Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jiwa-jiwa yang Resah

31 Agustus 2018   03:31 Diperbarui: 31 Agustus 2018   08:45 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : https://www.gulalives.co

Didi terus bicara , tak pernah berhenti. Kadang diselingi caci maki dan sumpah serapah yang dia tujukan kepada aparat pemerintah. Dia tak pernah berhenti bicara. Hanya tidur yang memberhentikan dia untuk berhenti bicara sejenak. Itupun kadang tidurnya diselingi dengan igauan yang tak jelas. 

Didi sudah memiliki dunianya sendiri. Orang lain tak tahu apa yang ada dalam benaknya bahkan istrinya sendiripun tidak tahu. Dulunya Didi tak begini, semua ada ceritanya.

Bermula dari suatu proyek pembanguna rumah mewah yang akan dibangun di desa tempat tinggal Didi. Calo tanah mulai merajai di sana untuk memberikan penawaran untuk tanah-tanah yang akan dibebaskan.

Harganya cukup menggiurkan bagi orang desa. Beberapa tertarik untuk menjualnya, tapi sebagian lagi tidak karena tanah mereka itu sebagai sumber penghasilan mereka. Alot sekali untuk bisa membebasakan lahan. Didi berusaah untuk membujuk banyak orang untuk melepas tanahnya. Karena iming-iming uang yang besar.

"Kang, atuh jangan dijual tanah ini, kalau dijual akang kerja apa?" tanya istinya.

"Tuh, kamu mah gak berpikir. Uangnya buat modal usaha,"tukas Didi cepat. Inah , istrinya diam, dia tak mau berdebat dengan suaminya. Didi begitu getol membujuk teman-temannya untuk mau menjual tanah mereka. Dan waktu perjanjian mereka disuruh tanda tangan.

Kegembiraan akan mendapatkan uang sesuai dengan janji tak memberi kesadaran bagi mereka untuk membaca semua perjanjian di atas. Setelah tanah diambil pengembang dan mereka dapat bayaran, terkejutlah dengan uang yang mereka dapat. Tak sebanding dengan apa yang dijanjikan. Saat mereka protes , orang develepor menunjukan tanda tangan dan perjanjian mau dibayar dengan jumlah tertentu.

"Gak, bisa , kami dijanjikan dengan uang yang lebih besar."

"Coba lihat di sini tertulis harga dan sudah ditanda tangani bapak sekalian." Orang-orang mulai marah dan Didilah yang kena imbas karena Didilah yang membujuk mereka untuk menjual tanahnya.

"Kamu pastis udah kongkalikong dengan pihak sana."

"Gak, sumpah, aku juga gak tahu. Akupun hanya dapat uang segitu,"tukas Didi.

"Bohong, kami gak percaya. Dasar penipu."

"Kamu harus bertanggung jawab."

Begitulah orang-orang desa menyalahkan Didi. Didi tak kuat menahan ini semua, karena diapun tertipu. Bukan yang disangkakan orang kalau dia menerima lebih karena bisa membujuk orang-orang untuk menjual tanahnya. Didi mulai bicara ke aparat desa, kecamatan tapi semua lepas tangan.. 

Didi mulai kesal, harapannya buyar sudah . Didi hanya bisa bicara terus menerus gak adan hentinya. Terus bicara dan tak pernah berhenti bicara. Hanya tidur yang membuatnya diam tak bicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun