Cerita sebelumnya di sini
Malam itu yang paling sibuk dandan mama. Sedari sore sudah ribut menyuruhku untuk siap-saiap ke rumah tante Ina. Papa malah asik di kamar kerjanya. Memang mama pergi gak dengan papa. Kata mama kasihan nanti papa jadi kambing congek di depan para perempuan. Kadang aku heran dengan papa dan mama. Mereka suami istri tapi aku jarang sekali melihat papa dan mama  bersama-sama. Mereka punya kegiatan masing-masing. Bahkan akupun jarang diajak berpergian bertiga .Â
Dulu sekali aku suka iri dengan anak-anak yang bisa pergi dengan kedua orangtuanya. Aku paling-paling pergi dengan mama tanpa papa .Papa selalu beralasan sibuk dan tak bisa pergi dengan aku dan mama. Tapi sekarang akhirnya aku menjadi tak peduli, aku lebih asik dengan kesendirianku. Kadang aku merasa kesepian, tapi aku bisa menyiasatinya . Gak apa-apa. Mungkin inilah hidupku.Â
Aku membuka lemari bajuku. Gak begitu banyak. Menurut Rara aku aneh. Rara pernah bilang padaku, kok aneh kamu orang kaya tapi bajunya biasa saja. Jadi menurut Rara aku harus pakai baju yang serba wah. Aku sendiri gak berminat sama sekali. Aku suka yang praktis dan nyaman . Ah, ini cukup bagus untuk undangan resmi. Sebuah rok dan blus. Rok lebar di atas lutut bunga-bunga dan blus polos. Aku mematut-matut diriku.  Aku melihat di kotak perhiasanku. Ah, ini kalung cocok. Aku mengangkat kalungnya dari kotak perhaisan. Kalung dengan model etnik dayak, pantas dikenakan dengan blus polos. Sederhana, tapi elegan. Rambut sebahuku  sebagian aku tarik ke belakang. Aku turun ke bawah.
      "Bi Sum, sudah bagus belum?" Bi Sum memandang diriku. Senyumnya mengembang.
      "Neng Karin mah  cantik,pakai baju apa saja pasti cocok," tukasnya. Aku berterimakasih atas pujian bi Sum. Mama keluar dari kamarnya. Mama melihatku.
      "Karin, itu baju bukan untuk pesta kan? Duh, gimana kalau mama nanti diomongin teman-teman mama." Mama memandangku tajam.
      "Pasti mama takut kan tersaingi dengan teman mama yang lain kalau aku pakai baju ini? "tukasku sambil berlalu dengan perasaan sebal. Aku tak mau mama banyak protes mengenai bajuku. Aku bukan mama yang semua harus yang bermerk . Dan satu lag mama telalu gila untuk dipuji oleh teman-temannya.
      " Neng Karin sudah cantik dengan baju itu bu," tukas bi Sum
      "Tahu apa kamu bi,"tegur mama gak suka. Aku bergegas naik lagi ke kamar. Aku gak mau ribut dengan mama. Pergi dengan mama ke undangan tante Ina saja aku sebetulnya gak suka. Tapi demi mama aku turuti tapi kalau mama masih memaksa aku untuk berpakaian sesuai dengan kemauannya. Pastinya aku tak mau.
      "Karin , kenapa kamu naik ke atas lagi. Ayo berangkat," teriak mama. Aku menghela nafas dan sudah membayangkan akan bagaimana aku di pestanya. Pasti aku akan tampak seperti anak tolol yang akan dipamerkan mama di depan teman-temannya. Membayangkan saja sudah membuatku ingin muntah. Dengan perasaan sebal aku turun. Bi Sum menatapku.
      "Senyum atuh neng Karin. Kalau cemberut gitu jadi jelek loh," tegurnya sambil berbisik perlahan takut terdengar mama. Aku mencubit pingggang bi Sum. Bi Sumlah yang lebih bisa mengerti keadaanku dibanding mama. Bi Sum yang lebih telaten merawat aku sejak aku kecil. Aku selalu menganggap bi Sum ibuku.
      "Aku ini mau dipamerin ama teman-teman mama bi. Kayak barang dagangan saja." Aku cemberut.
      "Huss, jangan ngomong seperti itu," bisik bi Sum lagi.
      "Memang iya kok bi." Aku berlalu dari hadapan bi Sum. Aku ogah-ogahan naik ke mobil.
      "Nanti di sana kamu harus ramah dan jangan sampai malu-maluin mama loh," tegur mama. Aku diam saja, percuma berdebat dengan mama. Melamun lebih baik daripada membayangkan suasana di sana.
      Mama berhenti di sebuah rumah bertingkat yang cukup mewah. Tapi masih kalah mewah dengan rumah milik papa. Aku mengikuti langkah mama di belakangnya. Ruangan tamu sudah cukup ramai dengan teman-teman mama.
      "Eh, jeng Tati." Mama cipika cipiki dengan teman-temannya.
      "Ini anakmu ya?" teman mama itu memperhatikan diriku dari atas sampai bawah. Aku sebal sekali melihatnya.Aku memalingkan wajahku ke samping. Seperti barang saja.
      "Karin, ini kenalkan teman mama , tante Ina," tukas mama. Aku mengulurkan tangan dengan ogah-ogahan. Mama menyenggol sikutku.Aku tak peduli. Tante Ina duluan yang melihatku seperti itu.. Emang pakaianku kotor atau jelek. Ini sudah yang paling baik yang aku punya.
"Oh, ya kamu sekolah di SMA Jaya ya. Anak tente juga baru masuk di sana."
"Tara," teriaknya dari bawah tangga. Stop. Tara. Apa Tara murid baru di kelasku,pikirku.
      "Ada apa mami?"
      "Kamu sudah kenal dengan anak teman mami?" Mama mendorongku mendekati tante Ina. Saking kerasnya mama mendorongku dan aku juga sedang tak siap, akhirnya tubuhku terdorong dan menubruk tubuh Tara. Tara memegang tubuhku, agar tak jatuh. Pipiku memerah.
      "Maaf, aku tak sengaja," tukasku pelan.
      "Dia sekelas denganku kok mam." Dia, kok gak nyebut namaku.Aku kan punya nama,pikirku
      "Wah kok bisa ya jeng Tati. Bisa --bisa kita besanan."Tawa tante Ina. Tawanya itu menyakitkan telingaku. Enak saja, dia masih memperlakukan aku seperti barang saja. Menjodohkan ,emang aku mau dengan anaknya. Fuih tak sudi!!!! Aku cepat-cepat menegakkan  kembali tubuhku. Aku tatap Tara . Dia mengejek lewat matanya. Nah, ini yang aku gak suka dari Tara. Matanya!!!. Matanya terlihat meremehkan orang.
      "Kalian ngobrol saja di belakang saja Tara. Ajak Karin ke sana," tukas  tante Ina kemudian. Ada perasaan malas. Seharusnya aku menolak ajakan mama. Jadinya seperti ini. Tidak nyaman. Dengan berat hati aku mengikuti langkah Tara ke belakang. Ada taman kecil dengan gazebo di sisinya. Tara mengajakku duduk di gazebo. Tak lama kemudian ada pembantu yang membawakan minuman dan camilan.
      "Karin. Kamu diam gak seperti si Sahsa. Dia itu cerewet dan bikin telingaku sakit,"tukasnya membuka pembicaraan. Aku geli juga. Ternyata suara Sasha itu bisa bikin orang lain sakit telinga .Termasuk Tara.
      "Apa kamu juga gak ingin tutup telinga kamu kalau denger mamamu ngomong tuh," tukasku tanpa sadar. Sejenak aku tersadar apa yang aku ucapkan. Tara diam. Aku diam. Hening sejenak sebelum aku minta maaf padanya.
      "Eh, maaf aku keceplosan,"tukasku. Aduh , ini mulut ya kok gak bisa dijaga. Terlalu banyak ingin berkomentar. Mungkin karena aku  dalam  keadaan terpaksa sehingga ada sesuatu yang sedikit tak suka membuatku menjadi tak terkontrol.
      "Ya, sudah gak apa-apa. Namanya ibu-ibu memang cerewet," tukas Tara. Aku menghembuskan nafas lega. Syukurlah kalau Tara tak marah padaku.
      "Tara, ajak Karin makan,"teriak tante Ina. Tara mengajakku untuk makan. Aku mengikutinya dari belakang. Memang sih kalau dilihat tubuh Tara atletis. Dengan celana jins selutut dan kaos ketat, membuat tubuhnya tampak bagus. Rahang atas tampak tegas. Memang tampan, tapi tetap saja aku tak suka dengan matanya. Seperti ada sesuatu yang membuat matanya terlihat licik.
      "Ayo Karin, makan  , yang banyak. Tante bikin soto nih. Kata mamamu kamu suka sekali soto ya." Aku mengangguk dan mengambil soto di mangkuk besar. Sekali lagi aku melihat tatapan teman-teman mama melihat ke arah pakaianku emang ada yang salah dengan pakaianku????  Aku bergegas kembali ke gazebo . Tempat ini lebih nyaman daripada di dalam. Mungkin itu cara mereka memperlihatkan strata kekayaan mereka dari cara berpakaiannya.. Bersaing untuk memperlihatkan kekayaan mereka. Aduh, apa sih enaknya hidup seperti itu.  Meraka akan selalu panas kalau ada temannya yang melebihi mereka.
      "Mengapa kamu terlihat kesal ?" tanya Tara. Aku menoleh dan menatapnya.
      "Emang kamu gak sebal melihat ibu-ibu itu. Matanya selau memperhatikan penampilan aku dan pastinya yang lain juga. Aku tahu mereka pasti akan memperlihatkan kalau mereka yang paling bagus bajunya dan wah. Emang gak ada kerjaan lain dari pada menghambur-hamburkan uang,"cetusku. Aku marah dan aku lupa yang aku ajak ngomong bukan Galih tapi Tara. Aku tersadar dan diam. Aku meneruskan makanku.
      "Kalau gitu termasuk mamamu dong," tukas Tara sedikit mengejek.
      "Memang iya," sentakku keras.
      "Atau kamu malu karena mamamu tak sekaya yang lain," ejek Tara lagi. Aku mulai kesal
      "Sori saja. Aku sih  gak menganggap kekayaan itu segalanya. Coba lihat, kalau aku ingin dianggap kaya atau kaya beneran, pastilah aku main dengan  grupnyaSasha, tapi aku gak,"tukasku dengan nada sebal. Aku berdiri dan langsung menjauh dari Tara. Bodo amat , Tara marah padaku. Toh aku tak akan pernah lagi berhubungan dengan dia.  Aku mencari mama dan mengajaknya pulang.
      "Mam, aku sakit kepala, pulang ya,"rayuku. Mama mendelik kesal.
      "Aduh, Karin ini baru jam semibilan," tukas mama. Aku pantang menyerah, aku tarik --tarik gaun mama.
      "Nanti dulu sayang, mama masih ada yang mau dibicarakan,"tukasnya.
      "Ya, sudah, mana kunci mobilnya, Karin tunggu di mobil saja," aku menengadahkan tangan meminta kunci mobil pada mama. Mama menatapku aneh.
      "Mana Tara, bukannya kamu ada teman ngobrol?" Aku mengangkat bahuku . Akhirnya mama menyerah juga.
      "Maaf ya, aku pulang dulu. Karin katanya sakit kepala." Tante Ina menengok , melihat aku sebentar dan mendekatiku.
      "Kamu gak apa-apa kan sayang? Duh gimana si Tara itu bukannya nemenin Karin."
      "Oh, bukan salah Tara tante, cuma memang kepala Karin pusing," tukasku cepat-cepat sebelum tante Ina memanggil Tara. Menunggu mama pamitan dengan teman-temannya saja butuh waktu yang lama. Karin sudah pegal menunggu di pintu. Udara malam terasa dingin. Akhirnya mama mendekatiku juga. Aku bersyukur sebentar lagi aku bisa membaringakn tubuhku yang lelah, bukan!!! Bukan tubuhku yang lelah tapi psikisku yang lelah.
      "Kamu tuh gimana sih Karin. Mama tuh malu tahu. dari awal kamu sudah pakai baju yang salah. Terus kamu cuek banget dengan teman-teman mama dan terakhir kamu pusing minta pulang,"cerocos mama saat sudah berada di mobil. Aku melirik mama sebal.
      "Mama sih gak pernah merasakan kalau ada di posisi Karin. Karin kan bukan mama yang suka pamer, suka ngobrol ngalor ngidul. Itu bukan Karin banget. Pokoknya ini kali terakhir Karin pergi ke pesta temannya mama.Lain kali Karin gak mau,"aku cemberut. Sungguh aku kesal hari ini. Besok aku harus cari Galih untuk menguras perasaan kesalku. Aku tahu Galih selalu menjadi pendengar setiaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H