Bi Sati tersenyum, dia beharap emak Siti gak akan lagi mendengar suara sirine. Tapi hari demi hari emak Siti malah terus menari-nari tiada henti. Bi Sati mulai cemas. Dipangil suami emak  Siti.  Suaminya mencabut headset di telinga emak Siti. Tapi emak Siti masih menari-nari walau di telinganya sudah tak ada musik lagi.
Emak Siti kembali ke rumah . Dia tak melakukan apa-apa kecuali menari. Suaminya menyuruhn masak, tapi emak tak mau. Kerjanya hanya menari saja. Semua ikutan pusing tujuh keliling melihat kelakuan emak Siti. Suaminya mulai berpikir apakah emak Siti mulai kurang waras.
      "Bawa saja ke dokter ahli jiwa."  Emak sekarang ada dalam pengawasan doketr ahli jiwa. Keadaaan kadang tenang kadang emak menai-nari lagi. Masih belum stabil. Kembali terdengar ambulan lewat dengan suara sirine.
      "Suara itu...suara itu,:"tukas emak Siti. Emak Siti mulai ketakutan mendengar suara sirine. Selalu berteriak-teriak saat ambulans lewat. Cepat dibawanya emak ke dokter. Oleh dokter diberi obat penenang. Sementara waktu emak bisa tenang. Sementara waktu emak tinggal di ruang perawatan di doketr itu.
      Sudah tiga bulan emak dirawat . Kini emak kembali ke rumah . Emak sudah terlihat tenang. Semua gembira. Emak sudah melakukan pekerjaan biasa lagi. Masakan yang enak selalu ada di meja makan.
      "Suara sirine itu terdengar lagi," jerit emak. Semua tegang, apakah emak Siti kambuh? Emak Siti melihat mereka.
      "Suara sirine ini terdengar lagi,"jerit emak. Semua saling pandang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H