Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sirine Mengaung-ngaung

16 Juli 2021   02:23 Diperbarui: 16 Juli 2021   02:33 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar https://id.depositphotos.com

Sudah hampir dua minggu ini suara sirine mengaung-ngaung lewat depan rumahnya. Emak Siti mulai terasa resah. Begitu banyak yang harus dibawa ke rumah sakit karena corona. Betapa menyebalkan corona itu. Sampai --sampai bunyi sirine itu membuat hidup emak Siti terganggu. 

Suara sirine itu seperti berputar-putar di telinganya. Walau tak ada mobil ambulans tapi suara sirine itu seperti menempel di telinganya. Sungguh membuat emak Siti terganggu benar. 

Hari-harinya terasa resah. Sebentar-bentar terdengar suara sirine. Kadang memang ada yang lewat, kadang tak lewat. Sungguh mental emak Siti mulai terpengaruh.

            "Kita harus pindah dari sini,"celetuk emak Siti pada suaminya.

            "Emang kenapa? Emang punya uang?" balik suaminya menjawab.

            "Tapi aku tertekan dengan suara sirine itu."

            "Coba sumpel telingamu dengan kapas atau headset." Emak mulai mencoba pakai headset setiap hari agar suara sirine tak terdengar . Hanya sesaat dia tak mendengar suara sirine. Tapi anehnya suara sirine mulai meraung-raung lagi di telinganya walau tak ada ambulans lewat. Emak Siti mulai stres.

            "Aku mau mengungsi sementara waktu ke rumah bi Sati,"tukas emak Siti.

            "Ya, sudahlah maumu saja."

Tapi ternyata teror sirine masih saja terdengar. Padahal  rumah bi Sati di perumahan yang tak dilewati ambulans. Tapi suara sirine itu selalu ada saja di telinga emak Siti. 

Bi Sati lalu menyuruhnya mendengarkan lagu saja, agar suara sirinenya jadi tak terdengar lagi. Suara alunan musik terdengar lembut. Musik klasik indah terdengar di telinga. Katanya suara musik klasik bisa menenangkan hati. Emak Siti menikmati musiknya dan mulai menari-nari. 

Bi Sati tersenyum, dia beharap emak Siti gak akan lagi mendengar suara sirine. Tapi hari demi hari emak Siti malah terus menari-nari tiada henti. Bi Sati mulai cemas. Dipangil suami emak  Siti.  Suaminya mencabut headset di telinga emak Siti. Tapi emak Siti masih menari-nari walau di telinganya sudah tak ada musik lagi.

Emak Siti kembali ke rumah . Dia tak melakukan apa-apa kecuali menari. Suaminya menyuruhn masak, tapi emak tak mau. Kerjanya hanya menari saja. Semua ikutan pusing tujuh keliling melihat kelakuan emak Siti. Suaminya mulai berpikir apakah emak Siti mulai kurang waras.

            "Bawa saja ke dokter ahli jiwa."  Emak sekarang ada dalam pengawasan doketr ahli jiwa. Keadaaan kadang tenang kadang emak menai-nari lagi. Masih belum stabil. Kembali terdengar ambulan lewat dengan suara sirine.

            "Suara itu...suara itu,:"tukas emak Siti. Emak Siti mulai ketakutan mendengar suara sirine. Selalu berteriak-teriak saat ambulans lewat. Cepat dibawanya emak ke dokter. Oleh dokter diberi obat penenang. Sementara waktu emak bisa tenang. Sementara waktu emak tinggal di ruang perawatan di doketr itu.

            Sudah tiga bulan emak dirawat . Kini emak kembali ke rumah . Emak sudah terlihat tenang. Semua gembira. Emak sudah melakukan pekerjaan biasa lagi. Masakan yang enak selalu ada di meja makan.

            "Suara sirine itu terdengar lagi," jerit emak. Semua tegang, apakah emak Siti kambuh? Emak Siti melihat mereka.

            "Suara sirine ini terdengar lagi,"jerit emak. Semua saling pandang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun