Cerita sebelumnya ada di sini
Waktu kecil Galih juga suka mengajarkan aku bermain gundu. Dan ternyata main gundu itu permainan yang mengasyikan. Pertama kali Galih mengajarkan aku, aku begitu kesulitan menekan kelereng dengan sentilan jari-jariku. Tapi lambat laun aku semakin mahir. Seringkali Galih harus ngutang kelereng padaku. Galih melempar kelerengnya ke tanah. Aku mulai berusaha untuk menjentik kelerengku agar kena kelereng Galih. Jika kena, kelereng Galih akan jadi miliku. Dengan demikian juga kalau Galih bisa mengenai kelerengku, kelerengku akan menjadi milik Galih.
      "Ih, Galih curang," aku marah padanya saat tahu Galih curang.
      "Aku gak mau main lagi ah, "aku berlalu darinya, tapi dengan cepat Galih akan berdiri di depanku sambil menyeringai lebar-lebar.
      "Ya , deh aku gak akan curang lagi," tukasnya sambil mengangkat kedua tangannya. Walau kesal tapi saat lihat seringainya yang membuat raut wajahnya tampak lucu , mau gak mau akhirnya aku mau bermain lagi dengannya.
      "Wah, aku harus sering berlatih, kamu tambah pintar Karin,"  tukasnya.
      "Makanya jangan suka meremehkan kemampuan orang." Aku  menyentil lagi kelereng terakhirku.
      "Kena,!" teriakku sambil meloncat tinggi-tinggi. Galih garuk-garuk kepalanya . Dia memandangku dengan picingan matanya. Galih bilang, dia akan membalas kekalahannya.
      "Duh, bisa-bisa aku dimarahi si emak, uang jajanku habis buat beli kelereng," keluhnya. Aku menatapnya kasihan dan menyodorkan semua kelereng yang kudapat tadi. Galih pura-pura gak mau tapi matanya sedikit melirik ka arah tanganku. Dengan cepat Galih mengambil kelereng dari tanganku. Aku tergelak keras.
      "Makanya jangan sok gak mau." Aku masih tergelak. Galih melotot ke arahku , tapi kemudian dia kembali tertawa bersama denganku. Tawa kami begitu keras sehingga bi Sum mendatangi dengan tergopoh-gopoh.
      "Ada apa kalian tertawa terus menerus. Galih , kasihan non Karin nanti kecapaian. Sudah istirahat dulu,"tukas bi Sum memandangku kawatir. Aku tahu kalau aku kecapaian aku sering kumat asmanya. Nah, itu artinya bi Sum bisa kena omel mama. Galih menatap kelereng yang ada di tangannya. Sebagian dia taruh di kantung celananya. Tampak kantung celananya menggembung. Aku tersenyum . Berapapun kelereng pasti akan aku berikan padanya. Aku hanya ingin ditemani bermain. Itu saja.
 Sederhana bukan???? Tapi hal yang sederhana ini luput dari pandangan mama. Mama pikir dengan membelikan aku mainan yang mahal dan keluaran terbaru bisa membuatku bahagia. Gak!!!! Malah aku tambah kesepian. Galihlah pelipur laraku saat aku ingin bisa bermain. Jadi apa yang tak dimiliki Galih, aku dengan suka hati memberikan pada Galih. Walau bi Sum suka melarang tapi aku kadang merasa berhutang budi padanya.
      Aku menyeruput susu buatan bi Sum dan sekerat roti. Aku melirik jam dinding, sudah jam enam lebih. Aku harus bergegas pergi ke sekolah kalau gak bakal terlambat. Jalanan kota Bandung macet apalagi saat pagi dimana banyak anak yang sekolah dan pekerja mau bekerja.
      "Karin, besok sore mama diundang tante Ina ke rumahnya." Aku mengerutkan dahiku. Siapa tante Ina itu????
      "Itu teman mama yang baru pulang dari Amerika. Tante Ina mau merayakan kepulanganya ke Indonesia dan mama mau mengajak kamu." Aku menunjuk diriku di hadapan mama dan menatap heran , mama.Tak biasanya mengajak aku ke undangan teman-temannya.
      "Aku?" tanyaku sangsi.
      "Iya, mama mau mengenalkan kamu dengan anaknya tante Ina. Pasti kamu suka dengannya. Kamu bisa nanya-nanya tentang sekolah di sana," tukas mama. Sebelum aku keluar dari ruang makan, mama memberitahuku lagi kalau hari ini mama mau beli baju untukku pergi ke undangan tante Ina. Aku menghela nafas . Lelah . Mama itu egois yang dia pikirkan hanya kepentingan dirinya, apa mama pernah memikirkan diriku??? Â
"Sekarang mama memaksa aku ikut dengannya tanpa menanyakan apakah aku bersedia atau tidak. Tapi langsung saja mama menyuruhku, bahkan bajupun sudah mama siapkan. Aku tahu, mama pasti tak mau kalah dilihat temannya. Anaknyapun harus tampil sempurna.Aku menuju mobil  dengan perasaan kesal. Pak Sapri sudah berdiri di depan pintu siap untuk membukakan pintu. Aku melihat Galih mau keluar dari gerbang, sepertinya dia baru minta uang pada bi Sum.
      "Galih, tunggu," teriakku.
      "Kamu naik angkot? Kan arahnya sama dengan arah sekolahku. Aku naik angkot saja barengan kamu ya," pintaku. Galih menatapku lama, agak ragu dia mengijinkan aku untuk ikut dengannya.
      "Diijinkan gak sama mamamu?"  Ah, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku menyuruh pak Sapri ke sekolahku tanpa aku. Aku naik angkot bareng Galih.
      "Nanti bapak dimarahi nyonya,"elak pak Sapri.
      "Ya , jangan ketahuan." Aku naik mobil sampai gerbang depan perumahan  dan dilanjutkan naik angkot bareng Galih. Sementara  pak Sapri mengikuti di belakang angkot. Angkot sudah hampir penuh tapi masih saja supir memasukan satu orang lagi. Aku mulai sedikit kesulitan bernafas karena penuhnya penumpang. Galih menatapku cemas, aku tersenyum padanya dan mengedipkan mataku.  Aku memberi isyarat pada Galih kalau aku baik-baik saja.  Walau aku kepanasan aku menikmati perjalanan ke sekolah . Aku bisa mendengarkan percakapan penumpang sambil menatap wajah-wajah mereka. Kadang penasaran saat ada yang berbisik-bisik. Aku mencondongkan tubuhku ke depan tapi Galih sudah menyenggolku. Aku memandanganya sebal, lagi asyik mendengarkan omongan orang kok yan diganggu.
"Nguping ya?" Aku melotot padanya. Sebelum aku jitak kepalanya aku harus segera turun. Aku turun duluan dibanding Galih.
      "Aku turun duluan ya." Aku turun dan menyuruh pak Sapri pulang dan aku wanti-wanti untuk tidak melapor pada mama. .Aku melenggang masuk ke sekolah. Aku menyusuri lorong-lorong kelas yang memanjang.  Masuk ke  kelas, beberapa anak cewek sedang bergerombol di meja Sasha. Aku duduk di bangkuku . Rara menyengolku dan menyuruhku untuk melihat  Sasha .
      "Emang ada apa sih?" tanyaku acuh tak acuh. Aku memang kurang suka dengan grupnya Sasha.  Sasha  sombong. Dia merasa dirinya kaya dan tak patut baginya bergaul dengan teman yang menurutnya tak selevel dengannya. Aku melirik Sasha sedang bisik-bisik dengan Fenti, dan Dara.
      "Ada kabar kalau akan ada murid baru , cowok dari Amerika. Katanya sih masuk ke kelas ini. " aku mengangguk --angguk. Bel berbunyi, aku mengeluarkan buku Biologi. Pelajaran pertama dimulai dengan bu Tari . Bu Tari datang diikuti cowok . Pasti ini anak baru itu, pikirku. Saat cowok itu masuk, semua cewek mulai berguman tak jelas.  Rara menyenggol sikutku. Aku melirik pada Sasha . Aku mencibir.Aku sebal melihat tingkahnya jika melihat cowok sedikit ganteng saja, sudah mau diembatnya. Gayanya dibuat-buat, hanya untuk menarik perhatian . Inginnya sih semua oarng memperhatikan Sasha, tapi tak semua suka padanya.
      "Lihat caper lagi tuh si Sasha,"tukas Rara. Aku tersenyum manis.
      "Biar saja." Bu Tari memperkenalkan  cowok itu sebagai Tara , dari Amerika. Tara duduk di sebelah Andi di kursi paling belakang. Aku melirik Tara. Ganteng. Tinggi. Tapi entah apa yang membuatku tak suka. Pandangan pertama yang membuatku tak nyaman. Matanya itu. Sadis !!!! .Aku tak begitu suka. Ada sesuatu yang membuat mata itu tampak kejam. Dan tatapan matanya juga memperlihatkan kesan sombong paad dirinya. Ah, mengapa aku berpikiran negatif padanya??? Toh aku tak akan berurusan dengannya. Tapi aku salah. Suatu waktu aku akan berurusan banyak hal dengan Tara. Tapi sementara waktu ini aku hanya bisa bilang Tara itu pria yang tak menyenangkan. Itu saja!!!
      Dan sudah tak aneh lagi kalau ada cowok ganteng di sekolah, pasti beritanya sudah menyebar seantero sekolah. Banyak cewek yang penasaran dengan Tara. Berkali-kali banyak cewek yang sengaja lewat kelasku hanya untuk melihat wajah Tara. Aku mencibir cewek-cewek itu. Apa kurang kerjaankah mereka, mau-maunya melirik-lirik cowok padahal cowok itu belum tentu suka. . Sungguh merendahkan harga diri sebagai cewek Sungguh aku tak peduli saat istirahat banyak cewek dari lain kelas mengintip kelasku. Aku menarik Rara ke kantin.Perutku sudah terasa lapar. Sepotong roti tadi pagi tidak membuatku kenyang lebih lama. Sepertinya bakso kuah , enak dan ditambah cabai yang pedas. Aku menghampiri bu Parti, ibu kantin.
      "Bakso semangkok." Rara memesan syomai. Aku menunjuk meja yang masih kosong. Memang di sekolahku kantinnya belum terlalu besar sehingga banyak siswa yang tidak kebagian meja. Semangkuk baso panas sudah terhidang di hadapanku.
      "Kosong?" aku mengangguk tanpa melirik siapa yang menyapaku. Rara menyenggol sikutku. Aku menatapnya . Rara memberi tanda dengan matanya agar aku melihat ke arah sampingku. Aku melihat Tara sedang duduk di sisiku bersama Andi. Tara tampak acuh tak acuh. Dia memesan bakso juga. Belum sempat aku memasukan baso ke dalam mulutku terdengar suara cempreng Sasha.
      "Elo  pindah dari sini. Ini tempat dudukku," tegurnya. Aku sudah mau berdiri tapi ditahan oleh Rara. Aku memandang Rara. Rara menggelengkan kepalanya. Rara menyuruhku untuk tetap pada kursiku. Rara tak ingin aku pergi dari sana
      "Gak denger ya. Gue suruh lu pindah. Masih di sini saja. Sana," teriaknya. Aku tak mau ribut, aku tarik tangan Rara. Hampir saja mangkuk Rara jatuh, kalau tak ada Bayu yang tiba-tiba saja sudah ada di samping Rara. Bayu menyuruh aku dan Rara duduk di meja Bayu. Bayu sudah selesai makannya. Aku lirik Rara. Aku lihat pipinya memerah. Aku tahu Rara naksir berat dengan Bayu.Mungkin perhatian dari Bayu membuat pipinya memerah
      "Harusnya kita itu gak usah pindah. Sasha itu selalu begitu. Seperti ratu saja. Apa-apa dia harus didahulukan," Rara masih tampak kesal. Rara menatap Sasha dengan pandangan sebal. Berkali-kali Rara marah-marah tak jelas karena kejadian tadi.
      "Aku gak mau ribut," tukasku. Aku melirik Tara. Dia tak mengacuhkan kejadian tadi, dia tetap makan bakso . Dasar, cowok !!! Waktu istirahat kupingku panas mendengar suara Sasha dan grupnya banyak bertanya pada Tara. Ingin rasanya menutup mulutnya dengan plester. Padahal suara gumamam anak-anak yang makan di kantin sudah begitu kuat tapi suara Sasha  melebihi semuanya.  Dan saat terdengar suara bel berbunyi. Sasha dengan manja menggelendot di  tangan Tara. Tara terlihat biasa saja. Aku mulai gak suka. Tanpa bicarapun aku bisa melihat ada kesombongan di wajah Tara dari cara dia berjalannya. Dagunya terangkat ke atas dan tak pernah memandang sebelah mata pada orang yang ada di sekitarnya.
      "Mau-mauan tuh si Sasha. Lihat Taranya saja cuek banget," tukas Rara. Aku mengangkat bahuku. Sebetulnya aku sependapat dengan Rara tapi entahlah aku bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Aku terbiasa suka sendiri. Lebih enak menyendiri daripada dikerumuni orang-orang yang membuat kesal. Makanya aku hanya punya berteman dengan beberapa saja yang aku tahu mereka baik padaku. Ya , salah satunya Rara.  Rara  tempat aku bisa banyak bercerita. Rara pulalah yang bisa mengisi hatiku yang kesepian di rumah. Rara sering aku ajak menginap di rumah. Bel pulang sekolah terdengar, aku merasa lega, kepalaku mulai cenat-cenut saat melihat soal fisika yang bikin otak menjadi panas. Aku bergegas pulang. Aku lihat pak Sapri sudah berdiri di dekat gerbang sekolah. Sudah berapa kali aku bilang padanya  untuk menunggu di mobil saja. Tapi pak Sapri tetap memaksa menunggu di gerbang. Sebetulnya aku malu sekali, sudah SMA tapi masih antar jemput. Mama sih menyuruhku belajar mobil , biar aku bisa mengendarai mobil sendiri ke sekolah. Aku merasa aku belum perlu memakai mobil sendiri ke sekolah.
      "Rara, mau aku antar ?" tanyaku. Rara menggeleng. Rara pulang bersama teman-teman lain yang searah dengan rumahnya. Padahal aku juga ingin seperti mereka. Pulang sendiri  dan bisa bersenda gurau di angkot bersama teman.Aku pandangi mereka dengan perasaan iri. Mereka bisa menikmati masa remaja mereka dengan riang sedangkan aku seperti hidup di dalam sangkar. Aku mungkin anak baik yang tak punya pikiran untuk diam-dam pergi tanpa sepengetahuan mama. Atau ikut-ikutan seperti Sasha yang kerjaannyaa hura-hura saja..Aku hanya pasrah saja
      "Ayo neng, Mobilnya di dekat tukang cilok." Aku mengikuti pak Sapri di belakangnya. Aku melihat Tara memakai mobil keluaran baru. Masih gres.  Aku melenggang dari hadapannya.
      Masakan bi Sum siang ini soto Bandung. Aku memang suka jenis soto-sotoan dan bi Sum tahu benar.
      "Maksih bi Sum. Ini baru enak". Aku mendengar mama baru pulang. Astaga mama membawa barang belanjaan lagi???? mama mengeluarkan belanjaan di hadapanku. Mama membuka kantung plastik dan sebuah baju diperlihatkan padaku.
      "Bagus kan? ini untuk kamu ikut mama ke undangan tante Ina. " mama mematut-matut bajunya sambil berputar-putar. Mama merasa pilihanya akan disukaiku. Aku cemberut dan menggeleng-gelengkan kepala. Mama menatapku heran dan mengernyitkan dahinya..
      "Gak suka?" Aku menggeleng.
      "Ya, ampun Karin. Ini bagus , banyak anak-anak teman mama pakai baju seperti ini,"tukas mama. Memang sih gaun itu indah. Dengan bahu terbuka dan tali tipis. Warnanya putih yang dipadu dengan merah marun. Masalahnya aku kurang suka dengan jenis-jenis gaun yang buat aku susah bergerak bebas. Untuk duduk saja, harus hati-hati.
      "Gak mam. Kalau mama maksa Karin pakai gaun itu, lebih baik Karim gak ikut," tukasku. Dan omonganku gak bisa diganggu gugat. Beberapa kali mama membujukku untuk memakai gaun itu , tetap aku menolaknya . Mama pasrah akhirnya.
      "Tapi mama kan sudah beli gaun ini Karin," tegurnya kurang suka. Aku membalasnya dengan cemberut. Akhirnya mama mengijinkan aku memakai pakaian pilihan aku sendiri. Mama cepat membereskan barang-barang belanjaan di meja. Mama agak kesal tampaknya, biasanya mama akan memperlihatkan semua barang belanjaannya padaku, kali ini tidak.  Cepat aku habiskan sotonya dan segera beranjak dari sana menuju tempat yang paling nyaman di rumah ini. Kamarku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H