Mohon tunggu...
Hasya AimanNadhir
Hasya AimanNadhir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Feminisme Menjawab Permasalahan Krusial di Balik Wabah Covid-19

26 Oktober 2022   19:30 Diperbarui: 26 Oktober 2022   19:28 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Problem lingkungan hidup telah menjadi suatu isu global yang butuh penanggulangan sistemik dan membutuhkan rencana yang komprehensif. Namun sampai sekarang masih banyak orang-orang menyangkal dan abai terhadap isu ini. Prinsip hidup yang seimbang dengan alam semestinya mengedepankan kesadaran untuk menjaga lingkungan masih sangat minim. 

Terwujudnya keadilan, perdamaian dan kesatuan seluruh makhluk dapat terealisasikan ketika perubahan paradigma mengenai relasi antara manusia dan komponen di dalamnya, salah satunya yaitu alam, dapat bertransformasi menjadi lebih baik. Perubahan paradigma juga membahas mengenai bagaimana peran gender, kelas, ras, etnis dan lainnya dalam menjawab persoalan kontemporer. Penindasan dan kerusakan alah telah menjadi agenda yang  terjadi karena dominasi gender, kelas, ras dan struktur sosial yang timpang. 

Pada tahun 2020 ini kita digemparkan dengan merebaknya virus COVID-19 di seluruh dunia dengan penyebarannya yang sangat mudah virus ini ditetapkan sebagai pandemi. Dengan waktu yang singkat. Wabah ini seharusnya menyadarkan bahwa kita tengah menghadapi krisis multi dimensional meliputi krisis lingkungan, ekonomi, politik, dan kemanusiaan. Wabah ini menambah deretan krisis yang telah terjadi seperti kerusakan lingkungan, seksisme dan kesenjangan sosial. 

Coronavirus sendiri merupakan bagian dari virus yang menyebabkan penyakit seperti MERS dan SARS yang menyerang sistem pernapasan manusia. Penularannya bersifat zoonosis atau membutuhkan hewan sebagai perantaranya.  (WHO, 2020) Di tengah krisis lingkungan hidup dengan mewabahnya virus COVID-19 dan meningkatnya konflik sumber daya alam di negara ini, posisi perempuan semakin rentan dalam lingkungan dan kehidupan sosial.

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan, diduga virus ini pertama kali ditularkan oleh hewan ke manusia  dengan kasus yang pertamanya terjadi di Wuhan  dan setelah dianalisis memiliki hubungan dengan pasar hewan di Wuhan. Jenis hewan diduga sebagai tempat bersemayannya virus  adalah kelelawar.  Sampai dengan 15 April 2020, jumlah kasus positif  di dunia mencapai 1.991.275 orang, 467.074 telah sembuh, dan 125.951 meninggal dunia. Wabah ini dapat kita analisis dengan menggunakan kacamata feminis (Kompas, 2020). 

Salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah pendekatan fenimisme terutama dengan pendekatan ekofeminisme yang langsung berusaha untuk menjelaskan bagaimana membangun solusi atas dengan kacamata gender dan lingkungan. (Tong, 2005) Kerusakan alam yang tidak terbendung melahirkan konsekuensi bumi yang semakin rapuh. 

Ekspoitasi sumber daya alam untuk proses pembangunan yang merupakan tuntutan kapitalisme berimbas pada pemanasan global yang membuat bencana alam tidak lagi mudah untuk diprediksi, salah satunya adalah mudahnya virus untuk berkembang biak.

Dalam kacamata feminis,  permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini tidak netral gender karena perempuan akan menjadi subjek yang paling dirugikan. Feminisme meluhat adanya hubungan antara perempuan dan alam karena hal ini berangkat dari penindasan yang terjadi atas dominasi laki-laki terhadap alam yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang semakin berkembang secara luas. Hal ini mempengaruhi bagaimana manusia melihat  mitos, simbol, ide dan imej.  

Feminisme khususnya ekofeminisme tidak hanya memperjuangkan hal perempuan karena sejatinya feminisme merangkul antara perempuan dan alam, antara gerakan feminis dan gerakan ekologis, baik secara konseptual, simbolik maupun linguistik yang menjadi relasi dasar sosio-ekonomi dan nilai nilai dalam masyaraka (Warren, 1996). 

Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji ini dari pendekatan feminisme terutama ekofeminisme yang mendorong peran perempuan sebagai aktor utama dalam penanggulangan bencana yang timbul akibat perubahan iklim salah satunya mewabahnya virus COVID-19.  Gagasan yang pertama kali dicetuskan oleh Karen J. Warren ini mengingatkan kita terhadap beberapa persoalan mengenai penindasan terhadap perempuan dan alam. Penindasan terhadap perempuan dan dominasi atas alam pada dasarnya saling berkaitan. 

Dominasi laki laki tak memainkan peran bagaimana maskulitas menjadi landasan pengambilan keputusan dalam pemanfaatan alam tidak dapat terelakkan sehingga eksploitasi alam tidak dapat dihindarkan. Pemecahan persoalan ekologi harus menggugat pula ketidakadilan yang dialami perempuan di dalam masyarakatnya karena adanya patriarki.

Ekofeminisme secara konseptual menggunakan persamaan antara penindasan alam dan penindasan perempuan dibawah patriarki sebagai cara untuk menyoroti sebuah gagasan, untuk mengetahui bahwa kedua hal ini bersifat koresponsional atau saling berkaitan. Pada konteks ekofeminisme ini, tidak terbatas pada melihat perempuan dan alam sebagai properti, melihat laki-laki sebagai kurator budaya dan perempuan sebagai kurator alam, tetapi jauh melihat bagaimana secara historis manusia menindas alam dan menimbulkan dampa yang fundamental dan krusial bagi alam itu sendiri.

Seperti yang penulis sebutkan sebelumnya, Wabah COVID-19 ini menjadikan perempuan yang lebih banyak menjadi korbannya. Hal ini dapat kita lihat dari faktor mengapa wabah COVID-19 mulai menyebar. Kapitalisme yang menempatkan  keuntungan sebagai hal yang fundamental dengan pembukaan pasar bebas dan persaingan global memberikan implikasi berupa terciptanya kesenjangan sosial antar masyarakat dan kerusakan alam yang salah satu contohnya adalah resiko perubahan iklim yang tinggi.  

Virus COVID-19 ini sendiri merupakan virus yang berevolusi. Sehingga penulis meyakini bahwa perubahan iklim adalah salah satu faktor yang mendorongnya. Seperti yang penulis katakan, wabah ini lebih banyak berimplikasi pada perempuan. 

Perempuan kini jumlahnya diperkirakan sebesar 70% dari total 1,3 milyar penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan karena budaya patriarki yang mengukung mereka sehingga mereka masih bergantung terhadap sumber daya alam bagi penghidupan dan kehidupannya. Patriarki ini membuat perempuan sering termarjinalkan. Beban perempuan bertumpu pada pekerjaan rumah tangga. 

Harga-harga barang pokok melambung sebagai dampak dari mewabahnya virus ini tentu sangat berimbas banyak bagi mereka. Kapitalisme memainkan banyak peran dalam hal ini, mereka tidak hanya mempersulit akses kesehatan namun juga mempersulit masarakat secara umum baik dari segi ekonomi maupun sosial.

Perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan di negara-negara berkembang menanggung beban ganda dan diperburuk dengan adanya perubahan iklim yang berimbas pada mewabahnya virus mematikan dalam sejakh seperi HIV, MERS, SERS, dan lain sebagainya. Meningkatnya beban rumah tangga menyebabkan berkurangnya waktu istirahat yang besar kemungkinan dapat berdampak pada kesehatan perempuan. Sehingga Feminisme secara general berusaha untuk menghapuskan kerangka persaingan, ketamakan, dan akumulasi modal baik untuk menjawab penyebab terjadinya dan dampak yang ditimbulkan dari wabah COVID-19 ini.   

 Menyadari hal ini World Health Orgazition (WHO) menunjukkan bahwa permpuan dan anak anak perlu menjadi prioritas dalam penanganan wabah COVID-19. Dunia internasional juga telah menyadari pentingnya pemahaman gender dan kaitannya dengan lingkungan.  Bagi ekofeminis, problemnya relasi antara alam ini terjalin sangat sistemik melalui pandangan ekonomi, sosial, dan politik yang mengandalkan diskriminasi, kompetisi, dan kekerasan. Cita cita digulirkan untuk bagaimana caranya tidak lagi ada hierarki antara manusia dan alam, ataupun kelas antar masyarakat. Perubahan ini harus ditempuh secara politis, diperjuangkan melalui transformasi budaya yang mengarah pada keadilan ekologi yang lebih sustainable. (Gaard, 2011)

Lembaga internasional lainnya yang ikut melek mengenai permasalah ini adalah United Nation Forum for Climate Change (UNFCC) menetapkan dimensi gender dalam manajemen risiko bencana dan perubahan iklim. UNFCC menegaskan tiga aspek dasar perspektif gender yang menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan pengalaman hidup dan kapasitas. Masing-masing berkontribusi berbeda dalam adaptasi perubahan iklim meskipun memiliki kesamaan kapasitas sebagai agen perubahan,  laki-laki dan perempuan memiliki strategi, kebutuhan praktis, motivasi dan keinginan yang berbeda dalam beradaptasi dan  perempuan dan laki-laki memiliki risiko dampak perubahan iklim yang berbeda. (UNFCC, 2020)

Ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan untuk menempatkan kasus wabah COVID-19 sebagai bahan analisa kita bersama bahwa perubahan paradigma dan menghapus segala bentuk penindasan baik penindasan budaya maupun alan harus dihapuskan. Ekonomi harus dikembalikkan dalam fitrahnya memenuhi kebutuhan masyarakat bukan untuk dimonopoli sebagai pihak. 

Perlu adanya transformasi dalam sistem  sistem produksi dan konsumsi yang ada. Sehingga kebutuhan dapat disesuaikan dengan sumber daya yang ada, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam dapat dihindarkan. Eksploitasi alam termasuk di dalamnya yaitu pemanfaatan hewan.  Manusia selalu mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan keberlanjutan dan keadilan ekologis bagi alam itu sendiri. 

Salah satunya adalah manusia merusak ekosistem asli satwa dan mengonsumsinya untuk pemenuhan keinginan manusia. Hubungan non-hierarkis harus diciptakan. Semua hubungan yang eksploitatif dan mendominasi harus ditransformasikan menjadi hubungan timbal balik, saling menghargai dan saling menghormati. Masyarakat harus bisa menghapus sistem militeristik dan patriarkis sehingga terjalin hubungan yang lebih humanis. Contohnya ketika COVID-19 melanda, tidak ada lagi kasus penimbunan alat kesehatan untuk keuntungan segelintir pihak.

Sumber : 

Gaard, Greta (2011). Ecofeminism Revisited: Rejecting Essentialism and Re-Placing Species in a Material Feminist Environmentalism. Feminist Formations. 23 (2): 26--53.

Tong, R. P. (2005). Feminist Thought : Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Sumber Terjemahan : Feminist Thought : A More Comprehensive Introduction, Second Edition, 1998, Westview Press, Colorado. Penerjemah : Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra.

Warren, K. J. (1996). Ecological Feminist Perspective. Indiana University Press. Blommingtoon.

Internet

KOMPAS. (2020). Update Virus Corona di Dunia. Diakses dari lamana https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/15/073000365/update-virus-corona-di-dunia-15-april--1-9-juta-kasus-467.074-sembuh

UNFCC. Gender. https://unfccc.int/gender

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun