Mohon tunggu...
Hatara
Hatara Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pemuda Cinta Qur'an

Kita hanya perlu sedikit lebih bersabar lagi, itu saja, sesudahnya akan bahagia. Dunia, hanyalah fatamorgana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diam Dalam Rasa yang Dalam

6 Agustus 2022   05:09 Diperbarui: 6 Agustus 2022   06:18 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiba di seberang jalan, di bawah terik matahari, di samping trotoar jalan, di depan gerbang kampus, di antara orang-orang yang berlalu lalang, saya memandangi ke depan, memerhatikan jalan, tiba-tiba saja mata saya tertuju pada seseorang sedang berjalan dari sekian banyak orang-orang yang berlalu lalang, indra mengarah kepadanya. Ia komat-kamit, mungkin sedang muroja'ah hafalan atau mungkin menghafal matan-matan, dan mungkin juga sholawatan.

Dalam hati bergumam, “Kok nggak asing, ya? Sepertinya... Itu...? Saya menerka-nerka dan masih terus berjalan. Jantung berdebar. Ada apa? Siapa? Setelah jarak mulai dekat seketika saja aku senang gak kepalang, hatiku senang sekali. Hampir saja langkah-langkahku salah menjejaki. Bukan karena ada sepucuk surat yang datang, bukan pula karena ada kabar yang menggembirakan, juga bukan karena perihal imtihan, terlebih-lebih bukan pula karena ada sebuah penawaran, bukan, sama sekali bukan.  

Kesenangan itu mungkin tak bisa kudeskripsikan secara lugas, juga kemungkinan tak bisa kuungkapkan dengan luas. Akan tetapi kesenangan itu bisa membuatku mengucapkan 'Alhamdulillah' berulang kali, sampai-sampai tak bisa kuhitung berapa jumlahnya lagi. Spontan aku mendongak, respect, melihat ke atas, memandangi awan, memerhatikan gurat mega yang indah: bersih, cerah, fatamorgana. Lalu aku memicingkan pandangan ke arah taman yang luas di pinggir jalan. Pohon-pohon nampak indah, hatiku berucap takjub,

“Maa Syaa Allah. Sebegitu mudahnya bagi Allah membolak-balikkan suasana hati.” 

Aku tersenyum sembari terus mengucapkan 'Alhamdulillah' aku mengusap wajah lalu kembali memerhatikan jalan dan terus melangkah menuju terminal. 

Hingga dari hal itu aku tersadar bahwa standar kesenangan dan kebahagiaan orang itu berbeda-beda. Contohnya apa yang aku alami hari itu. Aku bersyukur tolok ukur dan standarisasi bahagiaku tidaklah mahal, yang mana harus pergi ke tempat ini, tempat itu, makan kesini, makan kesana, makan disini makan disana, jalan-jalan kesini, jalan-jalan kesana yang jelas itu membutuhkan lebih banyak modalnya.

Saat ini, modal bahagiaku tidaklah mengandalkan materi, sama sekali tidak, selain belajar bisa terus berlanjut, keluarga sehat-sehat semua, modal bahagiaku ini hanya bergantung pada kebaikan waktu dan kesempatan. Yang mana untuk mengaturnya yang bisa hanyalah Tuhan.

“Dah Bikam Ya ’Ammu?” (Ini berapa harganya, Paman?)  Ujarnya mengeluarkan aqua kecil dari pendingin.

Ketika ia bertanya harga aqua itu, aku sudah tidak lagi melihatnya. Aku sudah melewatinya. Tetapi sebelum aku berpapasan dengannya, aku melihatnya menghentikan langkah di depan warung, membuka pendingin tepat di depanku, ia primadona sekali, lipatan jilbab yang melingkar di kepalanya membuat wajahnya semakin indah, aku terpana, dan aku menyukainya sejak pertama kali melihatnya, mungkin jatuh cinta pada pandangan pertama, namun mendengar istilah itu sudah terlalu ilfeel ditelinga dan tidak lagi bermakna, intinya aku menyukainya sejak empat tahun lalu. 

Kami bertolak arah, kulihat ia di depanku merengkuh buku tebal di dekapnya, aku menyandang tas selempang yang berisi Al-Qur'an kecil, buku dan pulpen. Aku tidak tahu buku atau kitab apa persisnya yang ia bawa, mungkin saja diktat kuliah. Caranya membawa buku menambah rasa dihatiku padanya.

Aku terus berjalan menuju terminal, ia tertinggal, dan mungkin juga sudah beranjak dari warung, aku tidak tahu. Walau langkah sudah membentang jarak, namun suaranya masih jelas transparan di telingaku, menyelisik masuk ke sanubari, bahkan sampai di dalam bus pun suaranya masih saja bernada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun