Sumber foto : kompas.com
beberapa dekade, kursi Ketua DPR RI selalu berada di tangan kader Partai Golkar, kecuali pada tahun 2009 yang dijabat dari Partai Demokrat, yaitu Marzuki Alie. Selain tahun tersebut, mulai dari Adam Malik tahun 1977 hingga 2016 ini, semua kursi Ketua DPR identik dengan partai berlambang Pohon Beringin tersebut.
Berbagai kebijakan pun telah dihasilkan dari jaman orde baru hingga reformasi, bahkan banyak kalangan menilai bahwa pembangunan Indonesia di jaman orde baru adalah karya dari para tangan dingin, kaum teknokrat, kader Golkar yang menduduki kursi DPR.
Meski di tahun 2009, bukan kader Golkar yang menjadi Ketua DPR, namun di deretan wakilnya ada nama Priyo Budi Santoso yang memegang amanah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Golkar pun menjadi partai penyeimbang yang mementingkan program pro kerakyatan.
Namun marwah kepemimpinan Ketua DPR mulai luntur saat kader Golkar Setya Novanto memegang jabatan tersebut. Tentunya kita masih ingat bagaimana kasus “papa minta saham” Setya saat mencoba memiliki sebagian saham PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Jokowi.
Alhasil, Setya pun menjadi Ketua DPR pertama yang disidang di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang memaksa dirinya harus meletakan jabatan Ketua DPR dan menyerahkannya kepada Ade Komarudin.
Akom berbeda latar belakang dengan kader Golkar lainnya yang rata-rata pengusaha, teknokrat atau akademisi. Akom adalah politisi murni berlatar belakang mantan aktivis HMI. Sebagai politisi, ia dikenal licin dan jago bermanuver.
Baru menjabat sebagai Ketua DPR, pria yang akrab disapa Akom ini sudah berulah, salah satunya dengan mengibarkan bendera perang dengan salah satu Waki Ketua DPR Fadli Zon. Akom menyebut istri Fadli kegenitan saat liburan ke Jepang melakukan selfie mengatasnamakan DPR.
Nampaknya banyak koleganya sesama anggota dewan tidak sepakat dengan jalan pemikiran Akom. Salah satunya soal pembangunan Perpustakaan DPR yang rencananya akan menghabiskan dana Rp 570 miliar. Sontak rencana ini pun mengundang kritik dari masyarakat karena perpustakaan yang ada di DPR sekarang dirasa masih sangat bagus. Penolakan juga datang dari internal DPR seperti Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI Achmad Dimyati.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengatakan untuk membangun perpustakaan, dana Rp 570 miliar sangat tidak masuk akal dan terkesan ada “permainan” dalam proyek tersebut. Terlebih lagi, moratorium gedung yang masih berlaku membuat pembangunan perpustakaan akan lebih sulit.
Selain Dimyati, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai uang Rp 570 miliar lebih baik digunakan untuk proyek yang lebih strategis yang bisa langsung dirasakan rakyat seperti program kesehatan dan pendidikan. Selain itu, menurutnya, perpustakaan yang ada sekarang hanya digunakan untuk staff dan anggota DPR jarang sekali berkunjung ke perpustakaan tersebut. Artinya, minat baca anggota yang masih rendah tidak relevan dengan pembangunan perpustakaan yang nilainya sangat besar.