Mohon tunggu...
Hasyim MQ
Hasyim MQ Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Buka Siapa-Siapa, Hanya Manusia Biasa. Anak Kecil yang Ingin Menikmati Masa Belajarnya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sudahkah Anda Memiliki ''Self Confidence''?

8 Januari 2018   13:32 Diperbarui: 8 Januari 2018   22:27 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi Islam saat ini mungkin tekaget-kaget dan agak sedikit menyangsikan sekaligus kecewa. Mereka kurang begitu beruntung, sebab mereka dilahirkan di masa di mana Islam menjadi sorotan. Jika sorotan  baik itu tidak masalah. Tapi jika sorotannya negative, tentu itu menjadi hal yang mengganggu dan mencemaskan. Apalagi jika sorotan itu menjadi penilaian yang terpolakan dan naik level menjadi identik yang tak terbantahkan. 

Kita mungkin secara teori dapat  membantah bahwa itu semua adalah hasil propaganda yang sudah tergendakan secara sistematis. Tapi, pada kenyaataannya, penilaian itu memang tidak benar-benar bisa terbantah, bahkan oleh  kita sendiri. Dan ini yang  kini menjadi titik jenuh yang jika tidak diantisipasi secara jernih dan bijak akan menjadi boomerang. Terjebak dalam problem identity yang penuh  dilema. Maju kena, mundur kena.

Saat ini image negative Islam akan  terus dibangun dan terbangun. Ketika berbicara kebersihan, Negara Muslim akan identik sebagai Negara sampah. Ketika bicara indeks korupsi, Negara Muslim masih terketegori sebagai zona tinggi korupsi. Ketika berbicara pengangguran, Negara Muslim masih terus identic memproduksi pengangguran. Ketika berbicara rating kualitas pendidikan Negara, Negara mereka masih terkategorikan sebagai Negara yang pendidikannya berkualitas buruk. Ketika berbicara angka melek huruf, Negara Muslim  masih menjadi Negara yang paling tidak sadar dengan kebutuhan melek huruf. Dan seterusnya.

Dari ketidakjelasan kondisi dan kemunduruna kualitas, sebagai orang Muslim tentu kita butuh solusi yang dapat mengatrol itu semua. Dibutuhkan solusi konkret dan tersistematis. Solusi yang dapat menggabungkan antara idealism, sikap, dan aksiIman, ilmu dan amal. Tanpa itu semua, agaknya kekalutan image itu susah untuk luntur dari identitas muslim kita. 

Tanpa adanya pengejawentahan antara idealism dan sikap, penilaian-penilaian negative akan terus melekat dan susah unntuk dilucuti dari tubuh identitas. Sudah menjadi barang tentu, dibutuhkan re-mindset secara radikal untuk memulai. Dan itu berawal dari kepercayaan diri atau 'self confdence' umat Muslim.

Jika diamati, sebenarnya kondisi umat Islam saat ini tidak jauh berbeda dengan Umat Islam pada saat awal nabi Muhammad diutus. Pada waktu itu mereka sedang mengalami keadaan yang memaksa mereka harus minder. Hanya sedikit yang masih kuasa untuk mendongak ataupun mensejajarkan kepala dengan bangsa-bangsa lain. Keberadaan umat Islam pada waktu itu dikepung oleh tiga peradaban besar yang maju disbanding  peradaban  mereka. Pengepungan tersebut hampir disegala aspek kehidupan, termasuk budaya, kultur, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Tiga peradaban besar itu adalah Romawi, Persi dan Yunani atau Hindi dalam sebagian literatur.

Atas keselarasan ini, Dr. KH. Abdul Gofur MA. pada waktu Masa Ta'aruf Pon-Pes mengatakan:

"...Saya melihat keadaan umat Islam saat ini sama dengan umat Islam saat di mana nabi diutus pada awal mulanya. Pada waktu itu, umat Islam sedang mengalami inferior complex. Mereka sedang merasa silau dengan bangsa lain yang secara peradaban mapan pada waktu itu. Namun berkat ketangguhan perjuangan  beliau, umat Islam pada waktu itu sanggup merasa sejajar denga bangsa lain. Dan mereka merasa bahwa semua bangsa dilahirkan secara 'Equal'. Pembagunan mental ini sendiri dilakukan nabi selama kurang lebih 23 tahun."

Alur solusi yang  diterapkan  nabi dalam membenahi 'Inferior Complex' umat Islam menempatkan  pembenahan  mental menjadi dasar dan pijakan bagi langkah  strategis selanjutnya, yaitu pengetahuan dan aksi. Sebelum melangkah dalam membenahi pengetahuan dan  aksi orang Islam, nabi ingin menciptakann pondasi-kokoh yang menjadi kunci bagi langkah-langkah tersebut. 

Nabipun  sangat menyadari bahwa langkah strategis selanjutnya susah dan tidak mungkin ditegakkan dan direlisaksian tanpa adanya "Kepercayaan Diri" menancap di sanubari umat Islam. Dengan  demikian  pembangunan mental menjadi  kartu truf bagi nabi untuk kegiatan strateigs lanjutan dalam membangun  peradaban.

Bagi masyrakat saat ini, potret keminderan dapat kita saksikan secara gambling dan gampang; Kita  dapat menyaksikan secara mudah  keminderan dan kerendahan diri masih menyelimuti orang-orang Islam, terutama Indonesia. Yang sederhana, jika ada orang Barat atau orang Eropa yang berkunjung, orang Idonesia umumnya menganggap mereka sebagai spesies unggul dan susah  ditandingi. 

Spesies orang-orang Barat di atas rata-rata yang sulit digapai oleh  bangsa lain. Bahkan yang lebih menggelikan, ada sebagian orang Indonesia yang berkunjung ke Prancis, tapi dia tidak sadar kalau dia adalah tourist. Dia masih masih mengira orang-orang Prancis yang ia temui adalah touris; dia beranggapan orang Prancislah tourist-nya, bukan dia, meskipun sebenarnya yang touristberkunjung itu dia bukan orang Prancis.

Atas dasar ini, penguasaan ilmu pengetahuan dan kuatnya sikap perubahan tidak bisa direalisasikan dengan baik tanpa ada acuan yang memadai tentang 'self confidence'. Self confidence-lah  yang mencri 'truf' bagi kemajuan peradaban. Dengan asumsi, kemegahan peradaban  tidak bisa disaksikan  tanpa adanya penguasaan pengetahuan. Sedangkan pengetahuan sendiri tidak bisa benar-benar dikuasai jika saja para generasi Islam tidak percaya bahwa mereka bisa menguasainya. 

Dengan demikian, jika permasalahan 'self confodence' sudah dapat diatasai, berarti pembangunan peradaban bangsa tersebut sudah maju satu langkah. Atau setidaknya, mereka sudah memiliki pondasi truf bagi kemajuan yang diidamkan  didambakan. Lantas jika memang seperti: sudahkah kita percaya dengan bangsa ini bisa bersaing  dengan bangsa lain? Lebih personal, sudahkah anda percaya bahwa anda bisa sejajar bahkan mengungguli bangsa lain? (*)

*Hasyim MQ. Essais, Kolomnis, Pegiat Literasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun