Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Janji

7 Mei 2021   02:31 Diperbarui: 7 Mei 2021   02:36 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : https://www.dictio.id

Lebaran sudah dekat. Dan lebaran kali ini sama dengan tahun lalu. Tak boleh mudik. Tapi justru ini menguntungkanku kenapa? karena ada sebuah janji yang aku buat untuk Esih yang sampai sekarang aku tak bisa tepati. Janji yang membuat aku masih bertahan di kota Jakarta. 

Kota yang menjadi tumpuan harapan tapi kenyataannya begitu kejam buat diriku. Pergi dari desa untuk mengadu nasib dengan bekal ijasah lulusan SMA tapi hanya bisa sebagai buruh yang tenaganya diperas dan hasil yang sulit untuk ditabung. Tidur seperti dendeng yang berjejer bersama-sama teman senasib agar biaya kost bisa ditanggung bersama. Semua dia lakukan hanya untuk Esih. 

Jika uangnya sudah cukup aku berniat membeli ladang dan  aku bisa berkebun di desa. Tapi, uang yang aku kumpul belum bisa membeli ladang. Biaya hidup di Jakarta yang besar membuat aku tak bisa menabung banyak. Lalu kapan aku akan kembali ke desa. 

Aku tahu Esih sudah menungguku. Apalagi Esuh bercerita kalau dia mau dijodohkan oleh pria pendatang yang buka toko pertanian di sana. Aku tak rela Esih jadi milik orang lain. Lalu aku harus bagaimana? Pulang dengan tabungan sedikit? Ladang tak terbeli lalu aku harus kerja apa?

Masih teringat pertemuan terakhir bersama Esih. Aku tatap matanya dan berjanji akan pulang setelah tabunganku cukup.

            "Akang tak perlu pergi. Seberapapun hasil akang kerja Esih terima, asal akang jangan pergi,"tukas Esih memelas apdaku.

            "Akang janji, akang akan kumpulkan uang untuk membeli ladang. Ini buat modal kita hidup, Esih. Tenang , akang bakal kembali." Begitulah aku berjanji. Tapi janji itu semakin tahun aku berada di Jakarta, semakin aku bingung. Ternyata tabunganku belum cukup untuk kembali . Esih selalu mengeluh agar aku kembali. Di sisi lain aku belum mau kembali sebelum uangku cukup. Tapi semua ada batasnya. Aku tahu itu. Dan Esih akan dijodohkan dengan pria lain. Apa aku rela?  Lebaran kali ini aku tak mungkin pulang karena corona . Tapi masih ada waktu ke sana sebelum lebaran atau sesudah lebaran? Dengan tabungan seadanya?. Sungguh aku tak ingin membuat malu ibuku. Bekerja di Jakarta lama tapi yang dibawa sedikit.

Barusan Esih menelpunku. Sambil menangis ia memintaku pulang.

            "Tapi tabunganku belum cukup?"

            "Tak apa, apa akang tega aku dinikahkan dengan Dede?"tanyanya lagi. Aku terdiam

            "Lalu bagaiamana dengan janjiku? Bagaimana dengan nanti , masa aku hanya jadi garap ladang orang lagi?"

            "Tak apa akang. Esih bisa terima itu, yang penting akang ada di sisi Esih. Akang pulang ya, kalau tidak Esih jadi milik orang lain."

            "Iya, akang pulang." Aku hanya bisa berjanji. Sudah dua bulan dari janji di telepon terakhir, tapi aku belum pulang juga. Akhirnya berkat saran temanku aku meminjam uang pada temanku yang mau menolongku dengan janji aku akan mencicilnya dari ladangku kelak. Aku berterimakasih pada temanku.

Tak sabar aku pulang ke desaku. Sudah hampir 5 tahun aku tak pulang ke desaku. Kini aku akan kembali, membeli ladang dan berkebun untuk bisa menghidupi Esih. Desaku masih seperti sama seperti dulu. Tenang , damai tak seperti kota Jakarta yang setiap hari riuh .

Aku memeluk ibuku yang terlihat renta sekali. Adikku di pojokan menangis . Aku tahu beban berat yang harus mereka pikul. Tanpa diriku. aku merasa bersalah meninggalkan mereka berdua. Sore itu aku berdandan rapi, dan aku ingin ke tempat Esih untuk menuntaskan janjiku.

            "Mau kemana?"

            "Esih." Emak dan adikku saling pandang.

            "Akang belum dapat kabar dari Esih?" aku menggelengkan kepala.

            "Emang kenapa?"

            "Esih sudah menikah dan dibawa Dede pindah ke kota." Aku terdiam kaku. Tak terasa air mataku mengalir. Semua sia-sia. Janji yang sudah kutepati ternyata sia-sia

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun