Mohon tunggu...
Hasya AimanNadhir
Hasya AimanNadhir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Feminisme Menjawab Permasalahan Krusial di Balik Wabah Covid-19

26 Oktober 2022   19:30 Diperbarui: 26 Oktober 2022   19:28 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekofeminisme secara konseptual menggunakan persamaan antara penindasan alam dan penindasan perempuan dibawah patriarki sebagai cara untuk menyoroti sebuah gagasan, untuk mengetahui bahwa kedua hal ini bersifat koresponsional atau saling berkaitan. Pada konteks ekofeminisme ini, tidak terbatas pada melihat perempuan dan alam sebagai properti, melihat laki-laki sebagai kurator budaya dan perempuan sebagai kurator alam, tetapi jauh melihat bagaimana secara historis manusia menindas alam dan menimbulkan dampa yang fundamental dan krusial bagi alam itu sendiri.

Seperti yang penulis sebutkan sebelumnya, Wabah COVID-19 ini menjadikan perempuan yang lebih banyak menjadi korbannya. Hal ini dapat kita lihat dari faktor mengapa wabah COVID-19 mulai menyebar. Kapitalisme yang menempatkan  keuntungan sebagai hal yang fundamental dengan pembukaan pasar bebas dan persaingan global memberikan implikasi berupa terciptanya kesenjangan sosial antar masyarakat dan kerusakan alam yang salah satu contohnya adalah resiko perubahan iklim yang tinggi.  

Virus COVID-19 ini sendiri merupakan virus yang berevolusi. Sehingga penulis meyakini bahwa perubahan iklim adalah salah satu faktor yang mendorongnya. Seperti yang penulis katakan, wabah ini lebih banyak berimplikasi pada perempuan. 

Perempuan kini jumlahnya diperkirakan sebesar 70% dari total 1,3 milyar penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan karena budaya patriarki yang mengukung mereka sehingga mereka masih bergantung terhadap sumber daya alam bagi penghidupan dan kehidupannya. Patriarki ini membuat perempuan sering termarjinalkan. Beban perempuan bertumpu pada pekerjaan rumah tangga. 

Harga-harga barang pokok melambung sebagai dampak dari mewabahnya virus ini tentu sangat berimbas banyak bagi mereka. Kapitalisme memainkan banyak peran dalam hal ini, mereka tidak hanya mempersulit akses kesehatan namun juga mempersulit masarakat secara umum baik dari segi ekonomi maupun sosial.

Perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan di negara-negara berkembang menanggung beban ganda dan diperburuk dengan adanya perubahan iklim yang berimbas pada mewabahnya virus mematikan dalam sejakh seperi HIV, MERS, SERS, dan lain sebagainya. Meningkatnya beban rumah tangga menyebabkan berkurangnya waktu istirahat yang besar kemungkinan dapat berdampak pada kesehatan perempuan. Sehingga Feminisme secara general berusaha untuk menghapuskan kerangka persaingan, ketamakan, dan akumulasi modal baik untuk menjawab penyebab terjadinya dan dampak yang ditimbulkan dari wabah COVID-19 ini.   

 Menyadari hal ini World Health Orgazition (WHO) menunjukkan bahwa permpuan dan anak anak perlu menjadi prioritas dalam penanganan wabah COVID-19. Dunia internasional juga telah menyadari pentingnya pemahaman gender dan kaitannya dengan lingkungan.  Bagi ekofeminis, problemnya relasi antara alam ini terjalin sangat sistemik melalui pandangan ekonomi, sosial, dan politik yang mengandalkan diskriminasi, kompetisi, dan kekerasan. Cita cita digulirkan untuk bagaimana caranya tidak lagi ada hierarki antara manusia dan alam, ataupun kelas antar masyarakat. Perubahan ini harus ditempuh secara politis, diperjuangkan melalui transformasi budaya yang mengarah pada keadilan ekologi yang lebih sustainable. (Gaard, 2011)

Lembaga internasional lainnya yang ikut melek mengenai permasalah ini adalah United Nation Forum for Climate Change (UNFCC) menetapkan dimensi gender dalam manajemen risiko bencana dan perubahan iklim. UNFCC menegaskan tiga aspek dasar perspektif gender yang menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan pengalaman hidup dan kapasitas. Masing-masing berkontribusi berbeda dalam adaptasi perubahan iklim meskipun memiliki kesamaan kapasitas sebagai agen perubahan,  laki-laki dan perempuan memiliki strategi, kebutuhan praktis, motivasi dan keinginan yang berbeda dalam beradaptasi dan  perempuan dan laki-laki memiliki risiko dampak perubahan iklim yang berbeda. (UNFCC, 2020)

Ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan untuk menempatkan kasus wabah COVID-19 sebagai bahan analisa kita bersama bahwa perubahan paradigma dan menghapus segala bentuk penindasan baik penindasan budaya maupun alan harus dihapuskan. Ekonomi harus dikembalikkan dalam fitrahnya memenuhi kebutuhan masyarakat bukan untuk dimonopoli sebagai pihak. 

Perlu adanya transformasi dalam sistem  sistem produksi dan konsumsi yang ada. Sehingga kebutuhan dapat disesuaikan dengan sumber daya yang ada, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam dapat dihindarkan. Eksploitasi alam termasuk di dalamnya yaitu pemanfaatan hewan.  Manusia selalu mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan keberlanjutan dan keadilan ekologis bagi alam itu sendiri. 

Salah satunya adalah manusia merusak ekosistem asli satwa dan mengonsumsinya untuk pemenuhan keinginan manusia. Hubungan non-hierarkis harus diciptakan. Semua hubungan yang eksploitatif dan mendominasi harus ditransformasikan menjadi hubungan timbal balik, saling menghargai dan saling menghormati. Masyarakat harus bisa menghapus sistem militeristik dan patriarkis sehingga terjalin hubungan yang lebih humanis. Contohnya ketika COVID-19 melanda, tidak ada lagi kasus penimbunan alat kesehatan untuk keuntungan segelintir pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun