Mohon tunggu...
Hasya Atqiya
Hasya Atqiya Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMAN 28 Jakarta

Bahasa Indonesia kelas XI MIPA 5

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Cerpen: Segores Coretan Beruang

22 November 2020   10:59 Diperbarui: 22 November 2020   11:09 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari mulai muncul dengan kehangatannya, diiringi dengan suara kicauan sekelompok burung pipit di dahan pohon. Dengan mengenakan topinya, Rara mengikat celemek hijau polos di pinggangnya dan siap untuk memulai rutinitas paginya. 

Sesungguhnya Rara adalah seorang yang tidak terbiasa dengan bangun pagi, tetapi ketika dia mengambil pekerjaan di kedai kopi untuk membantu orang tuanya dengan biaya kuliah, dia harus beradaptasi dengan kesibukannya di pagi hari.

 Bekerja di kedai kopi cukup mudah bagi Rara. Menerima pesanan, membuat kopi, kadang juga bersih-bersih jika ia mendapat shift malam, dan ia senang bekerja di sini karena toko-nya yang cukup dekat dengan kampusnya sehingga ia bisa sering berinteraksi dengan teman-teman di kampusnya.

 "Pagi Rara!" Saut Meli yang baru saja memasuki pintu. Rambut hitamnya ditarik ke belakang menjadi kuncir kuda tipis. Ia menggunakan celemek dan topinya yang sudah terpasang.

"Hai, Meli!" Rara tersenyum. Rara suka membuka toko bersama Meli, terutama karena gadis itu yang bersinar dan ceria setiap saat.

 Seperti biasa, mereka mulai berbincang sambil mempersiapkan beberapa bahan untuk memulai pekerjaannya. Sambil berdiri di kasir, Rara mengeluarkan spidol berwarna dari tasnya dan meletakkan di cangkir kosong di sebelahnya.

Meli berkedip, melihat salah satu spidol berwarna jatuh ke tempatnya. "Apakah Bapak tua itu mengatakan sesuatu padamu?" Tanyanya sambil membungkuk di atas meja kasir.

 Setiap pagi tanpa henti, selama sebulan terakhir ini, seorang pria tua berambut coklat dan sedikit uban yang tampak kesal datang untuk memesan segelas kopi di kedai mereka. Pak David, itulah namanya dan sering dikenal di kampus Rara sebagai dosen tergalak dan ditakuti banyak murid. 

Pak David sering datang saat shift pagi Rara dan memesan segelas kopi favoritnya. Dia tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun, dia akan berjalan ke konter seolah-olah dia akan meledak dan kemudian memesan kopi dan pergi. Pak David tidak pernah bertegur sekedar 'halo' atau 'selamat pagi' atau apapun yang bukan pesanan kopinya.

 Bukannya Rara ingin ikut campur urusan bapak dosen galak itu, hanya saja Rara ingin berusaha sedikit menghiburnya. Lagipula, apa bapak itu tidak lelah memasang wajah jutek terus?

 Kemarin, ketika Pak David datang memesan, alih-alih hanya menulis namanya di gelas seperti biasa, Rara meluangkan waktu ekstra untuk mencoret-coret gambar beruang dengan spidolnya yang lucu di cangkirnya. Rara berharap hal itu membuat ia setidaknya sedikit tersenyum. Namun, Pak David langsung saja keluar dari kafe seperti biasa tanpa ada reaksi yang berbeda.

 "Tidak," desah Rara sedih, mencondongkan tubuh ke depan telapak tangannya sambil memegang pipi tembamnya.

"Bapak itu tidak mengatakan apa-apa."

"Kau tahu Ra, niatmu sangat bulat sampai-sampai bisa mencoret gelasnya. Kalau aku mungkin tidak berani melakukan itu." Ujar Meli menunjuk Rara.

Rara mengangkat bahu, "Bagaimanapun juga, aku ingin bapak itu setidaknya terhibur dengan gambaranku!" pautnya.

 Keesokan paginya, Pak David datang ke kafe seperti biasa. Rara sedikit ragu dan bingung karena tidak ada respon atau komplain yang diberi bapak tua itu terhadap ulahnya kemarin. Rara menggeleng kepala mencoba menghapus rasa keraguannya dan tetap mencoret-coret gelas Pak David seperti yang ia lakukan kemarin. Kali ini ditambahkan gambar pelangi, tidak lupa dengan gambar beruang. Tetap saja, tidak ada respon dari Pak David dan langsung keluar dari kafe begitu saja.

 Hari-hari selanjutnya tetap sama. Rara mencoret-coret gambar lucu khusus untuk gelas Pak David dan ia tetap tidak merespon apa-apa. Pernah suatu hari Rara menggambar beruang bertengkar dengan lebah memperebutkan madu di gelas Pak David. Tidak salah lihat, Pak David sedikit merespon gambar tersebut dengan menutup mukanya dengan topi yang ia kenakan. Rara juga sedikit melototkan matanya heran, apa jangan-jangan Pak David tersenyum dibalik topi itu? Atau mungkin gambar tadi terlalu berlebihan? Wajah Rara tiba-tiba memucat.

 Sekarang Rara panik. Wajar karena ulah yang ia lakukan mungkin sudah terlewat berlebihan. Bayangkan gelas pesanan dicoret-coret setiap hari dan tidak ada respon dari pembeli, sudah pasti pembeli itu tidak nyaman, pikir Rara.

 Keesokan harinya Rara memutuskan berhenti mencoret-coret gelas bapak dosen galak itu. Tidak hanya menjaga kenyamanan Pak David saja, tetapi juga menjaga image-nya agar tidak dicap sebagai murid nakal sehingga nilai Rara turun apabila Pak David menjadi dosen kelasnya. 

Rara menegakkan badannya saat melihat Pak David memasuki pintu kafe. Seperti biasa bapak tua itu tidak menyapa dan langsung memesan kopi dengan muka garangnya. Kali ini berbeda, gelas Pak David yang biasanya membutuhkan waktu 5 menit untuk dihidangkan sekarang cuman butuh 3 menit.

"Ini pesanannya, Pak." Meli memberi pesanan Pak David dengan ramah.

 Pak David terdiam sebentar melihat gelas kopinya. Terdiam sebentar tapi sedikit lama, ia langsung menghentakkan kakinya ke arah kasir dimana Rara berada. Saat itu tidak ada antrean di kasir sehingga Pak David langsung berada di depan kasir dan meletakkan gelas kopinya sedikit kasar sehingga kopi di dalamnya hampir tumpah.

 Di sisi lain Rara sudah sangat berkeringat dingin dengan situasi yang terjadi. Apa kopi buatan Rara kurang enak? Atau karena packingnya kurang rapi-

"Dimana beruangnya?" Pak David berbicara dengan suara kecil tapi masih bisa terdengar. Rara berkedip sebentar.

"Saya tidak terima kalau tidak ada beruangnya!" kali ini suaranya sedikit meninggi.

"B-baik Pak!" panik atau tidak, Rara langsung mencoret-coret gambar beruang seperti biasa. Sambil menggambar, ia berpikir dalam pikirannya. Mungkin Pak David senang dengan coretan beruangnya, tetapi mengapa suara bapak tua tadi terdengar marah?

Tidak lama Rara langsung memberikan gelas kopi Pak David beserta coretan gambarnya. Kali ini jelas di mata Rara, ia melihat sedikit senyuman dari Pak David tetapi hanya sebentar. Tanpa mengatakan apa-apa bapak tua itu langsung meninggalkan kafe.

 Rara tersenyum lebar apa yang baru saja dilihat. Sekarang dia yakin, perbuatan yang ia lakukan selama ini ternyata tidak sia-sia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun