"Tak apa akang. Esih bisa terima itu, yang penting akang ada di sisi Esih. Akang pulang ya, kalau tidak Esih jadi milik orang lain."
      "Iya, akang pulang." Aku hanya bisa berjanji. Sudah dua bulan dari janji di telepon terakhir, tapi aku belum pulang juga. Akhirnya berkat saran temanku aku meminjam uang pada temanku yang mau menolongku dengan janji aku akan mencicilnya dari ladangku kelak. Aku berterimakasih pada temanku.
Tak sabar aku pulang ke desaku. Sudah hampir 5 tahun aku tak pulang ke desaku. Kini aku akan kembali, membeli ladang dan berkebun untuk bisa menghidupi Esih. Desaku masih seperti sama seperti dulu. Tenang , damai tak seperti kota Jakarta yang setiap hari riuh .
Aku memeluk ibuku yang terlihat renta sekali. Adikku di pojokan menangis . Aku tahu beban berat yang harus mereka pikul. Tanpa diriku. aku merasa bersalah meninggalkan mereka berdua. Sore itu aku berdandan rapi, dan aku ingin ke tempat Esih untuk menuntaskan janjiku.
      "Mau kemana?"
      "Esih." Emak dan adikku saling pandang.
      "Akang belum dapat kabar dari Esih?" aku menggelengkan kepala.
      "Emang kenapa?"
      "Esih sudah menikah dan dibawa Dede pindah ke kota." Aku terdiam kaku. Tak terasa air mataku mengalir. Semua sia-sia. Janji yang sudah kutepati ternyata sia-sia
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H