Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Tersisa Hanya Air Mata

5 April 2019   02:28 Diperbarui: 5 April 2019   02:58 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : www.pixabay.com

  

      

 "Kopi satu." Surti kemudian mulai melayani pembelinya di warung kopi miliknya. Warung kopinya ada di tepi jalan raya. Lumayan laris. Dari pagi Surti sudah berjualan sampai menjelang magrib. Hasilnya sih belum mencukupi, dan Agus anak tertuanya membantunya mencari uang tambahan untuk adik-adiknya bisa sekolah. Sungguh Surti bersyukur memiliki Agus yang mau berkorban untuk adik-adiknya. Setelah suaminya meninggal karena kecelakaan kerja , Surti harus banting tulang untuk menghidupi keluarganya.

 "Sudah tahu di daerah Poncal banyak begal sekarang,"tukas bang Aki.

 "Iya, semakin merajalela , hampir setiap hari ada saja kasus begal di daerah sana,"tukas bang Bahrun.

"Lebih baik menghindar jalan tersebut."

 "Gimana bisa , itu satu-satunya jalan menuju kota Cianjur."

"Lapor sama polisi," sahut pelanggan yang lain.

"Katanya sih sudah banyak yang lapor tapi belum ada tindakan ,"keluh bang Aki.

"Jadi kudu pasrah saja ini?"tanya bang Ali.

 "Nih, kopinya. Mau gorengan?" tanya Surti. Bang Ali mengangguk setuju. Benar-benar berita tentang begal sudah ramai dibicarakan. Termasuk di warung Surti.

"Hati-hati Gus, di daerah Poncol banyak begal loh. Banyak yang bercerita di warung emak." Agus mengangguk dan segera pergi dari rumahnya. Hati Suti agak ragu saat Agus hendak pamitan kerja. Entah dari semalam Surti sulit tidur , padahal tubuhnya lelah. Seperti ada alarm di pikirannya. Entah apa. Sehingga pagi ini Surti ragu melepas Agus pergi kerja. Tak berapa lama kang Asep berlari-lari ke arahnya. Sudah banyak pelangan di warungnya. Surti bergegas ke warungnya. Tadi malam Agus memberikan lagi uang hasil kerjanya. Sudah Surti tabung agar Kina dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan itu butuh biaya yang gak sedikit.

"Tadi malam ada begal lagi,"keluh kang Asep. Surti sedikit merinding, dia mengkawatirkan Agus . takut Agus kenapa-kenapa.  Pikirannya hari ini tak bisa fokus. Tak lama kemudian ada seseoarng berlari ke arah warung Surti.

"Begalnya ketangkap,"ujarnya.

 "Sudah dibawa ke polisi?"

"Gak, mati dikeroyok masa." Surti tiba-tiba saja berdebar kencang . Dadanya rasanya sesak. Entha keanpa. Seteguk teh hangat agak membuat dirinya lebih nyaman. Beberapa orang menuju arah Poncol, ingin melihat begalnya.

Tiba-tiba saja kang Asep menghampiri dirinya. Kang Asep salah satu yang ikut ke Poncol. Kang Asep tersengal-sengal sebelum menyampaikan berita buruk untuk Surti.

"Begalnya itu, Agus, Surti."

"Maksudnya?"

"Agus , yang jadi begalnya." Surti terduduk lemas, antara percaya dan tak percaya.

"Agus mah kerja di pabrik, kali bukan Agus anak saya." Kang Asep tetap meyakinkan kalau yang begal itu anaknya. Tak berapa lama ada mobil datang membawa jenasah anaknya Agus. Wajahnya babak belur dipukulin masa. Surti menangisi anaknya. Kehilanagn anak adalah beban berat bagi dirinya, ditambah lagi beban kalau anaknya adalah begal yang selama ini membuat resah. Surti bingung, mengapa anaknya melakukan hal ini?, apa yang terjadi dengan dirinya? Surti tak percaya .

Surti masih menangis di dekat pusara Agus., sampai hari ini. dirinya begitu sedih, Agus yang dia banggakan yang dia percaya harus mati ditangan banyak orang karean kesalahannya. Dan tiba-tiba ada yang memegang bahunya.

  "Bu, saya Mizan,"tukasnya

"Saya teman Agus. Agus itu memang kerja di pabrik bu. Benar. Ibu jangan merasa sedih dan merasa bersalah. Ada alasan tertentu mengapa Agus melakukan hal ini." Surti menatap Mizan dengan tanda tanya besar. Mizan menceritakan kalau sepulang kerja atau sebelum kerja memang Agus suka melaukna begal. Itu tujuannnya untuk menambah penghasilannya, karena upah jadi buruh pabrik tak mungkin bisa mencukupi biaya sekolah adik-adiknya.

"Jangan salahkan Agus,bu. Dia orang baik. Di pabrik saja dia banyak menolong teman-temannya yang kesusahna." Mizan merangkul pundak Surti dan memapahnya pulang ke rumah. Air mata Surti masih memabasahi pipinya, entah sampai kapan dia akan menangisi anaknya yang dia banggakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun