Di jaman orde baru (orba) dulu, kita hidup dalam sebuah ketakutan. Ada sebuah kekuasaan yang kita sama sekali nggak berani melawan, yaitu pemerintah yang dipimpin Soeharto. Jangankan yang secara terang-terangan, mengkritisi pemerintah melalui pertunjukan seni saja, sudah siap-siap didatangi intel dan ujung-ujungnya bakal dibawa ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Undang-Undang Subversif begitu menakutkan saat itu.
Itulah yang terjadi di jaman orba dulu. Kita nggak bisa menyampaikan perbedaan dengan pemerintah. Kita nggak bebas berekspresi. Kita nggak bisa mengkritik pemerintah. Kita nggak bisa ngomong sembarangan bahkan di warung kopi sekalipun. Jangankan ngomongin pemerintah, ngomongin keluarga Cendana saja, kita merasa takut ada intel yang lagi mendengarkan.
Itu berubah di jaman reformasi. Siapapun bisa berekspresi. Kita bisa beropini apa saja tentang siapa saja. Tak lagi masalah. Selama tidak menyampaikan kebohongan, kita bebas beropini.
Lalu waktu berjalan, kebebasan berekspresi kembali menemui penghalang. Ada sebuah ketakutan yang melebihi ketakutan terhadap pemerintahan orba dulu. Ketakutan yang membungkam banyak pihak karena risikonya adalah kekuatan massa.
Jika dulu kita berserikat, berkumpul, berkomunitas dan mempunyai perbedaan pendapat dengan pemerintah, siap-siap saja didatangi polisi atau ABRI. Sekarang, jika kita punya pendapat berbeda, siap-siap saja didatangi massa yang mungkin lebih menakutkan daripada didatangi polisi saat itu.
Siapakah kekuatan yang lebih menakutkan itu? Jawabannya: Islam. Oke, oke, oke, saya sendiri orang Islam. Dan nyatanya tak semua orang Islam seperti yang seperti itu. Hanya saja ada kelompok-kelompok yang mewakili Islam secara keseluruhan dan merasa berhak pamer kekuatan itu.
Contoh yang paling gampang adalah kasus Ahok. Hanya karena dia calon gubernur non-muslim yang kemungkinan menangnya paling tinggi (dan itu gubernur di ibukota negara), maka ketika ada sedikit saja salah bicara, sudah di-bully habis-habisan. Tak cukup itu, usaha menggerakkan umat Islam hingga mencapai 7 juta orang pun dilakukan. Ada sebuah upaya menekan hukum dengan kekuatan massa. Dan hukum tak berkutik.
Gerakan 7 juta orang saat itu memang hebat karena sama sekali tidak rusuh. Itu luar biasa bagus. Tapi sayangnya itu hanya membuat ketakutan untuk “bicara beda” itu semakin nyata. Lebih celaka lagi, gerakan itu semakin mengangkat kelompok intoleran seperti Front Pembela Islam (FPI). FPI semakin merasa menjadi ormas yang paling berkuasa di negeri ini. FPI merasa mewakili seluruh umat Islam Indonesia. Dan mungkin juga dia merasa mewakili Tuhan di muka bumi ini.
Jadi kenapa 7 juta orang Islam itu bisa damai, itu karena ya seperti itu sebenarnya mayoritas umat Islam, suka damai. Tapi 7 juta orang itu akhirnya diklaim untuk melakukan kekerasan atau bentrok dengan aparat ketika FPI demo dengan anggotanya saja.
Ada kasus lain misalnya soal bangun gereja. Bangun gereja dilarang, dipersulit, bahkan sampai bentrok dengan aparat. Bagi saya yang orang muslim saja, melarang orang bangun gereja itu nggak masuk akal. Kalau mau mereka tidak menjalankan agama lain (dalam hal ini Kristen atau Katolik), ya ajak mereka masuk Islam dengan baik, bukan mencegah mereka beribadah. Bagi saya, ibadah, bagaimanapun caranya, adalah hal-hal yang tidak bisa dicegah.
Kondisi ini bagi saya meresahkan. Ketakutan itu nyata. Bukan hanya orang non-muslim yang takut. Orang Islam yang tidak sependapat dengan mereka pun jadi takut. Karena risikonya adalah di-kafir-kan, di-munafik-kan, di-liberal-kan, di-yahudi-kan, di-komunis-kan atau julukan-julukan yang lain. Tentu saja termasuk tulisan ini.
Orang-orang Islam yang sependapat dengan tulisan ini, juga nggak berani menyampaikan pendapat ini, makanya tulisan ini harus ada. Dan kalau nanti rumah saya diserbu FPI, ya itu sama saja dengan mereka mengiyakan semua yang saya tulis di sini.
Jaman orba dulu, seniman seperti Butet Kertaredjasa nggak pernah takut sama pemerintah orba. Teater Gandrik-nya pun lantang menyuarakan kritiknya pada pemerintah meski dengan dipleset-plesetkan sedemikian rupa supaya tidak vulgar.
Di jaman reformasi, tentu Butet jauh lebih berani mengkritisi pemerintahan atau siapapun yang dianggap perlu dia kritik atau ejek (jadikan bahan guyon). Namun, menghadapi “Islam”, dia tak berkutik. Apalagi karena dia bukan orang muslim, maka kalau dia berani menyampaikan kritik melalui “lambe”-nya sendiri, dijamin langsung didemo. Makanya, selama ini paling beraninya cuma retwit-retwit dari akunnya orang Islam yang juga kurang setuju dengan Islam garis keras itu. Bayangkan, orang sekelas Butet aja dibuat tak berani menyampaikan pendapat.
Dunia stand-up comedy pun tak luput dari ketakutan seperti ini. Begitu membicarakan Islam, apalagi jadi guyonan, si comic bakal di-bully sana-sini.
Akhirnya, ketakutan ini akan mewabah ke segala bidang. Kita akan takut bicara tentang Islam karena takut ada "intel" di sekitar kita. Yang berani mengkritik, akan dituduh melecehkan agama, di-kafir-kan, akan dihabisi dan seterusnya.
Jadi jelas, bahwa kondisi saat ini lebih menakutkan dari jaman orba. Orang takut kalau sudah ngomongin Islam. Islam menjadi agama yang menakutkan, tidak ramah, mudah tersinggung, dan sulit memaafkan.
Padahal yang saya tahu, Islam itu agama yang sangat damai, keren dan asik. Umat Islam itu membanggakan saat menjadi minoritas, dan menentramkan saat menjadi mayoritas. Saya rindukan Islam yang cair, bisa diajak becanda, dan menyenangkan.
Pendapat ya dilawan dengan pendapat. Tulisan ya dilawan dengan tulisan. Guyonan, ajak guyon balik. Bukan dengan massa, apalagi kekerasan.
Lalu, akankah ketakutan ini akan kita biarkan terus menjadi bagian dari kehidupan bangsa ini? Atau kita biarkan saja seperti ini?
Mojokerto, 30 Maret 2017
@hasyimmah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H