Di luar terdengar suara takbir berkumandang. Bersahutan-sahutan antar mesjid yang satu dengan mesjid yang lain, di sisi lain terdengar suara merdu mak Iroh melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Jadi teringat di kampung saat malam takbiran.Â
Di surau akan ramai orang sekampung mengucapkan takbir dan suara emak melantunkan ayat-ayat suci. Rindu kampung halaman. Tapi kali ini aku harus tetap rindu kampung karena aku tak mungkin pulang kampung.Â
Tapi apa mau dikata, aku masih ada di kosan di tengah kampung di ramainya kota Bandung. Banyak yang sudah pulang kampung sejak lama karena sudah tak ada pekerjaan lagi tapi aku masih bertahan di sini.Â
Bukan tak mau pulang tapi masih ada satu langkah lagi yang harus aku tempuh terlebih dulu baru aku akan pulang. Tak mengapa. Aku akan pulang kelak setelah lulus dari kuliah ini.Â
Sudah hampir 5 tahun aku bekerja sambil kuliah. Sungguh berat tapi ini semua kemauanku. Pantang pulang sebelum aku bisa memberikan gelar sarjana buat emak.
Masih teringat perdebatan dengan emak, saat aku menolak lamaran pak Soleh. Â Emak begitu marah karena aku menolak lamaran dari lelalki tua nan kaya raya seukuran orang kampung.
"Tuh kumaha maneh teh, dilamar ku orang boga teh malah nolak?"
"Mak, kan sudah dibilang mau kuliah di Bandung. Abdi teh pan dapat beasiswa di kampus terkenal. Gak semua orang bisa dapat mak."
"Tapi emak kan gak punya biaya Neneng. Da temen-temen kamu juga sudah pada kawin semua."
"Tenang saja mak, pan setiap bulan uang spp  sudah ditanggung negara, Neneng bakal kerja untuk makan sehari-hari. Emak gak perlu repot."Â
Akhirnya emak setuju setelah bi Inah membujuknya. Aku sudah minta bi Inah untuk membujuk emak. Walau sulit, aku tak akan putus kuliah. Walau tersendat-sendat tidak seperti teman-teman yang lain yang tak perlu kerja. Tapi aku harus membuktikan kalau aku bisa. Aku tak mau mengecewakan emak.
Kini di malam takbiran aku hanya bisa mendengarkan suara takbir dari tempat kos. Suara emak yang pastinya sedang membuat ketupat akan aku rindukan. Masih satu langkah lagi aku bisa pulang bertemu emak, dan mudah-mudahan corona ini cepat berlalu.Â
Walau nanti wisuda hanya secara virtual tapi ini bisa jadi bukti aku pada emak. Tunggu aku pulang mak, aku sudah rindu. Rindu suasana kampung. Rindu masakan emak, rindu suara takbir di surau. Tak terasa air mata turun dan aku mulai terisak.
"Neng, kamu menangis?" tanya mak Iroh.
"Gak, mak, hanya rindu sama emak di kampung." Mak Iroh memeluk erat. Mak Iroh sudah seperti emakku sendiri. Dia hidup sebatang kara. Anak-anaknya tak tahu kemana dan tak pernah pulang kembali. Aku satu-satunya yang menemani mak Iroh. Mak Iroh selalu membantu aku saat aku membutuhkan uang.
Mak Iroh selalu menganggap aku anaknya yang hilang. Katanya Tuhan sudah mengirim aku buat dirinya. Mak Iroh selalu memanjakan diriku. Seringkali aku dimasakan masakan kesukaanku. Kalau aku sakit dia merawatnya dengan penuh kasih sayang.Â
Aku selalu bersyukur dipertemukan dengan mak Iroh. Dia bagaikan malaikat penolong bagiku. Â Pelukan hangatnya membuat aku merasa aman. Mak Iroh, dia emakku juga, aku akan menjaganya seperti aku menjaga emakku. Aku tak akan melupakan kasih sayangnya. Aku menyayangimu, mak Iroh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI