,) untuk melakukan intellectualcommunity di Ciputat yang didasarkan pada pikiran Cak Nur. Sehingga, tidakmengherangkan, jika kemudian Fachry melibatkan beberapa di antara mereka padadunia tulis menulis. Ini merupakan salah satu cara untuk “Nurcholish Madjidkolektif.” 58
Belakangan, muncul lagi tokoh mudayang sudah S-2 dan S-3 seperti Ali Muhannif, Ihsan Ali-Fauzi, Ahmadi Thaha,Nanang Tahqiq, Saiful Muzani, Muhammad Wahyuni Nafis, Nasrullah Ali Fauzi, yangterlibat dalam program dari gagasan Fachry ini. Hasilnya memang terlihat bahwanama-nama tersebut sering menjadi penerjemah, editor, penulis, dan kontributorbeberapa buku yang terbit pada tahun 1980-an, 1990-an, dan 2000-an. BahkanAzyumardi Azra yang sekarang menjadi “star” dalam berbagai forumilmiah pernah mengedit buku Fachry Ali dan “terkagum-kagum” dengan anak mudaAceh ini. 59 Dengandemikian, “jasa” ini memang telah berhasil menempatkan mereka semua sebagaipendukung setia Cak Nur.
Adapun M. Dawam Rahardjo merupakan sosok yang “unik” sebab dia mampumenerjemah dan mengajak pendudung Cak Nur ini ke lapangan. Dia sering merekrutalumni IAIN untuk bergabung baik dalam LSAF, LP3ES, P3M untuk melakakunanberbagai program penelitian/kajian/seminar/lokakarya/penerbitan yang melibatkannama-nama di atas. Dengan kata lain, Dawam seolah-olah menyediakan media bagimereka untuk meluahkan semangat intelektual guna melihat kehidupan yang real dilapangan. Karena itu, jika Cak Nur mencetuskan ide, maka prakteknya ada padasosok Dawam ini.