Suatu hari di bulan Juni. Hari itu seusai imtihan mapel bahasa Inggris, aku bergegas menuju gerbang, berjalan ke terminal bus hendak pulang. Kebetulan kost saya lumayan jauh dari kampus.
Oh iya, bahasa Inggris adalah salah satu mapel yang paling aku takuti di ujian, sebenarnya bukan karena susah, hanya saja aku sadar kapasitasku perihal itu sangat dibawah standard sekali. Tapi Alhamdulillah, yang aku takutkan itu ternyata tidak semengerikan yang aku bayangkan. Jadi teringat dahulu waktu di pondok ketika pelajaran bahasa Inggris selalu saja mencari alasan untuk permisi.
“Buk...?” Sapaku berdiri dari bangku, ibu guru sedang menulis di papan tulis.
“Iya, ada apa?” Ibu guru berhenti menulis dan menoleh ke belakang, melihatku.
“Permisi, Bu, izin ke kamar mandi.” Pintaku mengangkat tangan.
“Ke kamar mandi?” Tanya ibu itu mengernyitkan dahi.
“Iya, Bu,” Jawab saya sedikit memelas. “Kamu tidak lihat, ibu baru aja mulai menjelaskan pelajaran, dan kamu mau permisi?” Tanya ibu itu kembali, sepertinya kesal, tapi Ibu guru ini baik sekali, tidak pernah marah. Baik sekali. Semoga ibu sehat-sehat selalu.
“Yaudah, jangan lama-lama, ya!”
Lanjut ibu itu memberi izin. Saya memperbaiki sarung dan segera beranjak. Padahal pelajaran kurikulum hanya dua hari dalam seminggu. Dan itupun selalu saja mencari-cari alasan untuk permisi. Ya Allah aku menyesal. Sekarang menyesal pun sudah tidak berguna lagi. Hehe. Dasar.
Buat adik-adik yang malas belajar bahasa Inggris, yang katanya susahlah, munafiklah; beda tulisan beda bacaan, yang inilah itulah, buang semua alasan naif itu, kelak engkau akan tahu seberapa pentingnya Bahasa Inggris itu. Sangat penting. Tapi kan saya nggak berniat lanjut kuliah, Bang? Ngapain capek-capek belajar Bahasa Inggris? Iya, walaupun begitu, nanti kamu juga akan tahu. Yaudah, Bang, nantinya aja tahunya, yang penting saya malas belajar Bahasa Inggris. Oke, terserah kamulah, Dek!
Sesampai di depan gerbang kampus saya bergegas menyeberang, karena posisi gerbang kampusnya berada di samping dua jalan raya yang berlawanan arah. Harus hati-hati, banyak pengendara berlalu lalang. Saya menyeberang mengikuti penyeberang lainnya. Cuaca hari itu sangat gerah sekali, musim panas sudah kembali.
Setiba di seberang jalan, di bawah terik matahari, di samping trotoar jalan, di depan gerbang kampus, di antara orang-orang yang berlalu lalang, saya memandangi ke depan, memerhatikan jalan, tiba-tiba saja mata saya tertuju pada seseorang sedang berjalan dari sekian banyak orang-orang yang berlalu lalang, indra mengarah kepadanya. Ia komat-kamit, mungkin sedang muroja'ah hafalan atau mungkin menghafal matan-matan, dan mungkin juga sholawatan.
Dalam hati bergumam, “Kok nggak asing, ya? Sepertinya... Itu...? Saya menerka-nerka dan masih terus berjalan. Jantung berdebar. Ada apa? Siapa? Setelah jarak mulai dekat seketika saja aku senang gak kepalang, hatiku senang sekali. Hampir saja langkah-langkahku salah menjejaki. Bukan karena ada sepucuk surat yang datang, bukan pula karena ada kabar yang menggembirakan, juga bukan karena perihal imtihan, terlebih-lebih bukan pula karena ada sebuah penawaran, bukan, sama sekali bukan.
Kesenangan itu mungkin tak bisa kudeskripsikan secara lugas, juga kemungkinan tak bisa kuungkapkan dengan luas. Akan tetapi kesenangan itu bisa membuatku mengucapkan 'Alhamdulillah' berulang kali, sampai-sampai tak bisa kuhitung berapa jumlahnya lagi. Spontan aku mendongak, respect, melihat ke atas, memandangi awan, memerhatikan gurat mega yang indah: bersih, cerah, fatamorgana. Lalu aku memicingkan pandangan ke arah taman yang luas di pinggir jalan. Pohon-pohon nampak indah, hatiku berucap takjub,
“Maa Syaa Allah. Sebegitu mudahnya bagi Allah membolak-balikkan suasana hati.”
Aku tersenyum sembari terus mengucapkan 'Alhamdulillah' aku mengusap wajah lalu kembali memerhatikan jalan dan terus melangkah menuju terminal.
Hingga dari hal itu aku tersadar bahwa standar kesenangan dan kebahagiaan orang itu berbeda-beda. Contohnya apa yang aku alami hari itu. Aku bersyukur tolok ukur dan standarisasi bahagiaku tidaklah mahal, yang mana harus pergi ke tempat ini, tempat itu, makan kesini, makan kesana, makan disini makan disana, jalan-jalan kesini, jalan-jalan kesana yang jelas itu membutuhkan lebih banyak modalnya.
Saat ini, modal bahagiaku tidaklah mengandalkan materi, sama sekali tidak, selain belajar bisa terus berlanjut, keluarga sehat-sehat semua, modal bahagiaku ini hanya bergantung pada kebaikan waktu dan kesempatan. Yang mana untuk mengaturnya yang bisa hanyalah Tuhan.
“Dah Bikam Ya ’Ammu?” (Ini berapa harganya, Paman?) Ujarnya mengeluarkan aqua kecil dari pendingin.
Ketika ia bertanya harga aqua itu, aku sudah tidak lagi melihatnya. Aku sudah melewatinya. Tetapi sebelum aku berpapasan dengannya, aku melihatnya menghentikan langkah di depan warung, membuka pendingin tepat di depanku, ia primadona sekali, lipatan jilbab yang melingkar di kepalanya membuat wajahnya semakin indah, aku terpana, dan aku menyukainya sejak pertama kali melihatnya, mungkin jatuh cinta pada pandangan pertama, namun mendengar istilah itu sudah terlalu ilfeel ditelinga dan tidak lagi bermakna, intinya aku menyukainya sejak empat tahun lalu.
Kami bertolak arah, kulihat ia di depanku merengkuh buku tebal di dekapnya, aku menyandang tas selempang yang berisi Al-Qur'an kecil, buku dan pulpen. Aku tidak tahu buku atau kitab apa persisnya yang ia bawa, mungkin saja diktat kuliah. Caranya membawa buku menambah rasa dihatiku padanya.
Aku terus berjalan menuju terminal, ia tertinggal, dan mungkin juga sudah beranjak dari warung, aku tidak tahu. Walau langkah sudah membentang jarak, namun suaranya masih jelas transparan di telingaku, menyelisik masuk ke sanubari, bahkan sampai di dalam bus pun suaranya masih saja bernada.
“Mungkin benar, rasa yang sungguh itu seperti ini” Batinku. Aku mengingat suaranya, ucapannya, aku mendengarnya, dan aku masih melihatnya di mataku. Suaranya mengalahkan bising jalanan, wajahnya membuat mataku seketika kehilangan apapun yang ada di depan. Yang ada hanyalah ia. Walau melihatnya beberapa detik saja, sudah membuatku bahagia. Tidak mudah untuk bisa melihatnya.
Ini ke-empat kalinya aku bisa melihatnya dalam beberapa tahun. Itu pun tanpa sengaja. Iya, dialah si seseorang yang dulu pernah tertulis di story cerpen 2019 silam. Yang mana cerpennya sudah saya privasikan. Malu membaca coretan-coretan yang bahasanya terlalu kaku. Hehe.
Alhamdulillah. Kuucapkan sekali lagi untuk waktu yang berpihak itu. Moga-moga esok atau lusa terulang lagi. Amin...
Semoga kemurahan Tuhan lagi-lagi didapati. Tetap semangat, jangan lupa ini masih awal permulaan imtihan. Jangan banyak tingkah, ingat kamu harus terus semangat belajar terutama muroja'ahnya. Jangan malas, ya! My Self.
Hatara
Cairo, 08 Juni 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H