Kini di malam takbiran aku hanya bisa mendengarkan suara takbir dari tempat kos. Suara emak yang pastinya sedang membuat ketupat akan aku rindukan. Masih satu langkah lagi aku bisa pulang bertemu emak, dan mudah-mudahan corona ini cepat berlalu.Â
Walau nanti wisuda hanya secara virtual tapi ini bisa jadi bukti aku pada emak. Tunggu aku pulang mak, aku sudah rindu. Rindu suasana kampung. Rindu masakan emak, rindu suara takbir di surau. Tak terasa air mata turun dan aku mulai terisak.
"Neng, kamu menangis?" tanya mak Iroh.
"Gak, mak, hanya rindu sama emak di kampung." Mak Iroh memeluk erat. Mak Iroh sudah seperti emakku sendiri. Dia hidup sebatang kara. Anak-anaknya tak tahu kemana dan tak pernah pulang kembali. Aku satu-satunya yang menemani mak Iroh. Mak Iroh selalu membantu aku saat aku membutuhkan uang.
Mak Iroh selalu menganggap aku anaknya yang hilang. Katanya Tuhan sudah mengirim aku buat dirinya. Mak Iroh selalu memanjakan diriku. Seringkali aku dimasakan masakan kesukaanku. Kalau aku sakit dia merawatnya dengan penuh kasih sayang.Â
Aku selalu bersyukur dipertemukan dengan mak Iroh. Dia bagaikan malaikat penolong bagiku. Â Pelukan hangatnya membuat aku merasa aman. Mak Iroh, dia emakku juga, aku akan menjaganya seperti aku menjaga emakku. Aku tak akan melupakan kasih sayangnya. Aku menyayangimu, mak Iroh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H